Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Royalti menjadi oasis bagi seniman di tengah larangan manggung selama masa pandemi.
Ekosistem digital makin mempermudah pengelolaan royalti lagu.
Terancam oleh perusahaan baru mitra LMKN.
SEBELUM pandemi Covid-19 datang, Eross Candra hidup dari panggung ke panggung. Setelah pandemi menerjang Indonesia pada Maret 2020, pemetik gitar sekaligus pencipta lagu grup musik Sheila on 7 itu menggeser tumpuan pendapatan. Rupanya, pendapatan terbesarnya berasal dari royalti lagu-lagunya. “Terakhir baru dapat kiriman royalti lagu seminggu lalu,” kata Eross kepada Tempo, Sabtu, 30 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sempat menyerahkan hak kuasa royalti lagu-lagu ciptaannya ke lembaga manajemen kolektif (LMK) Karya Cipta Indonesia, Eross sejak beberapa tahun lalu mengalihkan kuasa itu ke LMK Wahana Musik Indonesia (Wami), yang lebih berfokus pada genre musik pop dan rock. Kiriman royalti dari Wami empat kali dalam setahun itu yang kini mengisi sebagian besar periuk nasi Eross ketika ia tak sibuk manggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eross telah menciptakan 90 lagu. Ia menolak menyebutkan angka royaltinya. Apakah sama dengan raihan Rhoma Irama, si “Raja Dangdut Indonesia”?
Waskito, Sekretaris Jenderal Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia yang juga anggota Dewan Penasihat Royalti Anugrah Indonesia—LMK yang menaungi sejumlah pencipta lagu dangdut dan Melayu—menyebut pendapatan royalti hak cipta lagu Rhoma Irama sebagai yang tertinggi di antara pencipta lagu dangdut. Jika ingin mengetahui angkanya, lihat situs RAI yang ditunjuk Waskito.
Di website itu, distribusi royalti paling tinggi tercatat diraih anggota bernomor RAI.00001.2013. Pada semester pertama 2020, pencipta lagu ini mendapat Rp 296,6 juta dan Rp 148,3 juta pada semester kedua. Artinya, ia mengantongi pendapatan royalti Rp 444,9 juta pada tahun pertama masa pandemi. Apakah itu nomor anggota Rhoma Irama? “Ya, begitulah,” Waskito menjawab diplomatis pada Jumat, 29 Oktober lalu. “Kami tidak mencantumkan nama, hanya nomor induk anggota.”
Ketika angka itu ditanyakan kepada Eross, ia menjawab dengan merendah. “Royalti saya jauh di bawahnya,” tuturnya. “Tapi cukup buat gaya hidup saya.”
Sejak pandemi terjadi, Eross makin rajin memperhatikan potensi pendapatan pasifnya itu. Dia bergabung dengan Sony Music Publishing Indonesia, yang baru masuk ke Indonesia pada 2019—sebelumnya Eross bergabung dengan perusahaan serupa ketika perusahaan itu masih beroperasi di Malaysia.
Eross juga meneken kontrak pengelolaan lagu-lagunya dengan CD Baby, pengumpul alias agregator lagu asal Amerika Serikat yang mengurus distribusi lagu ke platform musik digital. “Bisa saya cek langsung lagu saya diputar berapa kali di Spotify dan lain-lain, pembagian royaltinya bisa terlihat,” ujar Eross.
Indra Lesmana, pencipta dan penyanyi lagu jazz, juga menggandeng agregator untuk memantau royalti. Indra bukan anggota LMK. Ia sudah menciptakan sekitar 500 lagu. “Gue bikin perjanjian sendiri saja, independen,” katanya pada Jumat, 29 Oktober lalu.
Indra percaya, di industri yang makin maju dan serba digital, sistem koleksi dan pembagian royalti bagi para pencipta lagu semestinya lebih terbuka. Kontrak langsung antara agregator atau pengguna lagu dan pencipta, bagi Indra, sudah seharusnya terjadi. Tanpa perantara. “Saya bisa memberi lisensi kepada restoran, kafe, sampai festival tanpa harus melalui LMK.”
Pertimbangan Indra tidak bergabung dengan LMK rada-rada ideologis. Dia melihat sistem penghitungan royalti oleh LMK sudah kuno. Menggunakan sistem sampel dan blanket, Indra khawatir royalti dari LMK bisa jadi tidak berasal dari lagunya, tapi lagu orang lain yang diputar oleh pengguna, seperti restoran, diskotek, dan stasiun radio. “Entar dulu deh kalau begitu,” ujarnya.
Selama ini LMK memegang kuasa penagihan dan pembagian royalti. Pencipta lagu bergabung dengan Wami (genre pop dan rock), RAI (dangdut dan melayu), serta Karya Cipta Indonesia (pop Indonesia dan daerah). Produser lagu bergabung dengan Asirindo, Aspirindo, dan Armindo. Adapun pembawa lagu bergabung, antara lain, dengan Prisindo, ARDI, dan Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi).
Rhoma Irama saat pentas di Monas, Jakarta, 31 Desember 2017. Dok. TEMPO/Magang/Wildan Aulia Rahman
Sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terbit, muncul Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menarik hak royalti sekaligus mengatur tarifnya. LMKN menjadi penarik tunggal kendati hak kuasa royalti tetap dipegang oleh lembaga-lembaga manajemen kolektif itu.
Nyatanya, LMKN menunjuk koordinator pelaksanaan penarikan dan pendistribusian royalti (KP3R) sebagai pelaksana penarikan ke pengguna dan pendistribusian ke LMK untuk kemudian diteruskan kepada anggotanya. Pada 2018-2020, yang menjadi KP3R adalah Wami, yang ditugasi mengoleksi dan mendistribusikan hak royalti kepada pemegang hak cipta, dan Selmi, yang bertugas sebagai pemegang hak terkait, seperti produser dan penampil.
Pada 2016, LMKN mengumpulkan royalti sebanyak Rp 22 miliar. Setahun kemudian, angka itu naik menjadi Rp 36 miliar dan lalu Rp 66 miliar pada 2018.
Masalahnya, jumlah royalti lagu itu tidak semuanya mengalir ke pemegang hak cipta dan hak terkait. Hanya 70 persen atau Rp 46,2 miliar royalti pada 2018 yang dibagikan kepada mereka. Sedangkan 20 persen atau Rp 13,2 miliar digunakan untuk pengoperasian lembaga-lembaga manajemen kolektif, sisanya buat pengoperasian LMKN.
Selama ini, anggota LMK yang isinya pencipta lagu, produser, hingga penampil itu juga ditengarai tidak mendapat royalti yang seharusnya. LMKN baru sanggup mengoleksi royalti puluhan miliar rupiah. Sedangkan lembaga serupa di Malaysia sanggup meraup royalti sampai Rp 350 miliar per tahun, sementara di Jepang bisa menyerok hingga Rp 2 triliun.
Maka ketika ide membangun Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) mengemuka, komposer hingga penampil musik kepalang senang. Sistem itu menjanjikan semua lagu yang diputar di rumah karaoke, di bioskop, di kafe sebagai suara latar suasana, atau di diskotek tercatat secara presisi dan bisa ditagih. “Sebagai musisi, aku tetap ingin ada sistem yang lebih valid dan lebih bagus,” ucap Eross Candra.
Eross mengakui awalnya ia tipe komposer yang apatis terhadap lagu ciptaannya. Namun, sejak pandemi melanda, dan sadar royalti lagu menjadi pendapatan paling signifikan saat tak ada konser, Eross makin memperhatikan detail urusan ini.
Bukannya makin terang, Eross merasa praktik royalti musik di Indonesia bertambah ruwet. Kerumitan itu muncul setelah LMKN menggandeng PT Lentera Abadi Solutama (LAS). Perusahaan ini yang akan membangun SILM sekaligus menggantikan KP3R sebagai penarik royalti tunggal atas nama LMKN.
Dalam perjanjian kerja sama antara LAS dan LMKN, termuat klausul bagi hasil. Sebanyak 80 persen pendapatan royalti lagu akan ditarik oleh LMKN, yang nantinya dibagikan kepada para pemegang hak cipta dan hak terkait. Sedangkan sisanya buat LAS sebagai pengembang sistem dan pengelola royalti. Perjanjian ini berlaku selama sepuluh tahun.
LAS, menurut Eross, berani menjanjikan pendapatan royalti naik seiring dengan penggunaan SILM. “Promosinya begitu,” tuturnya. Tapi ia buru-buru ingat, “Berarti nanti LMK enggak ada fungsinya, dong? Royalti kami para musisi akan terpotong berkali-kali.”
AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo