PELANCONG Indonesia yang mendarat di Kay Tak, Hongkong, 16 tahun
mendatang, mungkin disambut para petugas bea-cukai RRC dengan
keramahan formal dan pandang curiga. Sementara di luar bandar
udara internasional itu, prajurit Tentara Pembebasan Rakyat Cina
berjaga-jaga dengan senjata pendek otomatik.
Sebuah mimpi buruk? Itulah agaknya yang bakal terjadi, kalau
Inggris menyerahkan wilayah ini kepada RRC. Berdasarkan kontrak
sewa van ditandatangani hampir seabad lalu, usia koloni itu
akan berakhir, 30 Juni 1997.
Sementara hidup terus mengalir penuh warna, gejala keresahan
mulai terasa di bandar yang penuh riwayat itu. Sekelompok
bankir, pengusaha, dan ilmuwan kini sedang memperdebatkan nasib
Hongkong. Mereka memang berhak cemas lebih dulu. Bila soal
kontrak sewa tak diselesaikan dalam 3-5 tahun mendatang,
penanaman modal di pulau itu pasti merosot.
Adapun perang Candu yang berkecamuk di akhir abad ke-19 mulai
menanamkan kekuasaan Inggris di negeri Cina. Tahun 1842, Pulau
Hongkong diserahkan kepada Inggris -- menyusul kemudian Kowloon
pada tahun 1860 -- untuk selama-lamanya. Tapi pulau itu dan
Kowloon hanyalah sepersepuluh dari keseluruhan wilayah, yang
kini bernama Hongkong itu. Sisanya adalah New Territories, yang
disewakan pada tahun 1898 untuk jangka waktu 99 tahun.
Tanpa New Territories, Hongkong nyaris tak berarti. Di wilayah
yang menjulur hingga perbatasan Cina itu terletak daerah
perindustrian, pabrik, gedung-gedung penting, dan pemukiman
buruh. Untuk pembangunan yang terus berkembang di bagian wilayah
ini, bank memberi pinjaman dalam jangka waktu 10 sampai 15
tahun. Mengingat dekatnya batas waktu (deadline) kontrak,
kebijaksanaan itu tampaknya akan ditinjau. Sementara itu,
"meminjam modal dari para investor internasional dengan jaminan
tanah milik, mulai terasa sulit," ujar Colin Stevens, Direktur
Barclays Bank di Hongkong.
Tapi ternyata tak semua orang bersikap lesu. Ray Purl, Direktur
American Chamber of Commerce, tenang-tenang saja. Masalah
kontrak sewa yang hampir berakhir ini, katanya, "tak membawa
perubahan berarti dalam sikap para nasabah."
Bersama Purl, sebenarnya Jebih banyak orang tak percaya bahwa
RRC bernafsu mengambil Hongkong. Dari wilayah yang sejak dulu
dijuluki 'Gerbang Selatan' ini, Cina menarik keuntungan tidak
sedikit. Sepertiga dari transaksi ekspornya terjadi di Hongkong.
Mungkin itu sebabnya, beberapa isyarat sudah bisa ditangkap dari
'daratan' Yang paling berarti agaknya ialah ucapan Deng
Xiao-ping. Wakil Ketua Partai Komunis Cina dan 'pembaharu' yang
lihai itu berpesan kepada Sir Murray MacLehose, Gubernur
Hongkong: para investor tak perlu resah.
RRC sendiri termasuk investor utama di koloni ini. Tak pernah
jelas berapa besar modal yang ditanamnya. Dalam percakapan
pribadi, beberapa pejabat RRC di Hongkong menyebut pulau itu
mendapat prioritas utama sehubungan pembaruan ekonomi di
'daratan'.
Sembari menunggu London dan Beijing maju ke meja perundingan,
Hongkong melenggang bagai tak acuh, sibuk mendandani diri. Ada
proyek pembangunan jaringan kereta api, pclabuhan udara di Chek
Lap Kok, Lantao, dan sejumlah jembatan yang menghubungkan pulau
dengan Kowloon.
Batas waktu pembangunan pelabuhan udara adalah tahun 1982.
Biayanya ditaksir HK$ 150 juta. Sedangkan biaya pembangunan
jembatan penghubung, yang erat kaitannya dengan pelabuhan udara,
sekitar HK$ 7-8 milyar. Keputusan final belum diambil. Waktu
yang tersisa tinggal setahun.
Dalam pembulaan jaringan kereta api, perdebatan belum selesai.
Pihak swasta mendukung sistem Shortened Island Line (SIL) di
bawah tanah. Pemerintah cenderung memilih sistem Light Rail
Transit (LRT).
Biaya pembuatan SIL (8 kilometer dari Western Market sampai
Taikoo Shing) ditaksir $ 3 milyar. LRT hanya membutuhkan ongkos
sekitar HK$ 2,4 milyar, dengan panjang rel 14 kilometer dari
Whitty Street di bagian barat sampai Chaiwan di bagian timur,
yang meliputi sebagian tepi laut. Keputusan terakhir berada di
tangan para elite yang duduk di Dewan Legislatif.
Bila rencana pembangunan pelabuhan udara dan jembatan
penghubung terlaksana, daerah Kay Tak dan Lantao di bagian
utara akan berkembang. Pemasaran tanah di Kay Tak bisa mencapai
HK$ 20 milyar. Apalagi sebuah jaringan pelabuhan lintas ekstra
direncanakan mencapai pesisir Quary.
Perkiraan biaya HK$8 milyar untuk membangun Kay Tak dan Lantao,
menjadi tampak tak menyolok. Ongkos pembangunan pasti akan
tertutup oleh pemasaran tanah. Tapi dari mana pemerintah
Hongkong mengalokasikan dana untuk pembangunan ini?
Kini saja sudah demikian banyak uang rakyat disedot untuk
pembangunan jalan yang menghubungkan New Territories dengan
beberapa kota baru. Sebagian pembangunan jalan itu bahkan
terhambat. Bila hal ini dibiarkan, kota-kota baru tadi telantar.
Sementara para eksekutif berpikir dan bertikai di kantornya yang
lapang dan sejuk, hiruk-pikuk di jalan raya dan lorong belakang
Hongkong tak pernah padam. Di bandar yang terkenal sebagai Pearl
of The East ini, hidup memang tidak mudah. Kepribadian larut di
tengah gejolak sosial ekonomi dan lingkungan yang resah.
Gangguan mental bukan gejala baru di kalangan penduduk Hongkong.
Orang gila pertama ditemukan secara resmi di wilayah itu tahun
1895. Ia adalah seorang wanita Amerika, yang karena ketuaannya
menderita problem mental. Mungkin juga cuma sekedar pikun. Orang
gila berikutnya lagi-lagi wanita, bangsa Jerman, juga lantaran
tua.
Tapi pribumi Hongkong tak bisa cepat gembira mengetahui data
ini. Mungkin saja di antara mereka sudah ada yang sinting
sebelum 1895, cuma tak dilaporkan Lagipula, penyakit mental pada
zaman itu belum umum diketahui dan dipelajari.
"Lingkungan hidup adalah penyebab sebagian besar gangguan mental
penduduk Hongkong," kata dr. W.H. Lo dari Mental Health Service
koloni itu. Di samping sulitnya mencari makan, rumah tangga yang
berantakan dan kehidupan pribadi yang hancur membawa pengaruh
besar. Namun penyakit mental yang paling umum di Hongkong ialah
schizophrenia, yang menyangkut faktor keturunan.
Gangguan mental tak hanya ditemukan di kalangan penduduk
Hongkong yang melarat, penghuni pemukiman liar atau perkampungan
miskin. Orang kaya banyak juga yang menjadi pasien rumah sakit
jiwa. Terutama kaum stateless (tanpa kewarganegaraan), dan para
istri, yang agaknya kalah bersaing dengan amoy muda dengan
belahan gaun menyingkap paha itu.
Para imigran gelap dan 'orang perahu' mempunyai problem mental
yang khusus. Tanpa tanah air dan bendera bersama kaum stateless,
mereka lebih terombang-ambing oleh masa depan yang tidak
menentu.
Ikatan tradisional dalam keluarga Cina membawa pula
ketakseimbangan batin. Percekcokan sanak saudara seperti sudah
melembaga. Tradisi diacak-acak oleh jurang pemisah yang kian
nyata antara generasi tua dan muda. Kalangan tua makin merasa
kurang dihormati. Soal-soal sepele gampang mengobarkan
pertengkaran.
Sepanjang catatan resmi, orang Cina pertama yang mengalami
gangguan mental baru ditemukan tahun 1912. Pada waktu yang sama,
orang berkebangsaan Eropa sudah banyak yang edan.
Perbandingannya konon 30:1. Namun para ahli tetap membantah
bahwa orang Eropa lebih mudah mengalami gangguan mental
ketimbang Cina.
Setelah tahun 1925, perkembangan rumah sakit jiwa di Hongkong
mengalami kemajuan. Peralatan baru didatangkan. Kerjasama
dijalin dengan RS Jiwa Fong Chuan di Kanton. Tahun 1950 Kanton
direbut kaum komunis. Kerjasama itu putus.
Dewasa ini terdapat lebih 5.000 tempat tidur bagi penderita
gangguan mental di seluruh rumah sakit Hongkong. Sejumlah 50
psikiater melayani rumah sakit pemerintah.
Dokter Lo sendiri tetap optimistis. Ia melihat gejala gangguan
jiwa di Hongkong sama dengan yang menyerang kota-kota besar
dunia yang lain, misalnya New York. Standar kehidupan yang
tinggi, hingar-bingar, polusi, kondisi pemukiman yang miskin,
kerja keras, dan persaingan dituding sebagai biang keladi utama.
Gambaran ini memang tidak enak bagi para pemburu kenikmatan di
Hongkong -- yang berarti 'Pelabuhan Wangi' itu. Meski senantiasa
bagai menawarkan seribu janji, tak selamanya kisah bisa dijalin
di kawasan ini. Seorang wanita Hongkong yang sudah menikah
mengaku, "di sini sulit ditemukan cinta sejati." Pergaulan telah
merupakan bagian dari segala hal yang bersifat sementara di
'Pelabuhan Wangi' itu.
Kaum wanita memandang pria Hongkong "sovinis, terlalu manja, dan
tidak mau berusaha keras." Para pria dituduh bersikap sama
seperti di tahun 1950-an, padahal zaman sudah berubah. "Mereka
mengira dapat menarik hati wanita hanya dengan meletakkan
tangannya di paha anda," keluh wanita yang lain. Sejumlah wanita
Hongkong yang diwawancarai membagi kaum pria dalam beberapa
kelompok.
Kelompok pertama adalah pria kaya yang memiliki flat bagus dan
kendaraan mentereng, yang menyangka para wanita bersedia
mengikutinya cukup dengan sedikit 'pancingan'. Menyusul kemudian
pria yang 'menikah' dengan pekerjaannya dan tidak begitu
mempedulikan istri. Ada lagi kelompok yang bosan pada kehidupan
berumah tangga. Kemudian kelompok pria setengah tua, yang kandas
dalam perceraian dan jatuh ke dalam pelukan minuman keras.
Terakhir, pria berusia lanjut, yang justru gemar mengejar
wanita.
Betapa pun modern kehidupan di bandar abadi itu, kedudukan
lelaki di Hongkong tetap jauh lebih tinggi ketimbang wanita.
Carol, seorang wanita yang lama hidup di Inggris dan Amerika,
menyatakan kekecewaaannya terhadap pria Hongkong, setelah ia
menetap di sana.
"Mereka lebih suka menyibukkan diri dalam perjamuan meriah yang
didominasi kaumnya," ujar seorang wanita. Dalam perjamuan
seperti itu, pria Hongkong bersikap acuh tak acuh terhadap lawan
jenisnya. Agaknya, terlalu banyaknya wanita yang mudah didekati
turut merangsang pandangan yang timpang ini.
Pria yang sudah menikah, biasanya tak mengajak istrinya
menghadiri pertemuan sosial. Satu-satunya kesempatan bagi
sepasang suami istri menghadiri pertemuan bersama-sama adalah
ketika bermain mahyong, atau mengikuti pertemuan keluarga.
Lucy, seorang wanita Hongkong yang muda dan manis, mengaku belum
berhasil menemukan jodoh yang ideal. Ia agak menyesali
kebudayaan Cina, yang secara tradisional lebih menghormati kaum
pria.
Tempat hiburan yang selalu ramah membukakan pintu, merupakan
saingan keras para istri. Betty adalah seorang wanita yang telah
menikah. Meski usianya 40 tahun, ia tetap menarik dan mempunyai
karir yang bagus. Ia datang ke Hongkong bersama suami yang
dinikahinya 2 bulan sebelumnya. Empat tahun kemudian, suami itu
direbut seorang wanita yang ditemuinya di bar.
Hidup terus berpacu di Hongkong yang gelisah. Toko-toko dan
pusat perbelanjaan selalu mengintai dompet para pelancong. Di
lorong suram yang ditudungi kain jemuran berkibar dari jendela
loteng, seribu satu transaksi gelap berlangsung tanpa gangguan.
Di situ, 'umur' Hongkong yang tinggal 16 tahun lagi tak membawa
pengaruh.
BAGAIMANAPUN orang menilai 'keterbukaan' RRC mengenai peranan
Hongkong bagi modernisasi Cina, kenyataan belum berubah.
Perpanjangan kontrak, setelah 30 Juni 1997, lebih bersifat
harapan. 'Jaminan' Deng Xiao-ping sama sekali tak mempunyai
dasar juridis.
Komitmen tegas RRC mengenai nasib Hongkong memang belum
tersirat. Tapi keputusan membangun pelabuhan udara dan jembatan
Lantao, bagai indikator mengenai cara Hongkong memandang masa
depannya sendiri.
Cina memang berkepentingan membiarkan Hongkong dalam statusnya
yang sekarang. Selain peranan ekonomi, bukan rahasia lagi kalau
melalui bandar itu Beijing banyak menyedot dan melakukan tukar
menukar informasi.
Di stasiun perbatasan Sumchun Lowu, bendera Union Jack dan
bintang lima tegak berhadapan. Sarang senapan mesin RRC melotot
ke koloni Inggris itu. Tapi penduduk yang lalu lalang melintasi
perbatasan itu hampir tak terkesan sama sekali. Mereka lebih
disibukkan oleh barang cangkingan dari pasar murah di Hongkong,
sekedar bingkisan untuk sanak saudara di 'daratan'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini