Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hong kong, ajal sebuah koloni

Dengan berakhirnya koloni inggris di hongkong pada tgl 30 juni 1997 nanti akan menimbulkan keresahan. cina berkepentingan membiarkan hong kong dalam statusnya yang sekarang. (sel)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELANCONG Indonesia yang mendarat di Kay Tak, Hongkong, 16 tahun mendatang, mungkin disambut para petugas bea-cukai RRC dengan keramahan formal dan pandang curiga. Sementara di luar bandar udara internasional itu, prajurit Tentara Pembebasan Rakyat Cina berjaga-jaga dengan senjata pendek otomatik. Sebuah mimpi buruk? Itulah agaknya yang bakal terjadi, kalau Inggris menyerahkan wilayah ini kepada RRC. Berdasarkan kontrak sewa van ditandatangani hampir seabad lalu, usia koloni itu akan berakhir, 30 Juni 1997. Sementara hidup terus mengalir penuh warna, gejala keresahan mulai terasa di bandar yang penuh riwayat itu. Sekelompok bankir, pengusaha, dan ilmuwan kini sedang memperdebatkan nasib Hongkong. Mereka memang berhak cemas lebih dulu. Bila soal kontrak sewa tak diselesaikan dalam 3-5 tahun mendatang, penanaman modal di pulau itu pasti merosot. Adapun perang Candu yang berkecamuk di akhir abad ke-19 mulai menanamkan kekuasaan Inggris di negeri Cina. Tahun 1842, Pulau Hongkong diserahkan kepada Inggris -- menyusul kemudian Kowloon pada tahun 1860 -- untuk selama-lamanya. Tapi pulau itu dan Kowloon hanyalah sepersepuluh dari keseluruhan wilayah, yang kini bernama Hongkong itu. Sisanya adalah New Territories, yang disewakan pada tahun 1898 untuk jangka waktu 99 tahun. Tanpa New Territories, Hongkong nyaris tak berarti. Di wilayah yang menjulur hingga perbatasan Cina itu terletak daerah perindustrian, pabrik, gedung-gedung penting, dan pemukiman buruh. Untuk pembangunan yang terus berkembang di bagian wilayah ini, bank memberi pinjaman dalam jangka waktu 10 sampai 15 tahun. Mengingat dekatnya batas waktu (deadline) kontrak, kebijaksanaan itu tampaknya akan ditinjau. Sementara itu, "meminjam modal dari para investor internasional dengan jaminan tanah milik, mulai terasa sulit," ujar Colin Stevens, Direktur Barclays Bank di Hongkong. Tapi ternyata tak semua orang bersikap lesu. Ray Purl, Direktur American Chamber of Commerce, tenang-tenang saja. Masalah kontrak sewa yang hampir berakhir ini, katanya, "tak membawa perubahan berarti dalam sikap para nasabah." Bersama Purl, sebenarnya Jebih banyak orang tak percaya bahwa RRC bernafsu mengambil Hongkong. Dari wilayah yang sejak dulu dijuluki 'Gerbang Selatan' ini, Cina menarik keuntungan tidak sedikit. Sepertiga dari transaksi ekspornya terjadi di Hongkong. Mungkin itu sebabnya, beberapa isyarat sudah bisa ditangkap dari 'daratan' Yang paling berarti agaknya ialah ucapan Deng Xiao-ping. Wakil Ketua Partai Komunis Cina dan 'pembaharu' yang lihai itu berpesan kepada Sir Murray MacLehose, Gubernur Hongkong: para investor tak perlu resah. RRC sendiri termasuk investor utama di koloni ini. Tak pernah jelas berapa besar modal yang ditanamnya. Dalam percakapan pribadi, beberapa pejabat RRC di Hongkong menyebut pulau itu mendapat prioritas utama sehubungan pembaruan ekonomi di 'daratan'. Sembari menunggu London dan Beijing maju ke meja perundingan, Hongkong melenggang bagai tak acuh, sibuk mendandani diri. Ada proyek pembangunan jaringan kereta api, pclabuhan udara di Chek Lap Kok, Lantao, dan sejumlah jembatan yang menghubungkan pulau dengan Kowloon. Batas waktu pembangunan pelabuhan udara adalah tahun 1982. Biayanya ditaksir HK$ 150 juta. Sedangkan biaya pembangunan jembatan penghubung, yang erat kaitannya dengan pelabuhan udara, sekitar HK$ 7-8 milyar. Keputusan final belum diambil. Waktu yang tersisa tinggal setahun. Dalam pembulaan jaringan kereta api, perdebatan belum selesai. Pihak swasta mendukung sistem Shortened Island Line (SIL) di bawah tanah. Pemerintah cenderung memilih sistem Light Rail Transit (LRT). Biaya pembuatan SIL (8 kilometer dari Western Market sampai Taikoo Shing) ditaksir $ 3 milyar. LRT hanya membutuhkan ongkos sekitar HK$ 2,4 milyar, dengan panjang rel 14 kilometer dari Whitty Street di bagian barat sampai Chaiwan di bagian timur, yang meliputi sebagian tepi laut. Keputusan terakhir berada di tangan para elite yang duduk di Dewan Legislatif. Bila rencana pembangunan pelabuhan udara dan jembatan penghubung terlaksana, daerah Kay Tak dan Lantao di bagian utara akan berkembang. Pemasaran tanah di Kay Tak bisa mencapai HK$ 20 milyar. Apalagi sebuah jaringan pelabuhan lintas ekstra direncanakan mencapai pesisir Quary. Perkiraan biaya HK$8 milyar untuk membangun Kay Tak dan Lantao, menjadi tampak tak menyolok. Ongkos pembangunan pasti akan tertutup oleh pemasaran tanah. Tapi dari mana pemerintah Hongkong mengalokasikan dana untuk pembangunan ini? Kini saja sudah demikian banyak uang rakyat disedot untuk pembangunan jalan yang menghubungkan New Territories dengan beberapa kota baru. Sebagian pembangunan jalan itu bahkan terhambat. Bila hal ini dibiarkan, kota-kota baru tadi telantar. Sementara para eksekutif berpikir dan bertikai di kantornya yang lapang dan sejuk, hiruk-pikuk di jalan raya dan lorong belakang Hongkong tak pernah padam. Di bandar yang terkenal sebagai Pearl of The East ini, hidup memang tidak mudah. Kepribadian larut di tengah gejolak sosial ekonomi dan lingkungan yang resah. Gangguan mental bukan gejala baru di kalangan penduduk Hongkong. Orang gila pertama ditemukan secara resmi di wilayah itu tahun 1895. Ia adalah seorang wanita Amerika, yang karena ketuaannya menderita problem mental. Mungkin juga cuma sekedar pikun. Orang gila berikutnya lagi-lagi wanita, bangsa Jerman, juga lantaran tua. Tapi pribumi Hongkong tak bisa cepat gembira mengetahui data ini. Mungkin saja di antara mereka sudah ada yang sinting sebelum 1895, cuma tak dilaporkan Lagipula, penyakit mental pada zaman itu belum umum diketahui dan dipelajari. "Lingkungan hidup adalah penyebab sebagian besar gangguan mental penduduk Hongkong," kata dr. W.H. Lo dari Mental Health Service koloni itu. Di samping sulitnya mencari makan, rumah tangga yang berantakan dan kehidupan pribadi yang hancur membawa pengaruh besar. Namun penyakit mental yang paling umum di Hongkong ialah schizophrenia, yang menyangkut faktor keturunan. Gangguan mental tak hanya ditemukan di kalangan penduduk Hongkong yang melarat, penghuni pemukiman liar atau perkampungan miskin. Orang kaya banyak juga yang menjadi pasien rumah sakit jiwa. Terutama kaum stateless (tanpa kewarganegaraan), dan para istri, yang agaknya kalah bersaing dengan amoy muda dengan belahan gaun menyingkap paha itu. Para imigran gelap dan 'orang perahu' mempunyai problem mental yang khusus. Tanpa tanah air dan bendera bersama kaum stateless, mereka lebih terombang-ambing oleh masa depan yang tidak menentu. Ikatan tradisional dalam keluarga Cina membawa pula ketakseimbangan batin. Percekcokan sanak saudara seperti sudah melembaga. Tradisi diacak-acak oleh jurang pemisah yang kian nyata antara generasi tua dan muda. Kalangan tua makin merasa kurang dihormati. Soal-soal sepele gampang mengobarkan pertengkaran. Sepanjang catatan resmi, orang Cina pertama yang mengalami gangguan mental baru ditemukan tahun 1912. Pada waktu yang sama, orang berkebangsaan Eropa sudah banyak yang edan. Perbandingannya konon 30:1. Namun para ahli tetap membantah bahwa orang Eropa lebih mudah mengalami gangguan mental ketimbang Cina. Setelah tahun 1925, perkembangan rumah sakit jiwa di Hongkong mengalami kemajuan. Peralatan baru didatangkan. Kerjasama dijalin dengan RS Jiwa Fong Chuan di Kanton. Tahun 1950 Kanton direbut kaum komunis. Kerjasama itu putus. Dewasa ini terdapat lebih 5.000 tempat tidur bagi penderita gangguan mental di seluruh rumah sakit Hongkong. Sejumlah 50 psikiater melayani rumah sakit pemerintah. Dokter Lo sendiri tetap optimistis. Ia melihat gejala gangguan jiwa di Hongkong sama dengan yang menyerang kota-kota besar dunia yang lain, misalnya New York. Standar kehidupan yang tinggi, hingar-bingar, polusi, kondisi pemukiman yang miskin, kerja keras, dan persaingan dituding sebagai biang keladi utama. Gambaran ini memang tidak enak bagi para pemburu kenikmatan di Hongkong -- yang berarti 'Pelabuhan Wangi' itu. Meski senantiasa bagai menawarkan seribu janji, tak selamanya kisah bisa dijalin di kawasan ini. Seorang wanita Hongkong yang sudah menikah mengaku, "di sini sulit ditemukan cinta sejati." Pergaulan telah merupakan bagian dari segala hal yang bersifat sementara di 'Pelabuhan Wangi' itu. Kaum wanita memandang pria Hongkong "sovinis, terlalu manja, dan tidak mau berusaha keras." Para pria dituduh bersikap sama seperti di tahun 1950-an, padahal zaman sudah berubah. "Mereka mengira dapat menarik hati wanita hanya dengan meletakkan tangannya di paha anda," keluh wanita yang lain. Sejumlah wanita Hongkong yang diwawancarai membagi kaum pria dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah pria kaya yang memiliki flat bagus dan kendaraan mentereng, yang menyangka para wanita bersedia mengikutinya cukup dengan sedikit 'pancingan'. Menyusul kemudian pria yang 'menikah' dengan pekerjaannya dan tidak begitu mempedulikan istri. Ada lagi kelompok yang bosan pada kehidupan berumah tangga. Kemudian kelompok pria setengah tua, yang kandas dalam perceraian dan jatuh ke dalam pelukan minuman keras. Terakhir, pria berusia lanjut, yang justru gemar mengejar wanita. Betapa pun modern kehidupan di bandar abadi itu, kedudukan lelaki di Hongkong tetap jauh lebih tinggi ketimbang wanita. Carol, seorang wanita yang lama hidup di Inggris dan Amerika, menyatakan kekecewaaannya terhadap pria Hongkong, setelah ia menetap di sana. "Mereka lebih suka menyibukkan diri dalam perjamuan meriah yang didominasi kaumnya," ujar seorang wanita. Dalam perjamuan seperti itu, pria Hongkong bersikap acuh tak acuh terhadap lawan jenisnya. Agaknya, terlalu banyaknya wanita yang mudah didekati turut merangsang pandangan yang timpang ini. Pria yang sudah menikah, biasanya tak mengajak istrinya menghadiri pertemuan sosial. Satu-satunya kesempatan bagi sepasang suami istri menghadiri pertemuan bersama-sama adalah ketika bermain mahyong, atau mengikuti pertemuan keluarga. Lucy, seorang wanita Hongkong yang muda dan manis, mengaku belum berhasil menemukan jodoh yang ideal. Ia agak menyesali kebudayaan Cina, yang secara tradisional lebih menghormati kaum pria. Tempat hiburan yang selalu ramah membukakan pintu, merupakan saingan keras para istri. Betty adalah seorang wanita yang telah menikah. Meski usianya 40 tahun, ia tetap menarik dan mempunyai karir yang bagus. Ia datang ke Hongkong bersama suami yang dinikahinya 2 bulan sebelumnya. Empat tahun kemudian, suami itu direbut seorang wanita yang ditemuinya di bar. Hidup terus berpacu di Hongkong yang gelisah. Toko-toko dan pusat perbelanjaan selalu mengintai dompet para pelancong. Di lorong suram yang ditudungi kain jemuran berkibar dari jendela loteng, seribu satu transaksi gelap berlangsung tanpa gangguan. Di situ, 'umur' Hongkong yang tinggal 16 tahun lagi tak membawa pengaruh. BAGAIMANAPUN orang menilai 'keterbukaan' RRC mengenai peranan Hongkong bagi modernisasi Cina, kenyataan belum berubah. Perpanjangan kontrak, setelah 30 Juni 1997, lebih bersifat harapan. 'Jaminan' Deng Xiao-ping sama sekali tak mempunyai dasar juridis. Komitmen tegas RRC mengenai nasib Hongkong memang belum tersirat. Tapi keputusan membangun pelabuhan udara dan jembatan Lantao, bagai indikator mengenai cara Hongkong memandang masa depannya sendiri. Cina memang berkepentingan membiarkan Hongkong dalam statusnya yang sekarang. Selain peranan ekonomi, bukan rahasia lagi kalau melalui bandar itu Beijing banyak menyedot dan melakukan tukar menukar informasi. Di stasiun perbatasan Sumchun Lowu, bendera Union Jack dan bintang lima tegak berhadapan. Sarang senapan mesin RRC melotot ke koloni Inggris itu. Tapi penduduk yang lalu lalang melintasi perbatasan itu hampir tak terkesan sama sekali. Mereka lebih disibukkan oleh barang cangkingan dari pasar murah di Hongkong, sekedar bingkisan untuk sanak saudara di 'daratan'.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus