Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Harimau-harimau daerah hitam

Sekilas tentang petugas-petugas keamanan di komplek pelacuran a.l: di komplek pelacuran parloha (medan), tanah abang, sarinten (bandung), sunan kuning (semarang) dsb. (sd)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARIMAU itu senang mengisap rokok Dunhill. Di lehernya yang kekar menggantung seuntai kalung "pacat kenyang". Dua jari tangan kirinya dililit cincin. Juga dari emas. Bangun tidur sore, biasanya dia berkeliling kompleks. Dari satu barak ke barak lain. Itu dikerjakannya sampai lewat tengah malam. Terkadang, atas nama keamanan kompleks, lelaki bertubuh tinggi-besar dan berkumis ini terpaksa main kepruk. Hasilnya: kompleks pelacuran Parloha, tak jauh dari kota turis Brastagi (62 km dari Medan) dinilai pihak berwajib paling aman di antara enam kompleks pelacuran di Sum-Ut. Hal itu tentu tak terlepas dari jasa si harimau. Centeng daerah hitam itu. Padahal dulu Parloha terkenal paling rusuh. Di situ bersembunyi bandit-bandit yang habis beraksi di Medan. Begitu pula para pemilik barak saling sikut-sikutan. Sampai 1972, si harimau muncul jadi "komandan pengawas" di situ. Harimau itu bukanlah Wong Bagus, centeng yang jadi pahlawan dalam film Rembulan dan Matahari. Dia adalah Ngerket Bangun. Sebagai anak lelaki suku Batak-Karo sehari-hari dia dipanggil Teger, berarti Buyung atau Ucok. Setelah dewasa, berubah jadi Tiger alias harimau -- sampai sekarang. Didukung tubuh yang tinggi-besar serta tampang seram itu, panggilan itu akhirnya melekat. Apalagi setelah Tiger bertugas jadi centeng di Parloha. Tapi untuk mengamankan kompleks tak selalu harus dengan anggar otot. Mula-mula pembuat huru-hara dinasihati dulu. "Kalau tak diterima, kasih saja bogem ke mukanya," kata Tiger kepada Monaris Simangunsong dari TEMPO. Risiko main hakim sendiri bukan tak ada. Buktinya, karena main pukul itu tercatat tiga kali Tiger masuk bui. Padahal dia sendiri menjalin hubungan dengan polisi. Yaitu dengan cara melaporkan bandit-bandit yang bersembunyi di Parloha kepada polisi. Kehidupan seperti ini, tentu menakibatkan Tiger sendiri selalu merasa tidak aman. Selain selalu diancam bandit, juga sanak famili, termasuk mertua, sinis dan menjauhinya. Menghadapi sikap orang-orang itu Tiger, 36 tahun, hanya bisa mengeluh, "apa boleh buat, saya sendiri dari semula tak pernah mengangankan pekerjaan ini." Karena itu Tiger tetap berhajat meninggalkan profesi itu, satu saat entah kapan. "Saya tak mungkin terus pada pekerjaan sekarang," katanya sambil melintir filter rokoknya. Dia mengaku sedang mengumpulkan duit untuk pembeli sebidang tanah pertanian. Padahal seperti diakui Tiger, honornya selaku centeng di situ hanya Rp 15.000/bulan. Terang tak cukup menghidupi seorang istri dengan 5 anak. Apalagi anak sulungnya, berumur 15 tahun sudah di kelas dua SMP. Karena itu, sejak 4 tahun lalu, dia membangun sebuah rumah bordil di Bandarbaru, daerah pelesiran lain 10 km dari Parloha. Tiger menjadi centeng pada mulanya hanya karena permintaan seorang temannya yang jadi pemimpin kompleks itu. Ketika itu lokasi Parloha masih lusuh. "Hanya kau yang bisa mengampulkannya," kata sang teman menghiba seperti diungkapkan si harimau itu. Latar belakang kehidupan Tiger sebelumnya memang memungkinkan untuk profesi baru itu. Sampai 1971 selama lebih 20 tahun dia memimpin buruk angkutan di Pusat Pasar Medan. Puluhan tahun ia mengomandoi orang-orang yang hanya bisa ditundukkan dengan otot. Otot besar adalah juga modal Benny, centeng lembah hitam terkenal Gang Doly, Surabaya. Prestasi lelaki berumur 29 tahun kelahiran Kendari, Sulawesi Tenggara ini, lumayan. Pada usia 16 tahun, putra anggota Brigmob itu sudah kena hukum 13 tahun, karena membunuh temannya dengan sangkur. Dimulai di penjara Bondowoso, Ja-Tim, pemuda tanggung itu berkeliling 10 penjara, termasuk Nusakambangan. Karena berkelakuan baik, tak sampai 13 tahun Benny menjalani hukumannya. Agustus 1977 dia jadi manusia bebas. Dan kontan masuk kompleks Gang Doly. "Di daerah ini, saya yakin bisa hidup baik. Tak mengganggu orang lain," alasannya kepada TEMPO. Lelaki berewokan, berbobot 75 kg dengan tinggi 168 cm itu mengaku tak punya gaji tetap di situ. "Ya, rezeki tampak nongol dari teman-teman yang murah hati," katanya. Danya Padahal Benny menghabiskan 4 bungkus rokok Ji Sam Su tiap hari, tinggal di rumah kontrakan Rp 50.000 setahun dengan seorang istri dan terkenal royal membantu teman. Benny memperlihatkan kuitansi resep Rp 15.200, bantuannya kepada seorang temannya yang sakit. "Saya mudah kasihan," kata lelaki yang bernama lengkap Titus Bennydictus. Untunglah selain pendapatan tak tetap dari 50 rumah pelacuran di Gang Doly, Benny juga bekerja di sebuah toko onderdil. Gajinya, kata Benny, cukup untuk biaya hidup berdua dengan istrinya. Tapi ia tetap juga bertahan di lembah hitam itu dengan alasan, "pergaulan di sini bebas, banyak teman." Padahal jabatan centeng lembah hitam penuh risiko. Desember lalu misalnya lengan dan punggung Benny robek dan terpaksa dijahit, karena sabetan clurit Agus, centeng dari Jarak, tempat pelacuran lain di sekitar situ. Benny terpaksa bertindak karena wibawanya diusik. Agus mencoba mengompas ke Gang Doly, wilayah Benny. Perkelahian antara dua jagoan itu berakhir setelah Agus minta ampun, menyerah. Beberapa waktu lalu Benny juga harus membogem seorang tamu yang merusuh karena cemburu ceweknya dipakai langganan lain. Tapi tak jarang pula ia harus memarahi muncikari di situ karena memeras para WTS. Pendeknya, katanya, kompleks harus aman. Risiko sebagai centeng tak hanya muncul dari kaum perusuh. Danya pernah jadi korban kemarahan warganya sendiri di Bongkaran, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ceritanya begini: tahun 1975 Bongkaran terbakar. Penghuni menuduh itu perbuatan pemerintah dan Danya sebagai pimpinan kompleks rumah-rumah liar itu dituduh jadi kakitangan. Celakanya rumah Danya sendiri tidak terbakar. Setelah kebakaran, Danya ditangkap penduduk beramai-ramai. Orang-orang kalap itu menyandang senjata linggis, clurit, golok, martil dan sebagainya. Tangan Danya diikat dan dia ditelentangkan di atas onggokan abu dan puing-puing kebakaran. "Apa tanggungjawab kamu sebagai pengurus, kenapa rumah dibakar, tak bisa dipertahankan" teriak massa. Danya putus asa dan hanya bisa berdoa. Tapi akhirnya pertanyaan warganya dia jawab satu-satu. Saritem Entah mengapa massa yang terbakar emosi itu tiba-tiba sadar. Danya selamat. Malah setelah peristiwa itu, wibawanya tambah naik di kalangan penghuni Bongkaran. Beberapa hari kemudian dia perintahkan kembali penduduk membangun gubuk-gubuk di sana. Karena dia berpendapat, walau mereka itu pelacur, gelandangan dan sejenisnya, "mereka juga anak pemerintah yang perlu tempat berteduh." Sekarang kompleks pelacuran kelas rendah itu ramai kembali. Dihuni tak kurang 1000 jiwa (300 rumah). Dan Danya tetap sebagai centeng. Untuk keamanan kompleks dia tetapkan jam bertamu sampai pukul 24.00. lewat waktu itu setiap tamu akan diusir. Meski mengaku bekas bajingan, orang tua bertubuh tegap berumur 57 tahun itu, berusaha mengamankan daerahnya tanpa kekerasan. Kalau main keras, sulit. "Di sini setiap minggu orang bacok-bacokan," katanya mengakui. Tahun lalu keributan di situ menghasilkan satu mayat. Mengatasi keadaan dengan semberono, "salah-salah kita bisa dimakan," kata Danya. Karena pengunjung daerah hitam itu sering muncul ke sana menyandang golok. Sebagai pengaman honor Danya hanya Rp 2.500 sebulan. Itulah untuk menghidupi istri tambah enam anak. Memang ada pemasukan lain, misalnya bila ada penghuni pesta atau mengurus surat-surat ke kelurahan. Tapi upah mengurus surat-menyurat itu tak pernah besar. Lebih mujur dari Danya, ialah Paket, komandan keamanan di kompleks pelacuran Saritem, di lingkungan Kebun Jeruk, Bandung. Lelaki berumur 43 tahun beranak delapan itu, bersama 40 orang Hansip, anak buahnya, menjaga keamanan Saritem, dapat honor hasil pengutipan tiap bulan dari 265 WTS dan 58 muncikari. Jumlahnya? "Itu rahasia," jawab lelaki bertubuh sedang itu. Karena jabatan itu Paket mendapat julukan Panglima Saritem. Selain honor ini, Paket masih dapat gaji dari pemerintah, karena dia mengaku masih anggota aktif ABRI -- walau pangkatnya dia rahasiakan. "Pokoknya keamanan terjamin," katanya tegas. Kompleks pelacuran resmi itu memang kelihatan tertib. Setiap penghuni dilarang keluar kompleks sejak pukul 10.00 sampai 24.00 tengah malam. "Dua tahun saya di sini belum pernah ada perkelahian," ungkap Esih, 24 tahun, WTS asal Kuningan. Padahal sebagai komandan di situ Paket tak perlu anggar otot. Cukup dia mengkoordinasikan anak buahnya setiap hari di sekeliling kompleks, dengan berpakaian Hansip lengkap. Hampir sama, pengalaman Lasimin, 40 tahun, anggota Hansip, yang menjaga keamanan Lokalisasi WTS "Sunan Kuning", Semarang. Dengan pakaian Hansipnya petugas merangkap muncikari ini dapat mengamankan 432 pelacur di situ dari gangguan anak-anak muda yang suka "nembak". Kerusuhan timbul paling-paling garagara rebutan cewek. Tapi biasanya bisa didamaikan Lasimin dengan satu peraturan, "siapa lebih dahulu dia berhak." Apakah di luaran keduanya kembali bertempur, "itu urusan mereka sendiri," kata Lasimin. Yang penting Sunan Kuning aman, habis perkara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus