DENGAN wajah ketakutan gadis berusia 15 tahun itu bergegas
masuk ke sebuah gelanggang remaja. Ia minta dicarikan pekerjaan,
"supaya bisa keluar dari sini." Andy Lok, direktur gelanggang
remaja itu menolak, karena ia belum mencapai usia layak bekerja.
Beberapa bulan berselang Andy mendengar gadis itu menjadi
penghuhi wilayah 'lampu merah' dijual ayahnya sendiri ke rumah
pelacuran.
Peristiwa itu terjadi di dalam Kota Tembok Kowloon (Kowloon
Walled City), daerah seluas 2,5 ha yang dikepung pusat
perdagangan dan pemukiman yang padat. Bagai pulau di tengah
samudra, Kota Tembok sebagian dari Hongkong yang megah itu
seperti tak terjamah undang-undang.
Hampir sepanjang sejarah Hongkong, status hukum Kota Tembok
tak pernah jelas. Pemerintah Inggris salalu mengelak
membicarakanya. Kalau hal itu dilakukan, masalah yang rawan
pasti tersenggol, yaitu kontrak sewa Hongkong. Secara
resmi RRC tak pernah mengakui kontrak ini.
Sebuah pasal dalam perjanjian tahun 1898 menjamin penguasa
Cina yang bermukim di Kota Tembok mengatur dirinya sendiri.
Inggris pernah mencabut pasal itu. Tapi ketika Inggris
bersitegang memaksakan hukumnya di Kota Tembok, 1963, RRC
menunjukkan gigi lewat protes. Wilayah itu tetap 'tidak
bertuan'.
Kini kota itu dihuni penduduk yang merasa 'terbuang' dari
masyarakat luas. Status sosial mereka tak jels. Para
pengungsi, gelandangan, tukang catut, pemeras kampungan dan
dokter tanpa izin-praktek memberikan warna khas pada kota yang
dilintasi selokan busuk. Kecuali mengirim patroli
sekali-sekali, pemerintah Hongkong enggan mencampuri urusan
dalam kota itu.
Temboknya sendiri sudah runtuh pada masa pendudukan Jepang
(1943). Tapi sementara Hongkong berkembang menjadi
metropolitan modern dan mewah, Kota Tembok Kowloon bagaikan
'cagar budaya' untuk sekelompok bangunan tua dan tata-kota
Cina abad yang silam. Pintu Gerbang ke dalam kota hanya cukup
dilalui dua orang bersama-sama. Kertas beterbangan di atas
tumpukan sampah.
Satu-satunya kebanggaan yang mungkin bersisa pada Kota Tembok
ialah kenyataan bahwa namanya masih dikaitkan dengan
kota-induk Kowloon, yang be "Sembilan Naga." Jangankan
status hukum, fasilitas umum saja tak dipunyai kota ini.
Tidak ada air minum, pembangunan, atau pelayanan masyarakat
yang lain. Bahkan tidak ada pengangkutan sampah dari kota itu
ke luar.
Sindikat gelap dan kelompok bandit yang tersisih menemukan
'surga'-nya di sini. Mereka mengontrol rumah bordil,
lalulintas narkotik, dan memeras para pedagang yang membuka
kedai keluarga.
Di sini juga bersarang dokter gigi Cina yang tak mendapat
izin praktek di luar Kota Tembok. Sepanjang Jalan Tung Tau
Tsuen, suatu perbatasan Kota Tembok dengan dunia luar, gigi
palsu dipajang secara menyolok di etalase. Bukan rahasia lagi
bahwa berbagai tabib liar mempraktekkan pengguguran kandungan
tanpa merasa terancam.
Banyak penduduk kota ini memimpikan bisa pindah ke luar. Tapi
mereka tak berdaya. Yim Chun, misalnya. Ibu rumah tangga ini
sudah lama tak betah, "sebab kota ini suatu tempat yang buruk
untuk membesarkdn anak-anak," katanya.
Tapi perumahan di luar terlalu mahal baginya. Ia harus membayar
HK$ 200 sebulan, sementara di dalam Kota Tembak biaya itu hanya
sepersepuluh dari jumlah tadi. Sebagian besar dari 30.000
penghuni yang mendiami kota ini paham betul bahwa nama mereka
tak bisa dilepaskan dari reputasi jelek Kota Tembak. Tapi, mau
apa?
Kuli-kuli yang berdiam di sini tak cukup menanggung beban
berat pekerjaan sehari-hari. Mereka masih harus membayar 'pajak'
kepada gang tertentu yang membagi kota ke dalam beberapa
'daerah kekuasaan.' "Kami dengan sadar dicuri setiap hari,"
keluh seorang buruh.
Di sebuah petak yang pengap dan berdebu, Lui Chiu terkulai di
atas kursi pangkasnya. Ia telah menghabiskan 27 tahun dari
usianya yang 63 di kota ini, dan tak berani lagi memimpikan
sebuah tempat tinggal yang lain. Toko pangkasnya sudah lama
tutup, lantaran ia tak tahan melayani para anggota gang yang
minta dicukur tanpa membayar.
Kini, bujangan tua yang kesepian itu hidup sebagai pemungut
sampah, dengan penghasilan rata-rata HK$100 sebulan. Untuk
tempat tinggal yang lebih tepat dinamakan 'kandang' itu, ia
membayar HK$ 16 sebulan.
Suatu ketika sebuah perusahaan teve mengekspos Kota
Tembok. Lui termasuk salah seorang yang diwawancarai.
Esoknya sudah ada anggota gang yang datang mminta
bagian. "Mereka sangka saya dapat uang banyak dari
wawancara itu," ujar Lui memamerkan giginy yang hitam dan
ompong.
Pelacuran merupakan 'bisnis' yang sudah melembaga di Kota
Tembok. "Namun tidak seburuk tahun-tahun itu," komentar
seorang penduduk yang optimistis. Mengenai narkotik?
"Bila orang percaya kepada statistik pemerintah, tak ada
pecandu narkotik yang sungguh-sungguh di sini," ujar Jacki
Pullinger, seorang pekerja sosial.
Kini berusia 35 tahun Pullinger telah tinggal selama 13
tahun di dalam Kota Tembok. Istrinya, yang dijuluki 'dewi
Kota Tembok' lebih berani berkeliaran di situ ketimbang
petugas-petugas pemerintah. Perempuan ini
mengorganisasikan kelompok berdoa, di samping membantu
suamiya memberikan pelanyanan yang mendekatkan penduduk
kota kepada keyakinan agama.
MEMANG masih ada 'simbol' yang dapat dibanggakan
kota itu. Misalnya sebuah kelenteng tua, yang
dipersembahkan kepada Tin Hau, dewi samudra. Ada pula "tempat
terbersih di dalam kota yaitu, sepetak taman beberapa meter
persegi, penuh debu dan potongan sampah.
Sementara Hongkong: berbenah mempersolek diri, Kota Tembok
bagai monumen abadi yang ulet dan tak menyerah. Ia seperti
warisan masa lampa yang tak tertaklukkan, dari zaman
meriam-locok memuntahkan pelurunya dalam Perang Candu abad yang
silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini