ALLAH itu mushawwir, maha pelukis agung. Soedjatmoko, embah-nya ilmu sosial di negeri ini, sesepuh kaum intelektual, salah seorang guru bangsa, panembahan yang dari klimis jidatnya terpancar cahaya ilmu kauniyah yang luar biasa, dipanggil-Nya dengan cara yang sangat indah. Nelayan mati di gulungan ombak. Eyang Koko "pergi abadi" di majlis ilmu: ia bertolak dari tempatnya, ke Tempatnya. Kami bersalat ghaib dan baca Yasin bersama. Imam kami berkata, "Soedjatmoko itu seorang ulama besar. Kita menangis di tengah hutan lebat abad ke-20. Sebuah obor habis minyaknya, tapi lihatlah obor itu tetap bercahaya...." Kami terperangah. Berdebat. Merenung. Mungkin karena istilah ulama selama ini terlalu formalistik dan primordial pengertiannya. Mungkin juga karena jagat kefilsafatan ilmu dan pengetahuan kita selama ini baru beberapa petak belaka menjarah realitas hidup. Kita berposisi provinsialistik satu sama lain, sehingga terserimpung oleh kekacauan epistemologis dari istilah ulama, cendekiawan, intelektual, ilmuwan, ulama plus, cendekiawan minus.... Setiap manusia berpeluang mencapai ekstase ilahiyah melalui bermacam kendaraan: kerja keras, kesengsaraan, sukses, kebahagiaan, luka, tapa dan puasa, atau kekhusyukan dan tangis. Para ahli fisika, kimia, matematika, perbintangan, atau ilmu lainnya, yang memperoleh ketakjuban terhadap keagungan Allah melalui penghayatan ilmu dan pengetahuannya, berpeluang menjadi ulama. Segala ilmu, dan pada akhirnya juga teknologi serta segala rekayasa sejarah, hanyalah pintu gerbang memasuki rumah yang sebenar-benarnya Rumah. Setinggi-tinggi peradaban tak pernah benar-benar feel at home di rumah-rumah terminalnya, karena itu semua memang sesungguhnya bukan rumah kita yang asli: Eyang Kokolah yang kini mengerti Rumah Sejati itu. Para ilmuwan dan pengolah alam (hakikat) itu ber-iqra', membaca, dalam perspektif dan sikap bismi rabbi -- di dalam Allah. Setiap tahap pengolahan (tarikat) menuju penglihatan dan penemuan (makrifat), sehingga terwujudkan darinya realitas sejarah (syariat), membuat para ilmuwan bismi rabbi itu tergetar (wajilat qulubuhum) dan bergumam: rabbana ma khalaqta hadza bathila, tidaklah Engkau ciptakan semua ini untuk sia-sia. Maka, seorang Alim-lah Eyang Koko yang di ujung pengembaraan keilmuan sekularnya berkhusnul-khatimah menemukan jalan tauhid: ilmu Soedjatmoko telah bersujud kepada Allah. Para ilmuwan yang demikian berhasil mengembangkan harkat kemanusiaannya dari ego menjadi individu, dari pribadi menjadi diri, dari sekadar universal menjadi suprakosmis, dari penjelmaan sifat Allah ahad menjadi wahid. Ego pribadi, dan satu bersifat sendiri, alienatif dan primordial. Sedangkan individu, diri, dan penyatuan bersifat reintegral, bersama atau menyatu kembali dengan sumber kesejarahan kemakhlukannya secara ruang-utuh dan waktu-utuh. Beruntunglah seorang mikrobiolog yang menemukan Allah melalui keringat laboratorisnya, dibanding -- misalnya -- seorang faqih yang justru hanya menemukan feodalisme, paternalisme, dan otoritarianisme. Gamblanglah jadinya kenapa Eyang Koko pada tahun-tahun terakhir menjelang kepergian kekalnya selalu melontarkan anjuran tentang fenomena "intelektualisme transendental", "rasionalisme religious", kebangkitan agama-agama, sebagai satu-satunya sumber ideologi alternatif di luar dua ideologi besar komandan sejarah dunia -- yang akan sanggup menyelamatkan umat manusia dari bumerang-bumerang persoalannya sendiri nanti memasuki abad ke-21. Jelas pulalah kenapa Eyang Koko makin karib dengan komunitas keagamaan, bahkan dalam makalah terakhirnya dengan serius ia kutip sebuah hadis Rasul. Mantan rektor PBB ini secara formal tidaklah fasih berkhotbah atau mengaji. Juga tak begitu tampak bahwa al Quran adalah bacaan utamanya atau rujukan ilmu-ilmunya, sehingga orang gampang menganggapnya sebagai muallaf dalam hal -- umpamanya -- perspektif kefilsafatan Islami atau substansi dan metodologi keilmuan sosial Qurani. Tapi Eyang Koko, di senja hari kehidupannya, telah tiba pada inti hidayah. Telinga jiwanya telah mendengar bisikan Rasul Batin demikian istilah Khalil Jibran. Maka, betapa penting fatwa beliau: anjuran religius dari seorang yang bermahkotakan legitimitas ilmiah yang tinggi. Sekularisme tidak makin sanggup menampung kebuntuan dan kehampaan jiwa peradaban ujung abad ke-20. Humanisme saja juga tak cukup enerjetik untuk mendorong keperluan budaya dan akhlak profetik yang dibutuhkan oleh sejarah yang penuh luka. Ekses dari maniak hak dan kebebasan, atau tak terhentikannya korban persaingan hewani di dunia ekonomi politik dan kebudayaan, membutuhkan tawaran dari sesuatu yang lebih transendental. Abad ke-21 tak bisa menjawab tantangannya hanya dengan kebenaran hukum. Ia memerlukan kebenaran akhlak dan cinta. Gamblanglah jadinya bahwa fatwa Eyang Koko itu tidak main-main. Petani yang bertanam hanya untuk mengetam padi sehingga padi menjadi tuhannya seorang pedagang yang menomorsatukan laba sehingga laba menjadi tuhannya atau para ilmuwan yang mengembarai pengetahuannya tanpa menemukan cakrawala asal-muasal atau "Rumah Asli"-nya -- dalam logika fatwa Eyang Koko -- akan tak lagi bisa meneruskan napasnya. Setiap orang yang berangkat tua menanggalkan segala yang semu, belajar memasuki kemungkinan yang abadi dan sejati. Kini, peradaban ini sendirilah yang telah menjadi semakin tua renta. Dan Eyang Koko "memilih" kematiannya di Yogya -- salah satu "laboratorium intelektual ide ke-Indonesia-an". Dalam komunitas Muhammadiyah pula: si pembaharu yang seolah-olah dijewernya agar jangan menjadi "yang justru paling perlu diperbaharui". Dan di universitas pembaharu itu: "kawah candradimuka" bibit-bibit pelaku reformasi. Maka, lengkaplah panggung dan konteks kesejarahan dari fatwa Eyang Koko. Betapa suci, mulia, dan indah kematiannya. Seperti juga kehidupan dan cahaya fatwanya. Emha Ainun Nadjib
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini