KRANS bunga menggunung di atas sebuah pusara di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Jumat sore kemarin. Di sekitarnya tampak bendera merah putih bertulisan "Pejuang 45" terpancang pada bambu-bambu yang ditancapkan di sela sekitar 100 kuburan di lokasi khusus bagi Angkatan 45. Di tanah yang becek karena hujan, terlihat centang-perenang jejak ribuan manusia. Pusara itu, pada hakikatnya, sebuah jejak pula -- jejak terakhir perjalanan hidup Soedjatmoko, tokoh humanis Indonesia berkaliber internasional yang amat disegani banyak orang. "Kita kehilangan seorang pemuka kemasyarakatan," kata Menko Ekuin Radius Prawiro, yang menilai almarhum sebagai seorang politikus dan budayawan berdaya analisa tinggi. "Ia adalah seorang tokoh yang pandangan-pandangannya diterima di negara Asia dan Eropa," kata Radius. Juga di Amerika Serikat. "Di kalangan intelektual di AS, Soedjatmoko dijuluki The Prince of Indonesian Intelectual," kata Nurcholish Madjid, doktor lulusan Universitas Chicago. Tak kurang dari dua uniersitas terkemuka di AS memberikan gelar Doctor Honoris Causa bagi Koko -- panggilan akrab Soedjatmoko. Yakni untuk bidang hukum dari Cedar Crest College, Pennsylvania, dan bidang humaniora dari Universitas Yale, Connecticut. Koko, seperti dikatakan Menlu Ali Alatas, memang seorang intelektual yang sangat luas wawasannya. "Yang sangat mengesankan saya adalah pemikiran-pemikirannya dan pendekatan-pendekatannya pada masalah pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang, yang merangkum segala aspek," ujar Alatas lagi. Pendekatan Koko berasaskan multidisiplin. Dan metode yang tak umum itu ternyata diakui secara internasional. "Ini dibuktikan dengan aktifnya beliau sebagai pembicara utama di berbagai seminar internasional, dan keanggotaannya di berbagai komisi internasional seperti Olof Palme Commission dan The Club of Rome," kata Alatas. Dan perannya di lembaga pemikir dunia itu cukup menonjol. Keanggotaannya di The Club of Rome, yang baru dimasukinya setelah organisasi ini membuat laporan The Limits of Growth, yang cenderung bernada pesimistis. Tapi karakter Soedjatmoko, yang selalu melihat ke depan, berpengaruh. Terbukti laporan berikut, Culluqium Bellagio, tak pesimistis. Sutan Takdir Alisjahbana menilai Koko sebagai "pemikir humanisme yang berwawasan luas, pengetahuannya juga luas dan dalam, dengan cara penyampaian yang luwes, mungkin karena latar belakangnya sebagai diplomat." Cara penyampaian yang luwes, seperti disebut oleh Takdir, barangkali tercermin dari caranya mengambil sikap dalam polemik kebudayaan, misalnya dalam salah satu ceramahnya mengenai memilih sistem pendidikan Barat atau ala pesantren. Koko mengkritik pendidikan cara sekolah Barat, yang dianggapnya menimbulkan ketergantungan untuk menjadi birokrat, sementara pendidikan ala pesantren dianggapnya menumbuhkan semangat kemandirian. Tapi pendidikan ala pesantren dikritiknya pula, karena tak mengajarkan manajemen modern, yang diperlukan untuk menumbuhkan usaha berskala kaki lima merambat menjadi perusahaan modern. Jurus pemikiran Soedjatmoko seperti itu agaknya tak jarang membuat gemas para pengritiknya yang tak sabaran, karena dianggap tak menawarkan penyelesaian yang tuntas. Bahkan ada yang menudingnya tak berani mengambil sikap. Suatu anggapan yang sembrono terhadap pejuang kemerdekaan yang pernah disiksa oleh tentara Jepang, karena tak mau bekerja sama dengan mereka, dan pernah pula menyelundupkan candu ke luar dari Yogyakarta, lalu dijual ke Singapura, Filipina, dan Cina, untuk membiayai perjuangan kemerdekaan RI, 44 tahun silam. Aswab Mahasin dari LP3ES pernah menulis, "... Tak mudah untuk menunjukkan "kotak" di mana Koko berada. Sebagai otodidak yang pendidikan formalnya hanya jebolan sekolah kedokteran, pengembaraan pemikiran Koko memang tak mengenal pembatasan disiplin seperti dalam dunia akademis." Untuk mengenal Soedjatmoko, orang agaknya perlu menengok ke belakang. Koko menjalani masa kecilnya di Negeri Belanda, dan pulang ke tanah air ketika berusia tujuh tahun. Saat itu, Koko kecil sudah merasa sakit hati melihat bangsanya diperlakukan sebagai Inlander. Ayahnya, Dokter K.R.T. Saleh Mangundiningrat, ahli bedah berpendidikan Barat, kemudian menjadi dokter di Keraton Surakarta dan rektor Universitas Islam Cokroaminoto. Latar belakang keluarganya yang priayi menunjukkan adanya persentuhan nilai budaya Hindu, Islam, dan Barat. Koko, seperti kata Aswab, adalah "anak sejati dari perubahan". Perubahan dalam dirinya memang diakuinya. "Karena Allah tak membiarkan hamba-Nya dalam kebimbangan," katanya suatu ketika kepada Nurcholish Madjid dan Hamid Algadrie, rekan seperjuangannya. "Ketika azan subuh terdengar, bergetarlah hati saya. Tiba-tiba saya menangis." Hatinya bergumam, "Ternyata saya memang orang Islam." Itu terjadi ketika ia menghadiri pertemuan Agha Khan Foundation di Tangiers, Maroko, 1983. "Mestinya para kiai itu seperti dia," kata K.H. Hamam Djafar, pimpinan Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. "Dia sangat religius dan punya pandangan luas. Kalau di Islam dia itu Sufi." Almarhum di awal kemerdekaan RI pernah bekerja di Departemen Penerangan dan membidangi urusan luar negeri. Saat itulah dia banyak berhubungan dengan wartawan dan diplomat asing. Dalam usia 25 tahun, Koko sudah dipercaya sebagai anggota delegasi RI di PBB, 1947-1951. Itulah periode berat memperjuangkan pengakuan internasional terhadap eksistensi Republik Indonesia. Dalam Konferensi AA pertama di Bandung, 1955, Soedjatmoko berperan sebagai penasihat delegasi RI. Dan pada awal Orde Baru, laki-laki yang lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, hampir 68 tahun silam ini diangkat sebagai penasihat pribadi Menlu RI, ketika itu dijabat Adam Malik. Kariernya yang panjang dalam berurusan dengan luar negeri itulah yang agaknya membuat Presiden Soeharto menunjuk Soedjatmoko sebagai Dubes RI di AS (1968-1971). Di sana Koko mengenal Ali Alatas. Tugas utamanya, antara lain, adalah memenangkan kredibilitas Orde Baru, termasuk di kalangan beberapa universitas seperti Cornell, yang memicingkan mata terhadap kehadiran pemerintahan Soeharto. Selama di AS Soedjatmoko beroleh dua gelar doktor Honoris Causa, dan diangkat menjadi anggota kehormatan American Academy of Arts and Sciences. Kembali ke tanah air, hingga 1977 ia masih sebagai penasihat pribadi Menlu. Lalu sebagai penasihat khusus Ketua Bappenas Bidang Sosial Budaya, yang ketika itu dijabat Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, hingga 1980. Soedjatmoko mendapat Anugerah Magsaysay (1978), karena kumpulan buah karyanya dinilai sebagai "sumbangan berharga kepada pemikiran internasional untuk salah satu tantangan besar masa kini: bagaimana meningkatkan martabat hidup sekitar 40% rakyat Asia Tenggara dan Selatan, yang termasuk paling miskin". Tak heran kalau timbul seloroh, "Koko lebih dihargai di luar negeri ketimbang di negeri sendiri...." Tahun 1980 dia terpilih sebagai rektor Universitas PBB di Tokyo, lembaga penelitian yang memusatkan diri untuk memerangi kemiskinan di dunia. Saat itulah, sebelum menerima tawaran itu, Koko merasa bimbang, dan mendiskusikan dengan teman-temannya. "Saya khawatir akan tercerabut dari akar saya, dari bumi Indonesia, sumber utama inspirasi saya," demikian almarhum pernah mengatakan kepada Fikri Jufri dari TEMPO. Pada akhir 1987 Koko dicalonkan untuk menjadi Dirjen Unesco. Dia tak terpilih dan memutuskan kembali ke Indonesia, kendati ditawari menjadi residen scholar di universitas terkemuka AS, Princeton. Padahal, pemerintah RI tak menyediakan jabatan untuk tokoh sekaliber dia. "Tak ada jabatan formal untuk yang berusia 65 tahun ke atas," kata seorang pejabat. Tapi Koko memang beranggapan sebaiknya tak semua intelektual masuk ke dalam elite penguasa. Ada yang harus berada di luar pemerintahan, "untuk mengembangkan lembaga intelektual dan perhimpunan sukarela agar neraca antara negara dan masyarakat tetap berada pada perimbangan yang sehat," katanya. Koko selalu ingat akan petuah ayahnya: "berjuang harus tanpa kebencian". Dan itu yang diamalkannya di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijaksanaan (PPSK) Universitas Gadjah Mada, Kamis pekan lalu. Di depan sekitar 27 intelektual muda -- kebanyakan bergelar doktor -- ayah tiga anak ini membicarakan Peran Pendidikan Tinggi dalam Transformasi Sosial. Adalah ketika ia menyuarakan keprihatinannya atas nasib guru di Indonesia, serangan jantung tiba-tiba menghantam dirinya sehingga Koko jatuh tertelungkup. Upaya penyelamatan sia-sia. Dan tokoh besar ini, sejam kemudian, dinyatakan meninggal dalam usia 67 tahun. Wajar kalau Rosihan Anwar, yang hadir dalam acara PPSK itu menggumam, "Koko telah syahid." Bambang Harymurti, Laporan biro Jakarta dan Biro Yogya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini