Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sujatmoko, "psi", inteligensia

Buah pikiran soedjatmoko lebih banyak disalurkan ke forum luar negeri. sangat luwes dan sopan dalam menyampaikan ide-ide berbagai disiplin ilmu. seorang pemikir yang dihormati di luar negeri.

30 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GENERASI-GENERASI saling melupakan di Indonesia. Maka, ketika Soedjatmoko meninggal, saya tak tahu pasti: Bisakah kita jelaskan apa arti orang ini kepada kawan-kawan kita yang kini berumur 20 dan 30-an? Dia bukan seorang yang telah meninggalkan sejumlah buku tebal dan satu wujud pemikiran yang utuh. Dia bukan seorang ahli di satu bidang dengan riset yang mendalam. Dia bahkan selama 20 tahun terakhir ini lebih banyak bicara ke forum di luar negeri dalam bahasa Inggris. Buah pikirannya tidak radikal dan sering tak mengejutkan dan cara menyampaikannya seperti tak menyentuh tanah. Lalu, kenapa ia begitu dihormati? Seorang pujangga Jawa pernah mengatakan, mungkin sebagai cerminan sikap pragmatis dari suatu peradaban para petani, bahwa ngelmu iku kalakone kanti laku, apa yang kita ketahui dan kita hayati, mendapatkan wujudnya dari apa yang kita jalankan. Soedjatmoko, bagi saya, lebih merupakan teladan laku ketimbang hanya ngelmu. Kalau orang memandangnya sebagai seorang pemikir penting, itu bukanlah karena sebuah sistem filsafat yang diperkenalkannya kepada dunia, tapi karena ia hidup sebagai seorang pemikir. Betapa bisa besarnya arti seseorang yang seperti dia bisa dilihat dalam diri seorang lain yang, meskipun juga tak pernah menulis satu buku tebal, tetap dianggap meletakkan dasar filsafat sejak zaman Yunani Kuno: Socrates. Socrates tak menulis. Ia bicara, Socrates tak membangun satu mashab. Ia menjelajah dan menyelusuri terus segala ihwal hidup. Socrates tak mengeluarkan fatwa. Ia mementingkan dialog dengan siapa saja. Ia tak habis-habisan mendapatkan hasil. Ia mengutamakan proses. Dalam perbandingan itu, akan tampak betapa Soedjatmoko adalah contoh terbaik, seorang cendekiawan, seorang inteligensia par excellence. Yang membentuk watak dan kecenderungannya bukanlah kecemerlangan berpikirnya, bukan banyaknya buku yang dibaca dan ditulis, melainkan keprihatinannya yang dalam tentang keadaan, yang menyebabkan ia menganalisa, menelaah, bergumul dengan pelbagai pendapat dan gagasan, dan kemudian berbicara, dengan suara keras atau sopan, tegas atau gemetar. Ia tahu apa yang dikemukakannya mungkin tak ada dampaknya kini atau esok. Tapi ia percaya manusia punya kemampuan untuk menerima ide. "Ide itu punya kaki", saya ingat Soedjatmoko bicara suatu kali. Ide tidak mandek di depan meja tulis kita (Soedjatmoko yakin akan hal ini) karena manusia bukan hanya seonggok kemajenunan. Generasi-generasi saling melupakan di Indonesia, dan saya ragu bisakah kebanyakan kita kini mengerti apa artinya semua ini, 40 tahun yang lalu, 30 tahun yang lalu, di Indonesia ada banyak orang yang meskipun tak sepenuhnya terpelajar bicara dengan gairah tentang novel, membaca dan mengutip baris-baris puisi Chairil atau Sitor, dan dengan kantung kosong datang menonton teater Usmar atau Utuy. Ya, 30 tahum lebih yang lalu itu -- ketika pendapatan per kapita kita masih sepertiga sekarang -- ada majalah seperti Konfrontasi, Zenith, Budaja, Siasat Baru, yang berbicara tentang dunia keindahan dan ide-ide dengan bersungguh-sungguh. Dan kita dengar orang berdebat, walaupun terbatas, tentang soal-soal seperti Marxisme atau eksistensialisme, dan kita bisa baca tulisan seperti yang dihasilkan Soedjatmoko, Asrul Sani, atau Boejoeng Saleh, yang memperkaya dunia intelektual dan artistik kita dan memberi bekal bagi kaum inteligensia Indonesia berikutnya. Kini, apa yang ada? Soedjatmoko tetap berbicara tentang ide-ide. Ia melintasi bukan saja beberapa disiplin ilmu, tapi juga pelbagai kelompok sosial politik. Ia tak pernah mengambil jarak bahkan dengan yang paling muda, mereka yang kadang tak tahu bagaimana memanggilnya (harus dipanggil apakah dia: "Pak"? "Mas"? "Oom", atau "Bung Koko", seperti ia dipanggil teman dekat dan sopirnya?). Tapi saya merasa suaranya terdengar jauh. Ada yang mengatakan bahwa itu karena Soedjatmoko sebetulnya tak cukup terbiasa dengan khalayak di tanah airnya. Ia "Barat". Ia tak "berakar", meskipun bagi orang Barat ia justru menarik karena ia juga "Timur". Ada pula yang mengatakan bahwa suara Soedjatmoko terasa jauh karena ia adalah pemikir dengan kanvas besar: waktu baginya "Zaman", tempat baginya "Dunia", orang baginya "Manusia". Mungkin. Tapi saya kira bila suara Soedjatmoko tak seperti yang terasa di masa 30 tahun yang lalu, itu adalah karena ada yang berubah kini: kita hidup dengan suasana anti-inteligensia yang berkembang kian kuat sejak masa "demokrasi terpimpin" dulu. Suasana "ogah intelektuil" itu punya simptom yang beragam. Di kalangan yang lebih gemar akan tindakan dan kekuasaan, inteligensia Indonesia dengan segera dikaitkan dengan "PSI". Singkatan ini sebetulnya berasal dari nama Partai Sosialis Indonesia, yang memang dipimpin oleh banyak kaum inteligensia, dan orang seperti Soedjatmoko boleh dibilang bagian dari mereka. Tapi cap "PSI" sudah sama artinya dengan selapis elite yang suka berdiskusi, gagal berpolitik dengan menggunakan massa, dan sebab itu "main dari belakang" dan punya anggota "rahasia". Dan kaum inteligensia pun, yang umumnya tak jelas kelompok politiknya, yang memang suka diskusi dan tak becus berhubungan dengan massa -- apalagi bila mereka tak ingin bermain politik dengan mudahnya dapat label "PSI". Mereka pun diejek, dan tak jarang dicurigai, dan kadang ditakuti lebih dari kapasitas Partai Sosialis yang rudin itu sendiri. Tapi penampikan tak cuma datang dari arah itu. Zaman ini pun menampik inteligensia dari dua arah lain. Dari arah pertama datang pembawa panji-panji "yuppiisme", yang omong tentang Porche atau BMW lebih asyik ketimbang tentang ide-ide -- suatu sikap materialistis yang belum ada tolok bandingnya dalam sejarah Indonesia. Dari arah lain datang mereka yang berhimpun dalam kelompok peribadatan atau kelompok "perjuangan", dan hanya mau dengar jawaban (hasil) sebelum berikhtiar dengan pertanyaan (proses). Bagi yang pertama, inteligensia hanya membawa hal kosong pengganggu kenikmatan. Bagi yang kedua, inteligensia cuma membawa kesangsian, dan malah pengkhianatan. Soedjatmoko pergi. Tokoh yang salah tempat dan salah waktukah dia? Tidak, justru dalam suasana anti-inteligensia kini. Sebab siapa yang mengenalnya akan tahu bahwa di dekatnya orang tak perlu curiga atau gentar atau merasakan omong kosong. Dialah seorang yang kritis tapi tak pernah bisa sinis, seorang yang mempertahankan kejujuran tanpa jadi penuding orang lain, seorang di mana pengetahuan telah jadi kearifan dan keterbukaan pikiran sama dengan keterbukaan hati. Dia, sekali lagi, adalah sebuah teladan. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus