TAHUN 1956, rumah sakit di kota industri Minamata, Jepang,
menjumpai jenis penyakit baru. Gejalanya pada semua pasien
ialah: Batas pemandangan jadi menyempit, ferdapat gangguan
sensoris, gangguan pada gerak motoris, hilang kemampuan
berbicara, kejang dan gerak anggota badan tidak terkendalikan.
Semua penderitanya diketahui berasal dari desa nelayan di tepi
Teluk Minamata. Mereka memakan ikan dari teluk itu, yang sudah
lama diketahui tercemar oleh limbah pabrik kimia Chissno,
satu-satunya industri di wilayah Minamata.
Limbah pabrik ini, tanpa diolah dibuang ke teluk yang dangkal
itu hingga airnya tercemar oleh logam berat dan zat mirip logam.
Di antara logam berat ity terdapat zat merkuri (air raksa -- Hg)
dalam bentuk senyawa organis metil merkuri. Zat merkuri itu
melalui jasad renik menghimpun di tubuh ikan dan udang yang
merupakan makanan utama penduduk sekitar teluk itu. Kadar metil
merkuri dari hari ke hari bertambah dalam tubuh manusia --
melalui makanan mereka -- dan menyerang jaringan otak. Manusia
yang terserang, kalaupun sempat hidup, menjadi cacad seumur
hidupnya.
Kini malapetaka seperti itu tidak mustahil akan menimpa
Indonesia, khususnya di Jakarta. Limbah dari berbagai industri,
tanpa pengolahan lebih dulu, terbuang melalui 17 sungai di
wilayah DKI, yang akhirnya memasuki Teluk Jakarta. Cukup sering
sudah berbagai instansi resmi mencanangkan bahaya ini. Bahkan
awal tahun ini Menteri Negara PPLH Emil Salim, pernah mendapat
penjelasan bahwa tingkat pencemaran air Teluk Jakarta oleh
logam berat sudah sangat mencemaskan. Mengenai bahaya merkuri,
kadarnya sudah mencapai angka yang tinggi sekali di atas nilai
ambang batas (NAB -- batas aman) yang di Indonesia ditetapkan
sebesar 0,005 ppm (bagian per juta). Februari lalu, direktur
Lembaga Oseanologi Nasional (LON), Dr. Apriliani Soegiarto juga
membenarkan bahwa Teluk Jakarta sudah tercemar oleh logam berat
yang sudah melampaui batas aman menurut standar internasional.
Tapi untuk mengetahui dengan pasti tingkat kontaminasi itu,
masih diperlukan penelitian seksama dengan peralatan mutakhir.
EPOS, sebuah kelompok studi pencemaran iingkungan, sudah mulai
melakukan penelitian terhadap tingkat pencemaran Teluk Jakarta
dan biota laut di dalamnya, serta pengaruhnya bagi manusia,
terutama yang tinggal di sekitar teluk itu. Proyek EPOS ini
dipimpin dr. Meizar B. Syafei.
Bersama tim pembantunya, dr. Meizar mengumpulkan contoh dari
berbagai lokasi nelayan seperti Cilincing, Marunda, Muara Angke
dan Ancol Barat. Terutama Muara Anke menunjukkan pencemaran
yang sangat tinggi. Contoh air yang diambil dari dasar muara
Sungai Angke, misalnya mengandung kadar merkuri sampai 2 kali
NAB. Dari berbagai sumur penduduk dan tambak ikan, kadarnya
rata-rata 24 kali lebih tinggi dari NAB. Dari laut di depan
kawasan industri Ancol, setinggi 48 kali.
Juga ditelitinya 10 jenis ikan dan 1 jenis udang dari tambak di
Marunda. NAB untuk ini sebesar 0,4 ppm. Namun seekor ikan
mujair dari tambak ikan di Marunda menunjukkan kadar mcrkuri 3
kali lebih tinggi, sedang udangnya mencapai 2,5 kali lebih
tinggi.
Menurut dr. Meizar, sebenarnya tidak ada batas aman dalam hal
merkuri ini. Jumlah sekecil apapun, bila cukup lama dimakan, ia
akan menimbulkan efek penyakit yang mengerikan.
Hal yang mengejutkan dr. Mei adalah tingginya angka kematian
anak di desa nelayan Muara Angke itu. Dari 5 keluarga, dengan
total 30 anak berbagai umur, 13 di bawah umur 3 tahun, meninggal
dunia, atau 43,3%. Ini sangat tinggi bila dibanding, misalnya,
dengan angka kematian bayi -- golongan umur 0 - 1 tahun -- yang
mencapai 13,7% di Indonesia.
Lingkungan buruk dan kotor di situ mungkin merupakan faktor
utama bagi kematian anak-anak Muara Angke itu." Tapi kenyataan
bahwa kadar merkuri di seluruh lingkungan itu sangat tinggi
menimbulkan curiga," kata dokter wanita itu.
Penelitian EPOS di Teluk Jakarta masih berlangsung terus.
Berbagai contoh air dan biota laut dari daerah Pulau Air, Pulang
Panggang dan sekitarnya dan beberapa tempat lain sedang diujinya
di laboratorium. "Sumber polusi bagi Teluk Jakarta harus
dihentikan sekarang juga," ujar dr. Meizar, "Kalau tidak, kita
akan menghadapi kasus Minatama di negeri kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini