Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ikan Rawan Di Teluk Jakarta

Epos, sebuah kelompok studi pencemaran lingkungan melakukan penelitian terhadap pencemaran merkuri di teluk jakarta, karena disitu terdapat limbah 17 sungai di dki yang dapat menimbulkan malapetaka.

7 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN 1956, rumah sakit di kota industri Minamata, Jepang, menjumpai jenis penyakit baru. Gejalanya pada semua pasien ialah: Batas pemandangan jadi menyempit, ferdapat gangguan sensoris, gangguan pada gerak motoris, hilang kemampuan berbicara, kejang dan gerak anggota badan tidak terkendalikan. Semua penderitanya diketahui berasal dari desa nelayan di tepi Teluk Minamata. Mereka memakan ikan dari teluk itu, yang sudah lama diketahui tercemar oleh limbah pabrik kimia Chissno, satu-satunya industri di wilayah Minamata. Limbah pabrik ini, tanpa diolah dibuang ke teluk yang dangkal itu hingga airnya tercemar oleh logam berat dan zat mirip logam. Di antara logam berat ity terdapat zat merkuri (air raksa -- Hg) dalam bentuk senyawa organis metil merkuri. Zat merkuri itu melalui jasad renik menghimpun di tubuh ikan dan udang yang merupakan makanan utama penduduk sekitar teluk itu. Kadar metil merkuri dari hari ke hari bertambah dalam tubuh manusia -- melalui makanan mereka -- dan menyerang jaringan otak. Manusia yang terserang, kalaupun sempat hidup, menjadi cacad seumur hidupnya. Kini malapetaka seperti itu tidak mustahil akan menimpa Indonesia, khususnya di Jakarta. Limbah dari berbagai industri, tanpa pengolahan lebih dulu, terbuang melalui 17 sungai di wilayah DKI, yang akhirnya memasuki Teluk Jakarta. Cukup sering sudah berbagai instansi resmi mencanangkan bahaya ini. Bahkan awal tahun ini Menteri Negara PPLH Emil Salim, pernah mendapat penjelasan bahwa tingkat pencemaran air Teluk Jakarta oleh logam berat sudah sangat mencemaskan. Mengenai bahaya merkuri, kadarnya sudah mencapai angka yang tinggi sekali di atas nilai ambang batas (NAB -- batas aman) yang di Indonesia ditetapkan sebesar 0,005 ppm (bagian per juta). Februari lalu, direktur Lembaga Oseanologi Nasional (LON), Dr. Apriliani Soegiarto juga membenarkan bahwa Teluk Jakarta sudah tercemar oleh logam berat yang sudah melampaui batas aman menurut standar internasional. Tapi untuk mengetahui dengan pasti tingkat kontaminasi itu, masih diperlukan penelitian seksama dengan peralatan mutakhir. EPOS, sebuah kelompok studi pencemaran iingkungan, sudah mulai melakukan penelitian terhadap tingkat pencemaran Teluk Jakarta dan biota laut di dalamnya, serta pengaruhnya bagi manusia, terutama yang tinggal di sekitar teluk itu. Proyek EPOS ini dipimpin dr. Meizar B. Syafei. Bersama tim pembantunya, dr. Meizar mengumpulkan contoh dari berbagai lokasi nelayan seperti Cilincing, Marunda, Muara Angke dan Ancol Barat. Terutama Muara Anke menunjukkan pencemaran yang sangat tinggi. Contoh air yang diambil dari dasar muara Sungai Angke, misalnya mengandung kadar merkuri sampai 2 kali NAB. Dari berbagai sumur penduduk dan tambak ikan, kadarnya rata-rata 24 kali lebih tinggi dari NAB. Dari laut di depan kawasan industri Ancol, setinggi 48 kali. Juga ditelitinya 10 jenis ikan dan 1 jenis udang dari tambak di Marunda. NAB untuk ini sebesar 0,4 ppm. Namun seekor ikan mujair dari tambak ikan di Marunda menunjukkan kadar mcrkuri 3 kali lebih tinggi, sedang udangnya mencapai 2,5 kali lebih tinggi. Menurut dr. Meizar, sebenarnya tidak ada batas aman dalam hal merkuri ini. Jumlah sekecil apapun, bila cukup lama dimakan, ia akan menimbulkan efek penyakit yang mengerikan. Hal yang mengejutkan dr. Mei adalah tingginya angka kematian anak di desa nelayan Muara Angke itu. Dari 5 keluarga, dengan total 30 anak berbagai umur, 13 di bawah umur 3 tahun, meninggal dunia, atau 43,3%. Ini sangat tinggi bila dibanding, misalnya, dengan angka kematian bayi -- golongan umur 0 - 1 tahun -- yang mencapai 13,7% di Indonesia. Lingkungan buruk dan kotor di situ mungkin merupakan faktor utama bagi kematian anak-anak Muara Angke itu." Tapi kenyataan bahwa kadar merkuri di seluruh lingkungan itu sangat tinggi menimbulkan curiga," kata dokter wanita itu. Penelitian EPOS di Teluk Jakarta masih berlangsung terus. Berbagai contoh air dan biota laut dari daerah Pulau Air, Pulang Panggang dan sekitarnya dan beberapa tempat lain sedang diujinya di laboratorium. "Sumber polusi bagi Teluk Jakarta harus dihentikan sekarang juga," ujar dr. Meizar, "Kalau tidak, kita akan menghadapi kasus Minatama di negeri kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus