Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Lembang di waktu malang

Desa lembang berkembang dengan cepat, tapi ternyata mengganggung peneropong bintang di observatorium bosscha. untuk itu penduduk diminta membatasi sinar lampu di luar rumah dan memakai cat gelap.

7 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Lembang berkembang cepat. Rumah, bahkan vila kini banyak berdiri. Di malam hari cahaya listrik telah memantul dari desa yang terletak pada ketinggian 1.300 m dari permukaan laut itu. Tapi ternyata semua im mengganggu peneropongan bintang yang ada di situ. Tanah desa ini memang dikenal subur. Sesuai dengan udaranya, penduduk banyak bertanam sayur mayur, seperti kol, tomat, kentang. Belakangan juga buah apel. Dengan luas 400 ha, desa ini termasuk kawasan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Dulu, desa dengan penduduk sekitar 35.000 jiwa ini, selalu remang-remang, bahkan gelap di malam hari. Bukan karena tiada aliran listrik. Semua cahaya dibatasi di waktu malam, agar tidak mengganggu tugas peneropongan bintang di Observatorium Bosscha yang nongkrong di puncak bukit di sana. Bahkan rumah-rumah ditentukan agar dicat dengan warna gelap. "Sepuluh tahun lalu warna rumah-rumah di sini hitam semua," tutur Supriadi yang rumahnya berada di sekitar 200 meter dari peneropong bintang itu. Lampu-lampu yang ada, tambah Supriadi, hanya untuk penerangan di dalam rumah. Tapi sekarang rumah-rumah juga memasang lampu pekarangan, warna-warni lagi. "Dan rumah saya sudah bercat putih," kata Supriadi lagi, "tak enak melihat warna hitam seperti cat penjara itu. " Tapi Nyonya Rudini yang membuka warung kecil di kaki observatorium tak pernah merasa terganggu oleh ketentuan tadi. Ia sudah 8 tahun tinggal di desa itu. "Kalau observatorium mau meneropong bintang di malam hari, Pak Bambang selalu berkeliling mendatangi rumah-rumah penduduk, minta agar penduduk membatasi sinar lampu di luar rumah -- biasanya penduduk langsung patuh," tutur Nyonya Rudini. Yang mendatangi rumah-rumah penduduk itu ialah Prof. Dr. Bambang Hidayat, direktur Observatorium Bosscha. Meskipun kawasan sekitar peneropong bintang itu sudah dikelilingi oleh pohon-pohon cemara sebagai penyerap cahaya, nampaknya belum cukup. Bukan saja karena Bambang Hidayat tak mungkin harus selalu mendatangi rumah-rumah penduduk, juga karena jumlah rumah semakin bertambah dan seakan selalu berlomba memantulkan cahaya lampu. Namun yang mengganggu peneropongan bintang di sana tidak hanya cahaya lampu. Lalu-lalang kendaraan -begitu pula penggalian tanah -- juga menimbulkan getaran yang sangat mengganggu ketajaman alat peneropong dalam meneliti bintang-bintang nun jauh di sana. Jadi bagaimana seharusnya? Menurut Bambang Hidayat, lampu di luar rumah seharusnya tak lebih dari 10 watt dan cahayanya betul-betul mengarah ke bawah. Mengenai bangunan, dianjurkan tak melebihi 10 meter tingginya atau 3 tingkat. Dan warnanya gelap. Itulah sebabnya pembangunan hotel milik Pertamina tak jauh dari observatorium, juga penggalian tanah secara besar-besaran (untuk diambil batunya) sudah dihentikan. Lebih dari itu Bambang Hidayat juga menginginkan agar jalan-jalan sekitar Lembang ditutup untuk kendaraan di malam hari. Maksudnya, selain menghindari timbulnya getaran, juga mencegah cahaya lampu sorot menerobos langit di atas observatorium. Impian sang direktur itu agaknya sulit terlaksana. Sebab jalanan itu memang selalu ramai oleh kendaraan yang siang dan malam mengangkut sayur atau penumpang. Lembang memang dilewati kendaraan dari Bandung menuju Kabupaten Subang (Ciater), Cisarua, atau Maribaya -- yaitu tempat-tempat rekreasi. Supaya kerja observatorium benarbenar tenang, dituntut pengamanan terhadap kawasan dalam radius 2 km. Maksudnya, menurut Bambang Hidayat, "agar diatur tata guna tanahnya." Dia khawatir tanah-tanah di sana kelak diperjual-belikan, lantas tumbuh bangunan-bangunan tinggi dengan pilar-pilar beton dan cat warna-warni. Bambang sudah berkali-kali menyatakan keluhannya kepada atasannya. "Tapi penanggulangannya sampai sekarang tidak ada," ujarnya lagi. Itu tak berarti pemerintah tidak memperhatikan, sebab kini sudah tersedia dana Rp 10 juta. Antara lain untuk memagar tanah milik observatorium yang 16 ha itu. Pagar itu dianggap perlu, sebab masih ada saja orang-orang yang menyerobot tanah observatorium: mengambil batunya, bahkan ada yang siap-siap hendak mendirikan bangunan. "Kadang-kadang saya harus mengawasinya, seperti petugas agraria saja," kata Bambang tertawa. Observatorium itu berdiri pada 1920 dirintis oleh seorang ahli perbintangan bernama Karl Albert Rudolf Bosscha. Sejak 1959, pengelolaannya diserahkan kepada ITB, dipimpin oleh Prof. Dr. The Pik Sin. Dan sejak 1968 Pik Sin digantikan Prof. Dr. Bambang Hidayat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus