DESA Lembang berkembang cepat. Rumah, bahkan vila kini banyak
berdiri. Di malam hari cahaya listrik telah memantul dari desa
yang terletak pada ketinggian 1.300 m dari permukaan laut itu.
Tapi ternyata semua im mengganggu peneropongan bintang yang ada
di situ.
Tanah desa ini memang dikenal subur. Sesuai dengan udaranya,
penduduk banyak bertanam sayur mayur, seperti kol, tomat,
kentang. Belakangan juga buah apel. Dengan luas 400 ha, desa ini
termasuk kawasan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung.
Dulu, desa dengan penduduk sekitar 35.000 jiwa ini, selalu
remang-remang, bahkan gelap di malam hari. Bukan karena tiada
aliran listrik. Semua cahaya dibatasi di waktu malam, agar tidak
mengganggu tugas peneropongan bintang di Observatorium Bosscha
yang nongkrong di puncak bukit di sana. Bahkan rumah-rumah
ditentukan agar dicat dengan warna gelap.
"Sepuluh tahun lalu warna rumah-rumah di sini hitam semua,"
tutur Supriadi yang rumahnya berada di sekitar 200 meter dari
peneropong bintang itu. Lampu-lampu yang ada, tambah Supriadi,
hanya untuk penerangan di dalam rumah. Tapi sekarang rumah-rumah
juga memasang lampu pekarangan, warna-warni lagi. "Dan rumah
saya sudah bercat putih," kata Supriadi lagi, "tak enak melihat
warna hitam seperti cat penjara itu. "
Tapi Nyonya Rudini yang membuka warung kecil di kaki
observatorium tak pernah merasa terganggu oleh ketentuan tadi.
Ia sudah 8 tahun tinggal di desa itu. "Kalau observatorium mau
meneropong bintang di malam hari, Pak Bambang selalu berkeliling
mendatangi rumah-rumah penduduk, minta agar penduduk membatasi
sinar lampu di luar rumah -- biasanya penduduk langsung patuh,"
tutur Nyonya Rudini.
Yang mendatangi rumah-rumah penduduk itu ialah Prof. Dr. Bambang
Hidayat, direktur Observatorium Bosscha. Meskipun kawasan
sekitar peneropong bintang itu sudah dikelilingi oleh
pohon-pohon cemara sebagai penyerap cahaya, nampaknya belum
cukup. Bukan saja karena Bambang Hidayat tak mungkin harus
selalu mendatangi rumah-rumah penduduk, juga karena jumlah rumah
semakin bertambah dan seakan selalu berlomba memantulkan cahaya
lampu.
Namun yang mengganggu peneropongan bintang di sana tidak hanya
cahaya lampu. Lalu-lalang kendaraan -begitu pula penggalian
tanah -- juga menimbulkan getaran yang sangat mengganggu
ketajaman alat peneropong dalam meneliti bintang-bintang nun
jauh di sana.
Jadi bagaimana seharusnya? Menurut Bambang Hidayat, lampu di
luar rumah seharusnya tak lebih dari 10 watt dan cahayanya
betul-betul mengarah ke bawah. Mengenai bangunan, dianjurkan tak
melebihi 10 meter tingginya atau 3 tingkat. Dan warnanya gelap.
Itulah sebabnya pembangunan hotel milik Pertamina tak jauh dari
observatorium, juga penggalian tanah secara besar-besaran (untuk
diambil batunya) sudah dihentikan.
Lebih dari itu Bambang Hidayat juga menginginkan agar
jalan-jalan sekitar Lembang ditutup untuk kendaraan di malam
hari. Maksudnya, selain menghindari timbulnya getaran, juga
mencegah cahaya lampu sorot menerobos langit di atas
observatorium.
Impian sang direktur itu agaknya sulit terlaksana. Sebab jalanan
itu memang selalu ramai oleh kendaraan yang siang dan malam
mengangkut sayur atau penumpang. Lembang memang dilewati
kendaraan dari Bandung menuju Kabupaten Subang (Ciater),
Cisarua, atau Maribaya -- yaitu tempat-tempat rekreasi.
Supaya kerja observatorium benarbenar tenang, dituntut
pengamanan terhadap kawasan dalam radius 2 km. Maksudnya,
menurut Bambang Hidayat, "agar diatur tata guna tanahnya."
Dia khawatir tanah-tanah di sana kelak diperjual-belikan, lantas
tumbuh bangunan-bangunan tinggi dengan pilar-pilar beton dan cat
warna-warni.
Bambang sudah berkali-kali menyatakan keluhannya kepada
atasannya. "Tapi penanggulangannya sampai sekarang tidak ada,"
ujarnya lagi. Itu tak berarti pemerintah tidak memperhatikan,
sebab kini sudah tersedia dana Rp 10 juta. Antara lain untuk
memagar tanah milik observatorium yang 16 ha itu.
Pagar itu dianggap perlu, sebab masih ada saja orang-orang yang
menyerobot tanah observatorium: mengambil batunya, bahkan ada
yang siap-siap hendak mendirikan bangunan. "Kadang-kadang saya
harus mengawasinya, seperti petugas agraria saja," kata Bambang
tertawa.
Observatorium itu berdiri pada 1920 dirintis oleh seorang ahli
perbintangan bernama Karl Albert Rudolf Bosscha. Sejak 1959,
pengelolaannya diserahkan kepada ITB, dipimpin oleh Prof. Dr.
The Pik Sin. Dan sejak 1968 Pik Sin digantikan Prof. Dr. Bambang
Hidayat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini