Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Halimun Di Tembagapura

Laporan kunjungan fikri jufri ke tambang tembaga di pegunungan jayawijaya, irian jaya (freeport indonesia inc), tambang ini 80% sahamnya dimiliki perusahaan freeport minerals di new york.(dh)

7 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEGUNUNGAN Jayawijaya selalu berselimut halimun. Tapi pagi 23 Mei itu lain dari biasa: cerah. Matahari pun muncul, meskipun agak malu-malu kucing, menyinari daerah Gunung Bijih, pusat kegiatan pertambangan tembaga Freeport Indonesia Inc. yang hampir saban hari ditimpa hujan. Di ketinggian 3.600 meter itu, Sabaruddin Daha, pemuda asal Timor yang baru sebulan bekerja di sana, kelihatan menggigil. "Dingin sekali, pak," katanya sembari menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Suhu hari itu memang 7 derajat C., menyamai dinginnya awal musim semi di Eropa. Kalau sore turun hujan hanya bisa lebih dingin lagi, sekalipun tak sampai menurun ke titik beku. Tak jauh dari Gunung Bijih, dari helikopter nampak hamparan sungai salju (glacier), menyelimuti sebagian dari pegunungan yang ganas dan perawan itu. "Kehidupan memang keras di pegunungan yang amat terpencil ini," kata Joe Murray, asisten general manager FI. Tapi bagi FI, yang 80% sahamnya dimiliki perusahaan Freeport Minerals di New York, daerah terpencil itu pula yang membuka lembaran baru. Setelah menutup diri selama lebih 7 tahun, sejak diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 3 Maret 1973, maskapai asing yang tergolong perintis dalam sejarah PMA di Indonesia mulai sedikit membuka tabirnya. "Kami memang agak terlalu lama bersikap low profile (merendah)," kata Ali Budiardjo, 67 tahun, presiden merankap direktur Fl. Salah satu sebabnya, menurut orang pertama Fl itu adalah faktor keamanan juga. Beberapa tahun lalu daerah tembaga itu dinyatakan rawan. Gerombolan OPM yang mengacau di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, sempat juga bikin geger di Tembagapura, kota modern yang dibuat oleh Freeport, 8 km di selelah selatan Gunung Bijih. Tapi ada soal lain yang nampaknya membuat Fl itu mulai membuka dirinya. Setelah sekian lama mengeduk tambang di atas tanah (open pit) -- yang kini sudah hampir habis itu -- induk Freeport di New York sejak beberapa waktu lalu menyatakan masih betah tinggal di daerah rawan itu. "Setidaknya untuk 20 tahun lagi," kata W.J. Bieneman, asistellgeneral malager yang lain, yang sudah bergumul 20 tahun di dunia pertambangan. Menurut Bieneman, tambang di atas tanah yang kini menghasilkan sekitar 4.500 metric ton bijih tembaga sehari, baru akan habis pada 1983-1984. Tapi diam-diam FI kini tengah merampungkan sebuah tambang di bawah tanah yang lebih kaya dari tambang terbuka. Terletak di sebelah timur Gunung Kijih, masih dalam areal pertambangan FI, proyek tambang bawah tanah itu seluruhnya diperkirakan akan menelan biaya US$ 101,5 juta. Antara lain untuk kereta kabel (tramway) pengangkut bijih, pusat pembangkit tenaga, untuk pabrik dan untuk perbaikan Kota Tembagapura sendiri. Kota itu sekarang dihuni hampir 3.000 jiwa, termasuk 452 expatriate (tenaga asing) serta keluarganya. Tahun depan tambang yang dilengkapi sebuah terowongan panjang bercabang-cabang setinggi dua meter, akan menggelinding dengan produksi permulaan 4.500 metric ton sehari. Adapun kapasitas produksi tambang dalam tanah itu mencapai 9.500 metric ton sehari. Patut diketahui dalam setiap 1 ton bijih tembaga bersarang 2,5% konsentrat -- suatu kadar yang mungkin tertinggi di dunia, lebih tinggi dari kadar tembaga di Bouganville, harta karun yang terpendam di bagian paling timur Papua Nugini. Dalam setiap ton bijih tembaga terdapat pula 8,24 gram perak dan 0,77 gram emas. Kini para tenaga Indonesia bersama ahli-ahli asing sedang menyelesaikan pekerjaan besar itu. Berjalan-jalan di dalam terowongan yang gelap, menyusul beberapa bagian jalan yang belum selesai dan berlumpur, badan rasanya memang bisa kaku. Udara di dalam trowongan itu jauh lebih dingin dibandingkan tambang terbuka, kadang mencapai di bawah derajat C. "Ya, kami praktis berada di dalam terowongan selama tujuh jam sehari, " kata seorang pengebor. Berambut agak ondrong, pemuda lulusan STM itu bersama seorang temannya sudah bekerja lebih setahun di sana. Mereka beranggapan gaji mereka (menurut pengakuan di bawah Rp 100.000 sebulan) kurang. Tapi di samping gaji, mereka yang bekerja di daerah tambang itu memperoleh 'uang dingin' -- semacam bonus yang cuma Rp 750 sehari. Di daerah pabrik di Gunung Bijih itu ada sekitar 85 karyawan FI bangsa Indonesia, semuanya laki-laki dan membujang- baik karena belum kawin maupun karena tak bisa membawa keluarganya ke Tembagapura. Sedang karyawan Indonesia yang berada di bawah naungan beberapa kontraktor, juga semuana nlembujang, terakhir tercatat 336 orang. Tak begitu jelas apakah kedua pemuda yang mengeluh kurang gaji itu termasuk karyawan FI langsung atau karyawan yang digaji oleh kontraktor. Tapi buat Martinus Jarangga, 25 tahun, kerja di udara pegunungan itu terasa biasa. Bcrasal dari daerah pesisir Biak, tukang kayu yang meninggalkan istri dan satu anak ini memang lebih beruntung ketimbang teman-temannya yang terpisah jauh dari keluarga. "Kalau cukup uang saya bisa pulang ke Biak sebulan sekali, " kata Martinus. Mengaku bergaji Rp 140.000 (US$ 225) sebulan, dia merasa senang juga bisa makan daging hampir setiap hari. !ni berbeda dengan beherapa karyawan asal Jawa dan Sulawesi misalnya yang merasa "bosan" disuguhi makanan a la Barat. Di Tembagapura ada 1.103 orang Indonesia, termasuk keluarga karyawan FI. Bagi 49 expatriate yang berstatus single, hidup mereka memang jauh lebih lumayan. Mendapat fasilitas yang lebih baik dari karyawan Indonesia, termasuk gaji yang besar dan fasilitas liburan, mereka umumnya "bekerja tak lebih dari dua tahun di sini," kata seorang staf Indonesia. Perlu Senang-Senang Mungkin perasaan yang bercampur antara kebosanan karena terpisah dari keluarga dan gaji yang relatif kurang itu, yang membuat Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) setempat beberapa kali konflik dengan pimpinan Fl. Seorang yang mengaku wakil dari FBSI di Tembagapura menyatakan adalah "faktor keluarga" yang membuat mereka tidak betah. "Harus maklum juga kami ini manusia, jadi perlu senang-senang juga," kata seorang buruh lain. Apa yang dimaksudkan dengan "kesenangan" oleh si buruh itu memang tak mudah diperoleh di Tembagapura. Untuk itu paling sedikit ia harus terbang ke Jayapura atau di Biak sana, yang selain makan ongkos juga makan waktu. Perasaan yang dihadapi para karyawan itu diketahui oleh pimpinan Fl. "Saya percaya soal perumahan itulah vang paling mereka rasakan," kata Ali Budiardjo kepada TEMPO pekan lalu. Menurut orang petama FI yang hampir setiap bulan berkunjung di Tembagapura, "Indonesianisasi bisa berantakan kalau staf Indonesia tak didatangkan," katanya. "Sudah tentu mereka perlu rumah. " Membaca bagan organisasi Freeport Indonesia Inc., orang Indonesia akan Inerasa senang melihat nama-nama seperti B. Guntoro yang berdampingan dengan R.L. Stevens, R.J. Bechel dan M.J. Barnett -- semuanya tingkat manajer. Bahkan Usman Pamuntjak, manajer operasi yang berada langsung di bawah general manager L.C. Acton, membawahkan beberapa superintendent (pengawas) yang expatriate. Tapi si staf asing bermata biru itu bergaji 5 sampai 6 kali dibanding superintendent seperti Poernomo Hardjo, alumni ITB yang sudah lima tahun lebih bekerja di sana. "Seorang asing bujangan yang baru lulus universitas di Amerika paling jelek mendapat US$ 20.000 setahun," kata Ali Budiardjo. Presiden FI yang selalu berpakaian sederhana, dan berbicara pelan itu, mengakui "memang tragis kalau sampai staf Indonesia tak punya rumah." Dengan kata lain, kalaupun kompleks perumahan keluarga di Tembagapura ditambah, prioritas pertanoa akan jauh pada staf Indonesia itulah. Menurut Ali Budiardjo, untuk membuat satu rumah saja di tengah belantara hutan bakau itu, diperkirakan akan menelan US$ 40.000 (Rp 25 juta). Perumahan dengan dua sampai tiga kamar tidur di Tembagapura, selain dibuat dari barang yang semuanya serba impor, juga dilengkapi dengan meubiler, alat pemanas, mesin cuci, lemari es. Mirip perumahan di Amerika. Maka ada pikiran untuk membual sistem flat, yakni gedung bertingkat seperti di Jakarta. Tapi jauh sebelum semua pikiran itu mampu dituangkan di dalam rencana di atas kertas, 30 Mei lalu terbetik berita dari Tembagapura, pemogokan terjadi di sana. Di balik kercsahan hidup membujang, juga dituntut kenaikan tunjangan. Suatu pagi di bulan April, jauh sebelum diumumkannya pengumuman "penyesuaian" harga-harga BBM oleh pemerintah, para buruh lewat FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) setempat menuntut tambahan uang tunjangan yang cukup lumayan besarnya Rp 75.000 sebulan di samping gaji. Para buruh yang tergabung, dalam Perjanjian Kerja Bersama (CLA) selama dua tahun, 1979-1981, tentu mempunyai alasan-alasan tersendiri mengapa mereka melempar tuntutan yang tinggi. Mereka antara lain menunjuk pada faktor inflasi yang menaik di Australia, tempat pembelian hampir semua kebutuhan sehari-hari di Free-ort. Tapi pihak pimpinan beranggapan tuntutan para buruh itu tak masuk akal. Selain perjanjian yang sama-sama sudah disepakati itu belum selesai masa berlakunya, pimpinan menunjuk pada satu ketentuan harga dari bahan-bahan yang dijual di super-market Tembagapura dibekukan selama berlakunya PKB itu. Harga kebutuhan pokok seperti beras memang masih tetap Rp 95 per kg. Telur ayam Rp 275 per lusin, sedang ayamnya Rp 575 per kg. Sedang gula yang di Indonesia menggila sebelum kenaikan harga BBM, di sana masih tetap bisa dibeli dengan Rp 160 per kg. Begitu pula tepung terigu Rp 110 per kg. Dan daging sapi lebih murah sedikit dari ayam Rp 515 per kg. Tentu saja kebutuhan para karyawan bukan cuma itu. Dan rupanya banyak barang lain seperti rokok, makanan, minuman, dan lain-lain kebutuhan yang tergolong "non-pokok", mengalami "penyesuaian" gara-gara itu inflasi di Australia. Ali Budiardjo sendiri berkesimpulan PKB yang berasal dari konsep Barat -- di mana buruh dan majikan merupakan dua pola yang bertentangan -- sebaiknya tak dipakai lagi untuk FI. "Lebih baik kembali ke konsep lama, perburuhan Pancasila," katanya. Kenapa? "Ya, kalau terjadi beda pendapat, kami langsung menghadap 'sang bapak', yaitu pemerintah," katanya. "Sedang dalam PKB pemerintah menunggu sampai konflik itu tak mencapai jalan keluar, hingga timbul pengaduan." Mana sistem yang lebih baik, pendapat pihak buruh tentu harus didengar juga. Sebab, dengan atau tanpa sikap aktit sang bapak', perlu dipertanyakan apa sebenarnya yang paling mencemaskan mereka?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus