Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sinyal Kuat Komersialisasi Kampus

Keharusan perguruan tinggi negeri berbadan hukum dan otonomi pengelolaan keuangan dalam RUU Sisdiknas menjadi sinyal kuat komersialisasi kampus negeri. Penerimaan mahasiswa baru hingga pemberian gelar kehormatan makin terbuka diperdagangkan.

29 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi mahasiswa baru mengikuti pembukaan Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru di Yogyakarta, 1 Agustus 2022. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Muatan RUU Sisdiknas membuka ruang komersialisasi pendidikan lewat keharusan semua perguruan tinggi negeri berbadan hukum.

  • Berbagai otonomi yang diberikan kepada kampus, khususnya pengelolaan keuangan, mempertegas praktik komersialisasi pendidikan.

  • Kementerian Pendidikan mengklaim tak ada data bahwa PTN-BH akan memicu terjadinya komersialisasi pendidikan di kampus.

JAKARTA – Pegiat dan pemerhati pendidikan menganggap materi dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tak menjawab maraknya komersialisasi pendidikan di kampus negeri. Muatan RUU Sisdiknas justru tetap membuka ruang komersialisasi pendidikan lewat keharusan semua perguruan tinggi negeri (PTN) berbadan hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Dewan Pengarah Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI), Doni Koesoema, mengatakan rencana perubahan seluruh kampus negeri berbentuk badan hukum atau perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH) menjadi celah untuk mengkapitalisasi kampus dan mencari keuntungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Konsep PTN-BH itu artinya mereka diberi kebebasan dan otonomi dalam mengelola perguruan tinggi, sehingga potensi lembaga pendidikan tinggi dikomersialkan akan sangat tinggi," kata Doni, kemarin.

Menurut dia, konsep PTN-BH dalam RUU Sisdiknas rentan akan penyelewengan. Contohnya, seleksi mahasiswa baru lewat jalur mandiri yang diduga kuat sudah dikomersialkan. Salah satu buktinya adalah kasus suap Rp 5 miliar kepada Rektor Universitas Negeri Lampung Karomani dalam penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri tahun akademik ini. Karomani bersama Wakil Rektor Unila Bidang Akademik Heriyandi dan Ketua Senat Unila M. Basri ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, lalu ditetapkan sebagai tersangka kasus suap tersebut pada Sabtu dua pekan lalu.

"Kalau otonomi soal akademik, itu oke. Tapi kalau otonomi manajemen keuangan, tidak akan bisa terkendali dan tidak ada yang mengontrol. Ini bahaya," ujar Doni.

Rektor Universitas Lampung Karomani (tengah) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, 21 Agustus 2022. ANTARA/Sigid Kurniawan

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sudah menyusun draf RUU Sisdiknas, lalu diunggah di laman Sisdiknas.kemendikbud.go.id untuk mendapat tanggapan publik, pekan lalu. Pemerintah juga mengusulkan ke Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat agar memasukkan RUU Sisdiknas ke Program Legislasi Nasional Prioritas Perubahan 2022.

RUU Sisdiknas tersebut dibuat secara ominibus, yaitu menggabungkan tiga undang-undang menjadi satu. Ketiga undang-undang tersebut adalah UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, serta UU Pendidikan Tinggi. RUU itu berisi sejumlah aturan baru sekaligus menghapus berbagai ketentuan dalam tiga undang-undang tersebut.

Pemerhati pendidikan dari Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa, Darmaningtyas, sependapat dengan Doni. Darmaningtyas mengatakan keharusan perguruan tinggi negeri berbentuk badan hukum merupakan upaya privatisasi dan liberalisasi pendidikan. Apalagi kampus diberi otonomi dalam mengelola keuangan dan sarana-prasarana, mengangkat serta memberhentikan pendidik dan tenaga kependidikan, serta mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi.

"Kalau punya kebebasan mengatur sendiri, ya, jelas bisa membuat PTN-BH melakukan komersialisasi dan biaya kuliah bisa menjadi lebih mahal," kata Darmaningtyas.

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Anindito Aditomo, menjelaskan bahwa tujuan peningkatan otonomi perguruan tinggi adalah mengakselerasi perubahan sektor pendidikan tinggi. Sebab, otonomi PTN merupakan prasyarat untuk mengembangkan ilmu serta tumbuhnya berbagai kreativitas, inovasi, dan pemikiran.

Ia mengatakan perguruan tinggi membutuhkan otonomi dalam urusan organisasi, keuangan, sumber daya manusia, dan akademik agar kampus bisa berlari cepat meningkatkan kualitas. "Bentuk pengelolaan PTN sebagai badan hukum meningkatkan komersialisasi pendidikan tidak terbukti dengan data," kata Anindito.

Sesuai dengan data Kementerian Pendidikan, kata dia, pengelolaan PTN sebagai badan hukum justru meningkatkan efisiensi dan kinerja kampus, meningkatkan perolehan sumber pendanaan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta meningkatkan jumlah mahasiswa, beasiswa, dan peringkat kampus secara internasional.

Dia juga berdalih tak ada peningkatan uang kuliah atau peningkatan proporsi jalur seleksi mahasiswa mandiri dibanding seleksi mahasiswa berprestasi dengan adanya PTN-BH. Sebab, biaya kuliah tunggal serta kuota mahasiswa baru jalur mandiri ditetapkan Kementerian Pendidikan tanpa melihat bentuk perguruan tinggi negeri tersebut.

Selanjutnya, kata Anindito, muatan RUU Sisdiknas tetap mempertahankan 20 persen kota mahasiswa baru yang berasal dari masyarakat kurang mampu. Kampus juga tidak diperkenankan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa dalam penerimaan mahasiswa baru. "Perubahan kampus menjadi PTN badan hukum tidak berarti mengurangi subsidi pemerintah terhadap PTN," katanya. 

Perserta ujian mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri di Universitas Indonesia, Depok, 19 Mei 2022. Dok Tempo/Magang/Muhammad Syauqi Amrullah

 

Obral Gelar Kehormatan

Praktik komersialisasi pendidikan di lingkungan kampus juga berpotensi terjadi lewat pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa ataupun profesor kehormatan. Ketua APPI Doni Koesoema menduga banyak kampus mudah memberi gelar kehormatan karena tidak ada batasan dan standar yang ketat. Selama ini, pemberian gelar kehormatan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1980 tentang Pedoman Pemberian Gelar Kehormatan.

"Gelar honoris causa hanya dijelaskan secara umum dalam RUU Sisdiknas. Selanjutnya, nanti masih diatur melalui peraturan pemerintah," kata Doni. 

Pegiat pendidikan dari Vox Populi Institute, Indra Charismiadji, berpendapat bahwa mudahnya kampus memberi gelar kehormatan menjadi persoalan tersendiri. Selama ini, kata dia, banyak kampus terkesan mengobral gelar kehormatan akibat tidak adanya konsep sistem pendidikan nasional yang jelas.

Kondisi tersebut membuat siapa pun bisa mendapat gelar honoris causa. Karena itu, kata Indra, Kementerian Pendidikan semestinya memikirkan hal tersebut dalam RUU Sisdiknas. "Sistem pendidikan kita sudah berantakan. Karena sistem yang kacau ini, obral gelar honoris causa bisa diberikan kepada siapa saja karena tidak ada tujuan mencerdaskan bangsa. Ini yang menjadi problem," ujarnya.

IMAM HAMDI | RIRI RAHAYUNIGTYAS
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus