Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Volvo di Balik Kelambu
Sebuah mobil yang nangkring di halaman parkir gedung DPRD Riau masih terbungkus kelambu parasut krem. Kuda besi itu dari merek kelas atas, Volvo tipe jip XC 90 keluaran 2004, yang harganya hampir semiliar rupiah. Orang terhormat yang diberi hak menikmati mobil dari duit rakyat itu tak lain adalah Chaidir, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau periode 2004-2009.
Karena itulah mata petugas keamanan di gedung wakil rakyat itu cukup awas menjaganya. Berani mendekat, pasti anggota satpam datang dan memberondong dengan sejumlah pertanyaan. "Kami wajib mengamankannya," kata Azwar, salah seorang anggota satpam. Chaidir sendiri belum menikmati nyamannya berwira-wiri dengan mobil mewah itu, yang sudah berada di gedung Dewan sejak Desember tahun lalu.
Apakah tidak ada yang bisa mengemudikannya? Bukan. Bahkan sopir Pak Ketua, Fery Jhon, sudah gatal tangannya untuk mengutak-atik kemudi mobil itu. Adakah mobil kesayangan itu hanya cocok buat dielus lalu diselimuti kelambu? Bukan juga. Soalnya, mobil Volvo seharga Rp 750 juta untuk daerah sekelas Riau, yang APBD-nya saja Rp 2,5 triliun, tentu "tak seberapa".
Inilah jawabannya. Volvo ini butuh bahan bakar pertamax, sedangkan di Pekanbarumeskipun ibu kota provinsi kaya minyaktak ada pompa bensin yang menjual pertamax. "Mungkin Mei nanti," kata Gandhi Sriwidodo, Kepala Pertamina Pekanbaru, Riau. Lalu kenapa mobil itu harus dibeli juga? Kepala Biro Perlengkapan Sekretariat Daerah Provinsi Riau, Indra Bangsawan, santai saja menanggapinya. "Kami hanya menjalankan amanat APBD 2004 yang telah disahkan Dewan," katanya.
Indra juga tak mau pusing dengan soal teknis mobil. "Mestinya kan dibahas saat usulan proyek masuk ke panitia anggaran," katanya. Inilah yang tak pernah dilakukan. Chaidir juga tak mau tahu soal sumber usulan pembelian Volvo. "Sedari awal saya tak mau mengganti mobil. Saya nggak memintanya. Menurut saya, itu adalah pemborosan," kata Chaidir. Bagaimana kalau dibuatkan monumen dan mobil itu nangkring di sana sebagai simbol penghamburan uang rakyat?
Perkara Mobil Bergoyang
Dua sejoli, Nanta dan Ratna, berjanji memadu kasih di jantung Kota Medan. Malam Minggu awal Maret lalu, Nanta memacu mobil Mitsubishi Kudanya menjemput Ratna. Dua remaja berusia 20 tahun ini lantas melintas di Jalan Sudirman. Jalan protokol ini mulus tak ada lubang, juga tanpa polisi tidur. Ups, mobilnya tiba-tiba ngadat, lampu depan tak menyala. Ada gangguan. Sejenak, mereka berhenti tepat di depan rumah dinas Gubernur Sumatera Utara.
Tak berapa lama, sebuah mobil patroli polisi melintas. Dan berhenti persis di sebelah mobil dua sejoli tadi. Empat anggota Samapta Kepolisian Kota Besar Medan menghampiri. Mereka menggedor kaca jendela mobil dan Nanta pun keluar. Selanjutnya, polisi meminta surat-surat kendaraan. Lengkap. "Tapi saya tetap dibawa jalan. Seorang polisi lain bersama pacar saya," kata Nanta dengan heran.
Saat dibawa jalan-jalan itulah, kata Nanta, tiga polisi tadi mulai membuat tuduhan. Nanta dibilang bermesum ria di dalam mobil. Benarkah? Nanta menggeleng-geleng dan minta dilepaskan. "Gampang kali cara membebaskan kau," kata Nanta meniru ucapan salah seorang polisi tadi. Belakangan tiga polisi itu minta uang lelah Rp 5 juta. Terjadi tawar-menawar, akhirnya koyak juga uang Nanta Rp 600 ribu.
Oh ya, Ratna juga menjalani pengalaman seru. Si polisi yang bersamanya itu juga menuduhnya berbuat mesum. "Bahkan dia minta Ratna membuktikan perawannya masih utuh atau tidak," kata Nanta. Tentu Ratna menepis permintaan itu.
Cerita dua sejoli ini mampir ke telinga Usman S.U. Jabrik Siregar, ayah Nanta. Usman yang adalah seorang pemimpin umum sebuah majalah di Medan meradang. Dia mengadu ke Kepolisian Kota Besar Medan.
Kepala Poltabes Medan Komisaris Besar Bagus Kurniawan langsung menahan empat polisi tadi. Hingga pekan lalu mereka masih diperiksa. Mereka adalah Brigadir Polisi Dua Heri, Ajun Inspektur Polisi Dua Desmon Nainggolan, Brigadir Polisi Kepala Asiolan Saut Tamba, dan Brigadir Polisi Dua S.P. Purba. Bagus sempat melayangkan tangannya ke pipi empat anak buahnya itu. "Mereka pantas mendapat hukuman," katanya.
Tapi salah seorang polisi yang ditahan itu merasa yakin ia melihat mobil itu bergoyang-goyang ketika didekati. Apakah setiap mobil bergoyang berarti , ah, nggak enak menulisnya.
Nurlis E. Meuko, Jupernalis (Pekanbaru), dan Bambang Sudjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo