Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hati Hughes yang Luka

Pembawa acara kondang Dewi Hughes menolak membagi harta gono-gini. Ia balik menuntut suaminya melakukan kekerasan.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa sangka pembawa acara kenamaan Desak Made Hughesia Dewi, 34 tahun, yang populer dipanggil Dewi Hughes, ternyata bernasib seperti wanita dalam lagu Hati yang Luka yang dilantunkan Betharia Sonata. Perjalanan perkawinannya dengan sang suami, Hestiafin Tachtiar Arifin, 34 tahun, selama empat tahun tak berjumpa bahagia.

Januari lalu, ia menggugat cerai di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dalilnya sederhana saja: tak ada kecocokan lagi bagi Hughes. Tapi itu rumusan dalam gugatan resmi. Dan memang kenyataannya, perkawinan itu bagi Hughes dipenuhi derai air mata.

Menurut Hughes, sepanjang perkawinan, pria kelahiran Palembang itu menjadi suami yang tak pernah memberi nafkah lahir. Sebab, sejak keluar bekerja dari sebuah perusahaan tambang, Avin menganggur. "Suami tak bekerja. Sayalah yang menopang kebutuhan keluarga," kata Hughes. Namun, meski menjalankan peran pencari nafkah, cacian kerap ia terima, mulai dari wanita gendut tak laku kawin sampai mulut bau.

Bahkan ia mengaku dipaksa melayani "nafsu seksual yang menyimpang" sang suami. Kegiatan mengaji dan bersedekah juga dibatasi. Bahkan dua kali ia kehilangan janin karena merasa dipaksa kerja terus-menerus. "Katanya saya tak boleh cengeng. Ayo, kerja terus," ujarnya kelu. Sang janin bahkan dikuburnya sendiri dengan menggaruk tanah di taman depan rumahnya menggunakan tangan.

Semua harta hasil keringatnya dikatakan dikuasai sang suami. "Semua honor kontrak dan tabungan dipegang Avin. Saya bahkan tak punya kartu kredit atau ATM," tuturnya. Untuk membayar rumah sakit akibat keguguran yang dialaminya, Hughes bahkan terpaksa membayar dengan recehan.

Serangan yang deras dari Hughes itu dibantah Avin. Ia menyebut pengakuan Hughes adalah fitnah. "Itu tidak benar," kata Avin. Tuduhan bahwa ia berusaha mengangkangi harta Hughes tak berdasar. Sertifikat rumah, dokumen mobil, deposito, tabungan, dan perhiasan semua berada di tangan Hughes dan ibunya. "Saya tidak ditinggali apa-apa," katanya.

Avin juga membantah mengeksploitasi istrinya. "Saya minta libur waktu dia keguguran, dan dikabulkan oleh production house," ujarnya. Apalagi soal kekerasan, tak ada bukti yang bisa ditunjukkan Hughes. Ia malah mengaku dua kali kena gaplok Hughes ketika membujuk sang istri pulang.

Melihat sikap Hughes, harapan untuk bersanding kembali sebagai suami-istri nyaris nihil. Tiga bulan lebih sidang perceraian mereka tak juga membuahkan putusan. Agaknya, cerai bukanlah soal utama. Justru pembagian harta bersama atau harta gono-gini yang menjadi pangkal kerumitan.

Hughes tak rela harta hasil banting tulangnya sebagai artis jatuh ke tangan lelaki yang "sudah menyia-nyiakan" dirinya. Celakanya, dalam gugatan cerai Hughes—yang dibuat pengacara pertamanya—ia menuntut pembagian sama rata. "Yang buat pengacara, katanya, ini sudah normatif. Padahal saya bilang itu duit hasil saya kerja," kata Hughes. Gugatan itu kini dijadikan pegangan sang suami.

Hughes lalu "berontak" terhadap tuntutan cerainya sendiri. "Gugatan itu gue yang bikin, tapi kok gue malah harus tombok ke Avin Rp 200 juta," katanya. Ia pun berganti haluan dengan menunjuk Elsya Syarief sebagai kuasa hukumnya. Jurus yang langsung terlontar adalah penolakan pembagian 50 : 50 atas harta bersama, seperti diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.

Konon, aset Hughes sebelum kawin mencapai Rp 5 miliar. "Namanya sudah top dan ia punya perusahaan," kata Elsya Syarif. Selama perkawinan, ada sekitar 50 kontrak baru yang bernilai sekitar Rp 4 miliar. Kekayaan itu diwujudkan antara lain dalam bentuk rumah, deposito, tabungan, dan mobil. "Hak Avin tak lebih dari 10 persen saja dari harta perkawinan. Itu adalah bayaran dia sebagai manajer," kata Elsya Syarief. Masalahnya makin rumit karena Hughes dan Avin tak melakukan perjanjian pranikah untuk pemisahan harta bawaan.

Tuntutan Hughes bisa jadi didasari juga oleh dalil hukum Islam yang lain. Yakni, apabila istri bekerja, hasilnya tidak bisa dianggap sebagai harta bersama, tapi milik sang istri. Kalaupun ia menggunakan untuk keperluan keluarga, itu dianggap sedekah (HR Bukhari Muslim). Namun, apakah hal itu mungkin, mengingat gugatan pembagian harta telanjur disidangkan?

Sang suami kemudian diadukan ke polisi Jakarta Selatan, tiga pekan lalu. Antara lain karena melanggar Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yakni melakukan kekerasan psikis, seksual, dan penelantaran terhadap Hughes sebagai istri.

Pengaduan ini termasuk langkah berani. Soalnya, ini peraturan baru yang belum pernah dicoba oleh perempuan Indonesia. Menurut aturan ini, pelaku kekerasan psikis dan seksual bisa dikenai pidana 3 bulan sampai 3 tahun atau denda Rp 3 juta hingga Rp 9 juta. Sedangkan penelantaran diancam pidana 3 tahun atau denda Rp 15 juta.

Arif A. Kuswardono, Oktamandjaya Wiguna, Yohanes Adi Wiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus