Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DULUNYA ramai pengunjung, apotek Herbana di Kecamatan Citangkil, Kota Cilegon, Banten, kini sepi pengunjung. Tati, apoteker sekaligus pemilik Herbana, mengatakan pembeli obat mulai surut setelah Kementerian Kesehatan mengeluarkan imbauan yang menahan penjualan obat sirop pada Selasa, 18 Oktober lalu. Imbauan itu terbit setelah terjadi kenaikan angka kasus gagal ginjal akut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alih-alih mengurus apoteknya, Tati lebih sering menjawab pertanyaan dari para pelanggan Herbana mengenai keamanan obat yang dijualnya. “Pelanggan saya tidak hanya takut beli obat sirop. Membeli obat tablet pun mereka ragu,” kata Tati saat dihubungi pada Jumat, 28 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Omzet apotek milik Tati pun merosot drastis. Biasanya ia bisa menjual minimal 15 obat sirop per hari. Sekarang tak ada satu pun obat sirop pindah ke tangan pelanggan. Padahal obat sirop paling banyak memenuhi etalase dan tempat penyimpanan di apoteknya. Imbauan Kementerian Kesehatan tak hanya berlaku untuk obat sirop anak, tapi juga dewasa.
Perempuan yang telah 28 tahun menjadi apoteker itu juga sedih karena kepercayaan publik terhadap obat menurun seiring dengan melonjaknya jumlah kasus gagal ginjal akut. “Padahal masih ada obat yang aman dikonsumsi,” ucap Tati.
Para pedagang obat di Pasar Pramuka, salah satu pusat grosir obat di Ibu Kota, juga terkena imbas dari imbauan Kementerian Kesehatan. Ketua Harian Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka, Yoyon, mengatakan kini hampir tak ada pembeli dari daerah lain yang mengambil obat. “Penjualan obat sirop turun sekitar 95 persen,” ujarnya.
Menurut Yoyon, para pedagang obat juga kebingungan karena sikap pemerintah tak ajek. Tiga hari seusai imbauan tak menjual obat sirop terbit, Kementerian Kesehatan merilis daftar 102 remedi yang digunakan penderita gagal ginjal akut. Daftar ini awalnya menjadi acuan penjual obat untuk menahan dagangannya.
Namun, dua hari kemudian, Badan Pengawas Obat dan Makanan merilis daftar lima jenis obat yang dipastikan mengandung senyawa berbahaya. Dua di antaranya, yaitu Termorex dan Flurin, tak masuk daftar yang dibikin Kementerian Kesehatan. Setelah itu, BPOM merilis daftar 133 obat sirop yang aman digunakan. “Kami bingung, mana yang harus diikuti,” tutur Yoyon.
Bukan hanya omzet menipis, para pemilik apotek dan pedagang obat juga sempat khawatir terhadap inspeksi yang digelar kepolisian. Melalui grup WhatsApp kumpulan apoteker, Tati, pemilik apotek Herbana di Cilegon, mendapat edaran pada Senin, 24 Oktober lalu. Isinya, polisi akan mendatangi apotek dan memeriksa keberadaan obat sirop yang diminta ditahan penjualannya.
Surat itu mendapat persetujuan dari dinas kesehatan dan organisasi profesi. “Dibilang agar kami enggak kaget kalau ada sidak (inspeksi mendadak) kepolisian. Ternyata banyak apotek di Cilegon kena inspeksi,” kata Tati.
Aksi sidak kepolisian tak hanya terjadi di Cilegon. Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia Noffendri Roestam mengatakan di daerah lain banyak apotek didatangi polisi. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy juga menginspeksi apotek di Bogor, Jawa Barat, bersama Wali Kota Bima Arya pada Sabtu, 22 Oktober lalu.
Petugas mengumpulkan berbagai jenis merek obat sirup yang dilarang dijual untuk sementara waktu di salah satu apotek, Kendari, Kendari, Sulawesi Tenggara, 20 Oktober 2022. ANTARA/Jojon
Noffendri mengatakan apotek adalah sarana kesehatan seperti halnya rumah sakit dan klinik. Dalam Undang-Undang Kesehatan, apotek berada di bawah pembinaan Kementerian Kesehatan dan BPOM. Ia menilai inspeksi mendadak oleh polisi salah sasaran. “Inspeksi mendadak bikin kami enggak nyaman. Silakan aparat mampir, tapi bareng dinas kesehatan,” ujarnya.
Pada Selasa, 25 Oktober lalu, Markas Besar Kepolisian RI akhirnya menerbitkan telegram yang ditandatangani oleh Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Krisno Halomoan Siregar. Isinya memerintahkan seluruh jajaran Polri tak menggelar sidak ke apotek.
“Telegram itu sifatnya imbauan untuk tidak merazia toko obat dan apotek,” tutur Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan.
•••
BERAUDIENSI secara daring dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada Rabu, 19 Oktober lalu, perwakilan industri farmasi dan apotek mengeluhkan ketidakjelasan regulasi setelah kasus gagal ginjal akut merebak. Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia Noffendri Roestam mempertanyakan regulasi yang dikeluarkan secara mendadak.
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Elfiano Rizaldi juga menilai imbauan Kementerian Kesehatan terburu-buru dibuat dan tak melibatkan pelaku usaha. “Padahal industri farmasi juga tidak ingin obat membuat orang mati,” kata Elfiano kepada Tempo pada Kamis, 27 Oktober lalu.
Menurut dia, industri farmasi meminta Kementerian Kesehatan memberi kelonggaran waktu. Tujuannya agar produsen obat bisa menggelar tes mandiri terhadap produk yang beredar.
Sebelum Kementerian mengeluarkan imbauan, sejumlah perusahaan farmasi menguji mandiri produk mereka. PT Kalbe Farma Tbk, misalnya, mengklaim produknya bebas dari senyawa berbahaya seperti etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG). Adapun PT Soho Industri Pharmasi dan PT Ifars Pharmaceutical Laboratories mengumumkan keamanan produknya setelah imbauan keluar.
Belakangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga meminta produsen melakukan tes mandiri terhadap bahan baku tambahan. Pelarut dalam obat sirop merupakan bahan baku tambahan. Masalahnya, belum ada standar metode pengujian bahan baku tambahan. Mereka meminta BPOM membuat standar analisis pengujian.
Efliano menilai standar itu diperlukan agar tak timbul dispute antara pengujian mandiri dan hasil tes yang dilakukan BPOM. Dengan begitu, hasil uji mandiri bisa diterima oleh BPOM. Pada Selasa, 25 Oktober lalu, BPOM membagikan metode analisis pengujian kepada perusahaan farmasi.
Kepada Tempo pada Sabtu, 29 Oktober lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengaku mengeluarkan imbauan itu untuk mencegah lebih banyak pasien gagal ginjal akut. Ia pun sadar bahwa imbauan itu bersifat gebyah uyah alias pukul rata. “Tapi kami harus mengambil keputusan cepat,” ujarnya. Pada Selasa, 25 Oktober lalu, Kementerian Kesehatan merilis 156 obat sirop yang bisa digunakan lagi.
Adapun Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito dalam wawancara tertulis dengan Tempo mengatakan lembaganya menginstruksikan pengujian mandiri sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha. Hasil uji mandiri itu harus dilaporkan kepada BPOM. “Saat ini belum ada standar internasional yang mewajibkan pengujian cemaran EG atau DEG pada produk obat jadi,” katanya.
Elfiano Rizaldi berharap berbagai pembatasan terhadap obat sirop bisa segera dicabut jika hasil pengujian telah disetujui BPOM. Menurut dia, industri farmasi dari hulu hingga hilir terpukul oleh restriksi itu. Apalagi dalam setahun omzet dari obat sirop bisa mencapai Rp 5 triliun. “Efek snowball-nya besar,” ucapnya.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, YOGA YUDHISTIRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo