RADEN Bakok, 45 tahun, sudah bosan kemalingan. Yang hilang bukan televisi, video, atau kaset seperti terjadi pada orang-orang kota, melainkan sapi, kerbau, atau kambing. Buat orang seperti Bakok, yang tinggal di Desa Ubung, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, kecurian terasa berat, selain mendatangkan rasa kesal. Maklum, Bakok, seperti juga penduduk Lombok lainnya, menggantungkan asap dapur pada hewan kaki empat itu, baik sebagai tenaga kerja di sawah maupun hewan peliharaan yang mendatangkan duit. Akhirnya Bakok berontak. Ia tak sudi pasrah, dimain-mainkan nasibnya begitu saja oleh tukang-tukang jarah. Ia minta bantuan keluarganya untuk sama-sama mengejar hewan yang dibawa kabur itu. Meski bukan polisi, Bakok sudah mengenal metode pelacakan, yang dalam istilah kepolisian disebut "teori pencarian barang bukti". Upaya Bakok pada 1984 itu sukses. Sebagian besar hewan yang keluar dari kandangnya bisa diburu kembali. Tertarik pada keberhasilan Bakok, banyak tetangga menyontek cara kerjanya. Polisi di Lombok Tengah pun mencium gejala baik ini, dan setuju membentuk tim yang lebih terorganisasi. "Maka, pada 1988, dibentuk kelompok pemburu jejak Ubung, yang diresmikan oleh Kapolres Lombok Tengah," begitu ditulis dalam makalah yang dibuat oleh Letkol. Soediono Darmosoewito, bekas Kapolres Lombok Tengah. Selanjutnya, nama beken kelompok ini Tim Buru Jejak (TBJ). Pencurian ternak di seantero desa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, sudah lama membuat pusing banyak orang. Seperti kanker yang tak bisa ditebang habis. Malah ada yang menyebut dalam istilah yang lebih pesimistis, "sudah mentradisi". Kalau kita bongkar data pencurian ternak di Lombok Tengah, dalam tempo empat bulan saja (Agustus-Desember) tahun lalu, ada 32 kasus yang mengakibatkan kerugian 25 ekor sapi, 12 ekor kuda, kerbau, dan kambing. Tahun ini, sampai bulan Juni, tercatat ada 52 kasus yang menyebabkan hilangnya 42 ekor sapi, 14 kerbau, dan beberapa ekor kuda. Di Lombok Timur, tiga tahun berturut-turut (1981-1983), kasus pencurian menempati urutan pertama dalam daftar kejahatan. Tahun 1981, 301 ternak hilang dalam 247 kasus pencurian. Tahun berikutnya menanjak menjadi 252 kasus dengan kerugian 320 ekor. Tahun 1983, ada 213 kali pencurian atas 319 ekor hewan. Yang mengkhawatirkan bukan hanya angka. Sebab, di antara penjahat ini ada yang bukan saja maling ternak, tapi maling ternak "jahanam". Pada akhir Oktober lalu, umpamanya, satu komplotan pencuri ternak menggasak Amaq Nurhayati alias Sahnam, 30 tahun, warga Gubuk Bengkaung, Desa Jerowarui, tiga kilometer dari kota kecamatan Keruak, Lombok Timur. Pasalnya, karena Sahnam menggagalkan niat mereka untuk memangsa kerbau milik Haji Fathurahman, bapak Sahnam. "Baru terpegang seekor, keburu ketahuan Sahnam yang malam itu tidur di beranda rumah," ujar Risman S., Kapolres Lombok Timur. Sahnam melawan, tapi keberaniannya dijawab dengan ayunan parang ke sekujur punggungnya. Penduduk setempat sempat keluar rumah mendengar suara gaduh. Tapi usaha mereka untuk membela Sahnam disambut oleh hujan batu dari kawanan itu. Fathurahman juga sial. Lututnya luka bekas dihajar batu, dan ibu jari tangan kirinya hampir putus ditebas parang. "Secara kuantitas, pencurian di daerah ini perlu diperhitungkan," kata Risman, sembari membeberkan data. Tercatat 90% dari angka kejahatan pencurian dengan pemberatan (curat) adalah pencurian ternak. Keseluruhannya mencapai 280 kasus pada 1987, 214 kasus pada tahun berikutnya, dan 251 kasus tahun selanjutnya. Jumlah yang cukup tinggi untuk ukuran kabupaten. Inilah dunia kelam yang mesti dilindas Bakok dan kawan-kawan. Gentarkah Bakok? "Sekitar 99 persen ternak yang hilang bisa kami temukan lagi," kata Bakok, dengan gagah. Semangatnya mengalahkan sosoknya yang tinggi kerempeng dan berambut tipis. "Bahkan ternak yang sudah dipotong masih bisa ditemukan," ujar Bakok, yang sehari-hari bertani. Sebagai pelopor, Bakok mendapat kehormatan duduk di kursi Ketua "TBJ". TBJ tak bisa dianggap enteng. Dalam dua tahun, anggotanya terus menggelembung. "Tiap malam ada sekitar 100 orang yang kami beri pengarahan sebagai anggota baru," ujar Bakok. Keanggotaan itu tak hanya meliputi Lombok Tengah, tapi merambah sampai Lombok Barat. Kalau ditotal, armada pemburu ini mencapai 10 ribu orang dari 12 kecamatan di dua kabupaten itu. Termasuk jago-jago maling yang sudah insaf. "Mereka yang sudah sadar ini akan sangat membantu karena punya pengalaman mencuri ternak," ujar Soediono. Setiap anggota ditarik iuran Rp 10 ribu. Kini kekayaan TBJ mencapai: tiga truk Fuso, beberapa handy talky dan seragam kaus kuning. Di wilayah Polres Lombok Tengah pun sudah dibuat 1.448 kandang kolektif. Tiap kandang diisi puluhan ternak milik beberapa keluarga. Dan dijaga bergantian oleh anggota TBJ. Si kurus Bakok mengaku prakteknya tak memakai ilmu canggih. "Hanya mempelajari cara menelusuri jejak ternak," tuturnya. Urutan pelacakan ini dimulai dari tempat kejadian perkara. "Umumnya curian itu cepat-cepat dibawa menyeberangi sawah," tutur Bakok. Jelas, pencuri menghindari perkampungan, takut kepergok penduduk. Maka, tim ini pun harus rela mengais bukti di daerah-daerah sepi, hingga ke gunung. Tapi, seperti kata pepatah, tak ada kejahatan yang sempurna. Penjahat biasanya meninggalkan bukti, sekecil apa pun. Di tempat-tempat yang dilacak, ada-ada saja jejak yang menandakan daerah itu baru dilewati pencuri. Umpamanya tanaman padi atau jagung rebah bekas diterobos. Rumput yang luka-luka bekas dipijak si kaki empat. "Si pencuri tidak akan melalui pematang sawah," kata Soediono, dalam makalah yang disebutkan tadi. Sebab, lebar pematang tak cukup pas untuk melarikan hewan curian. Mata tim berkaus kuning ini juga menyorot pinggir-pinggir sungai kecil dan selokan. "Kami mencari bekas injakan kaki hewan yang tidak teratur dan tanah yang longsor," kata Amaq Gesek, 45 tahun, ketua kelompok TBJ Desa Pringgarata. Jejak ini tersisa karena si kaki empat dipaksa bergegas, berbeda jika dituntun baik-baik. "Kalau hewan berjalan santai, jejak kakinya tidak dalam," kata Soediono. Di jalan raya, petunjuk yang bisa membantu, misalnya bekas lumpur atau dedaunan yang terbawa kaki ternak. Ada juga penuntun lain: kotoran ternak yang encer. "Sapi yang sudah dibawa lari jauh biasanya akan mencret," kata Soediono. Repotnya kalau sudah sampai ke hutan, "pelacakan jadi sulit, ibarat mencari belut di kolam lumpur," kata Bakok. Perlu waktu lama, bisa sampai empat hari lima malam untuk melacaknya. Ini dialami Bakok, yang bersama timnya pernah bersafari sampai puluhan kilometer, ke tengah hutan Gunung Meringgi dan ke kaki Gunung Rinjani. Pertengahan September lalu, dua ekor sapi betina milik Amaq Kerti, warga Desa Ubung, baru ditemukan tiga hari berikutnya di Gunung Jambal, sekitar 30 kilometer dari rumah Amaq Kerti. "Kami sampai tidur di atas batu di pinggir sungai," kata Bakok mengenang. Buat Bakok, tak apa. Semua kisah sedih akan lenyap, begitu pencuri dan hewan yang hilang muncul di pelupuk mata. Kerja yang lumayan keras itu ternyata bisa menjaring hasil yang baik pula. "Waktu sedang gencar-gencarnya TBJ bersama polisi mengejar maling, dalam tiga hari bisa tertangkap 76 pencuri," kata Kapolsek Jonggat, Sudarno. "Sampai-sampai tahanan di semua kantor polisi di Lomteng tak bisa menampung, hingga terpaksa beberapa orang dititipkan ke Rumah Tahanan Praya." Sayangnya, tak cuma TBJ yang punya kiat mencari jejak. Maling-maling ternak juga bekerja dengan skenario. "Sekarang, malingnya sudah pintar-pintar," kata Bakok. Jarang maling bekerja sendiri. Mereka biasa beraksi dalam tim untuk berbagi tugas. Ada yang jadi pengintai, ada penunjuk jalan. Satu lagi, yang tak kurang perannya, adalah adanya ahli melarikan ternak. Meskipun binatang, mereka tak mudah diajak pergi begitu saja. Hewan juga mengenal iming-iming. Seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram, Yanis Maladi, pernah meneliti "Pencurian Ternak di Kabupaten Lombok Timur dan Permasalahannya". Dalam cerita Yanis, ada cara-cara khusus yang dilakukan para pencuri untuk "menaklukkan" mangsanya. Salah satunya dengan menyodorkan kulit jeruk ke hidungnya. "Jika hidung sapi/kerbau membaui kulit jeruk, hewan itu akan ikut ke mana saja pergi," kata Yanis dalam skripsinya. Cara yang lain adalah menyakiti hewan-hewan itu. Misalnya dengan memukul pantatnya dengan kayu Cengking yang penuh duri. Dalam keadaan sakit, hewan setuju saja dibawa kabur sampai ke neraka. Sebagian maling yang sudah pintar dan tahu cara kerja kelompok Bakok cepat-cepat menghapus jejak. Yang lebih bermodal cepat melarikan ternaknya ke atas kendaraan. Yang lebih gawat, sapi, kerbau, atau kambing itu langsung dipotong di tempat sepi. Tapi, seperti juga modus operandi pencurian mobil di kota besar, ada yang menginapkan dulu ternaknya justru di tempat yang tak jauh dari tempat pencurian. Di situ maling menunggu suasana aman, setelah orang repot menguber sejauh-jauhnya. Garasi sementara ini disebut gelumbang, lubang cukup besar di bawah rumah. Atau embung, waduk air yang kering di musim kemarau. Untuk melengkapi kejahatannya, sebisanya maling-maling itu juga menghapuskan ciri-ciri ternak curian. Bentuk tanduk diubah dengan bantuan pepaya muda panas. Cap yang tertera di tubuh hewan ditindas cap baru. Dengan identitas baru itu, sering pemilik tak mengenali lagi "harta"-nya. Dan tentu saja ini juga merepotkan TBJ dalam menemukan barang bukti. Karena, boleh jadi, ternaknya tertangkap tapi pencurinya tidak. Ini menyulitkan aparat keamanan untuk menanggulangi pencurian di daerahnya. Maling yang berakal memang sering melepas lagi ternaknya, setelah tahu dikejar tim buru jejak. Jadi, tak apa ternaknya tertangkap, asal bukan kepalanya sendiri. Karena itu, polisi sulit mengangkat kasus-kasus semacam ini ke pengadilan. Barang buktinya ada, tapi pelakunya tidak. Lalu muncul kecurigaan, jangan-jangan TBJ itu sendiri yang mencuri. Siapa tahu, bekas maling yang ikut dalam kelompok ini menjadi kumat. Walhasil, maling teriak maling. "Kalau ada suara sumbang seperti itu, saya biarkan," ujar Kapolres Lombok Tengah, Miftahol Karim. "Tapi kalau memang terbukti benar, TBJ akan saya bubarkan." Supriyantho Khafid, BSU
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini