DI negeri Sultan Qaboos, tak ada gedung pencakar langit, tak ada papan reklame, tak ada industri berat dan cerobong pabrik yang menjulang giat. Namun, bukan berarti Oman, kesultanan di ujung tenggara Jazirah Arab itu, mengabaikan mengikuti gerak zaman. Justru ia dengan sadar mungkin mendahului sebuah zaman. Pembangunan di sini yang dimulai dengan Rencana Lima Tahun ke-1 antara 1976 dan 1980, mencoba belajar dari kesalahan negeri lain. Dengan 95% dana dari minyak bumi, yang akhir tahun ini direncanakan mencapai 700.000 barel sehari, pemerintah Oman membangun banyak hal -- tapi tidak ingin gedung yang menjulang dan ritme hidup yang bergegas. "Bersih lingkungan" jadi kata kunci di sini, dengan makna yang tersendiri. Pada tahun 1974, hanya empat tahun berselang setelah Sultan Qaboos naik tahta, raja yang dididik di Inggris itu mengumumkan undang-undang lingkungan. Pada tahun 1979, ia mendirikan dewan pemeliharaan lingkungan yang ia pimpin langsung sendiri. Kemudian dibentuklah kementerian lingkungan hidup, dan kampanye besar dilangsungkan. Industri berat tak akan dipakai, diversifikasi ekonomi akan mengandalkan hal seperti perikanan -- yang nelayan-nelayan kecilnya dibantu pemerintah dengan perahu motor gratis. Setiap pendatang ke Oman akan terpesona oleh bersihnya jalan -- dan tak cuma di Ibu Kota Muscat, tapi juga di kota-kota kecil dan di pedalaman. Di Muscat sendiri, arsitektur dan perencanaan kota disesuaikan dengan langit yang terbuka luas, tanah yang berbukit-bukit karang, laut biru bersih yang mendekatkan diri di teluk-teluk. Di Oman, orang hanya diharuskan bekerja lima hari sepekan (dimulai hari Sabtu), agar -- menurut keterangan resmi -- mereka bisa bersama keluarganya di pinggiran kota lebih lama. Kesesakan di negeri sekitar 2,5 juta penduduk ini dengan demikian akan dihindari. Maka, di Muscat tak ada rumah kumuh. Tak ada sampah menumpuk. Para buruh dari Asia Selatan, dengan gaji sekitar Rp 400.000 sebulan, rajin membersihkan jalan. Mobil berseliweran (jarang sekali ada sepeda motor), tapi tak ada keriuhan. Penyeberang jalan dihormati, orang tak saling memekikkan klakson dan memaki. Santun, tak bergegas. Mungkin karena pasukan polisi yang selalu tampak dan berwibawa, mungkin karena orang tak usah bersusah payah cari nafkah. Muscat memang seperti Disneyland di Jazirah Arab -- yang seperti tak tergerak oleh krisis Teluk. Necis, agak artifisial, dan akhirnya memang membosankan karena hidup tak bergejolak. Namun, seperti kata seorang pendatang India yang buka toko reparasi listrik, "Di sini ada damai." Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini