Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Insan Sinema Melawan Kekerasan Seksual

Suara untuk melawan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia hiburan, terutama film, bergaung kencang beberapa bulan terakhir. Dimulai dari pengakuan korban, sejumlah inisiatif untuk menciptakan ruang aman dan bebas pelaku pelecehan pun bermunculan.

14 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Insan Sinema Melawan Kekerasan Seksual

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cuitan aktris Mian Tiara di akun Twitter-nya pada pertengahan Januari lalu seolah-olah menjadi pembuka jalan bagi gerakan perlawanan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual di dunia film. Mian, waktu itu, mengunggah rangkaian cuitan yang berisi pengalamannya menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang aktor senior. Perempuan yang juga seorang vokalis di grup musik simakDialog ini bercerita, kasus ini menimpanya ketika ia tengah menjalani produksi sebuah film pendek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam film yang diproduksi untuk tugas akhir seorang temannya itu, Mian beradu peran dengan seorang aktor senior. Mian bercerita, saat sedang memperhatikan proses pengambilan gambar adegan awal, aktor tersebut meminta Mian duduk di sebelahnya untuk melatih dialog. Seusai pembahasan dialog dan pengambilan gambar itu selesai, Mian lalu masuk ke ruang rias. Rupanya aktor lawan mainnya juga sudah berada di sana. "Kami melanjutkan obrolan kami. Saat itu hanya kami berdua di ruang rias. Saya duduk di sebelahnya dan mendengarkan ceritanya. Tiba-tiba dia menghadapkan kursinya ke saya dan mengelus paha saya begitu saja. Saya kaget tapi enggak bisa bereaksi apa-apa," ujar Mian bercerita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejadian itu membuat Mian merasa terguncang dan tidak percaya hal seperti ini menimpanya. Mian yang merasa tak nyaman akan sikap aktor tersebut mulai menjaga jarak selama proses syuting. Seusai pengambilan gambar, tibalah waktu sutradara dan para pemain yang terlibat di produksi itu berfoto. Meski Mian berusaha menjauh dari sang aktor, pada suatu saat ia terpaksa berdiri di sampingnya. Saat itu, aktor tersebut bertingkah lagi. Ia memasukkan jarinya ke pinggir celana jins Mian, memegang erat sambil menggantungkan tangannya ke celana saya. "Saya merasa jijik, marah, terlanggar atas perbuatannya."

Mian berusaha melepaskan tangan si aktor, tapi pria itu malah menariknya ke belakang. Ia merasa marah karena ketika kejadian, ia tak bisa bereaksi dengan semestinya. "Ada rasa khawatir reaksi saya akan dianggap berlebihan, bahkan si aktor senior itu akan ngeles dengan lihainya," tuturnya. Rupanya dugaan itu benar, ketika Mian menyampaikan keberatan terhadap sikap aktor itu kepada pihak manajemennya, alih-alih meminta maaf, pria itu malah mengelak. Hal inilah yang mendorong Mian akhirnya bersuara di Twitter. "Kejadian seperti ini tidak boleh jadi pemakluman dan pembiaran."

Keberanian Mian dalam menceritakan pengalaman buruknya itu mendapat banyak respons dan dukungan. Bahkan tak sedikit pengikut Mian di Twitter yang turut menceritakan kisah serupa. Mian pun mengkampanyekan kembali gerakan #mulaibicara, atau gerakan yang mendorong kaum perempuan serta korban kekerasan dan pelecehan seksual untuk berani berbicara dan melaporkan kasus yang menimpanya. Kampanye ini sebetulnya dimulai sejak lama oleh yayasan Lentera Sintas, sebuah yayasan nirlaba yang berfokus memberikan pendampingan terhadap para korban kekerasan seksual.

Kasus kekerasan dan pelecehan seksual memang bukan isu yang bisa dianggap remeh. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Kejadiannya pun tersebar tak hanya di ruang privat, tapi juga di ranah publik. Menurut Komnas Perempuan, sepanjang 2019, ada lebih dari 431 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat 6 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 406.178 kasus.

Dalam konferensi pers pada awal Maret lalu, komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan jumlah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat selama lebih dari satu dekade terakhir. Selama 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen atau delapan kali lipat. "Dapat diartikan bahwa dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan di Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman," ujarnya.

Mariana memaparkan, kasus kekerasan terbanyak terjadi di ranah privat. Dari 14.719 kasus, 75 persen terjadi di ranah privat (atau 11.105 kasus), 24 persen di ranah publik (3.602 kasus), dan 1 persen di ranah negara (12 kasus). Adapun bentuk kekerasan seksual yang paling banyak terjadi di ruang publik, antara lain pemerkosaan (715 kasus), pencabulan (531 kasus), pelecehan seksual (520 kasus), persetubuhan (176 kasus), serta sisanya percobaan pemerkosaan dan persetubuhan.

Kasus pelecehan seksual di tempat kerja, seperti yang dialami Mian, juga jumlahnya tak sedikit. Sebuah survei yang dilakukan Never Okay Project mencatat, 94 persen respondennya mengaku pernah mengalami pelecehan seksual secara fisik. Survei ini dilakukan kepada 1.240 responden pada Desember 2018 tentang pelecehan seksual di tempat kerja. Setelah pelecehan secara fisik, pelecehan secara lisan menduduki peringkat kedua tertinggi, yakni sekitar 76 persen.

Masih menurut penelitian yang sama, pelaku pelecehan di tempat kerja terbanyak dilakukan oleh atasan atau rekan kerja senior (36 persen). Diikuti oleh rekan kerja sebaya (34 persen), oleh rekan kerja dari luar organisasi (12 persen), serta sebanyak 5 persen oleh bawahan, dan 2 persen oleh lainnya (tukang bangunan, orang lain di lokasi kantor, dan mitra kantor seperti OB, satpam, dan lain-lain). Namun, sebanyak 25 persen penyintas enggan melaporkan tindakan yang diterimanya karena perusahaan tempat mereka bekerja dinilai tak akan menindaklanjuti.

Di kalangan pegiat sinema, cerita pelecehan seksual saat proses produksi film selama ini dianggap sebagai "rahasia umum". Sejak dulu cerita tentang aktor yang kerap bersikap cunihin kepada lawan mainnya, atau kru film yang kurang ajar kepada sesama atau bawahannya, hingga orang-orang yang berkuasa yang kerap semena-mena terhadap kaum perempuan, adalah cerita yang sering terdengar. "Tapi dulu (era 1980-1990-an) perilaku semacam ini kerap mendapatkan pemakluman, mungkin karena di masa itu dan puluhan tahun sebelumnya, dunia film adalah dunia yang maskulin dan sangat patriarkis," kata produser film dan pemilik rumah produksi Miles Production, Mira Lesmana, kepada Tempo, Rabu lalu.

Tapi pada era 2000-an, isu ini mulai menjadi perhatian serius karena semakin banyak kaum perempuan punya posisi dan peran besar di industri film nasional. "Harus diakui kebangkitan film nasional tahun 2000-an itu salah satunya disebabkan peran para sutradara dan produser perempuan."

Namun, Mira menambahkan, karena industrinya terus tumbuh dan jumlah produksi film semakin banyak, kasus pelecehan seksual di dunia ini pun jadi semakin sering terdengar. Sayangnya, meski demikian, kesadaran dan inisiatif di kalangan pegiat sinema untuk menghentikan kebiasaan buruk ini belum begitu besar. "Awareness sudah ada, tapi seperti pada kasus pelecehan lain, korban selalu jadi pihak yang dipertanyakan dan disalahkan," tutur Mira.

Ketika korban mengadu ke orang lain, kata Mira, sering kali mereka malah mendapat pertanyaan seperti "kamu lagi pakai baju apa?" atau "apakah kamu yang memulai menggoda duluan?". Lebih parah tak sedikit korban yang justru disalahkan dengan tanggapan seperti "mungkin kamu lagi mabuk" atau "pakaian kamu terlalu terbuka". Selain itu, banyak kasus pelecehan di dunia film yang dilakukan oleh orang yang punya kedudukan lebih tinggi. Akibatnya korban merasa terancam ketika mengadukan perbuatan itu. "Korban semakin enggak berani bersikap."

Mira termasuk orang yang kerap mendapat pengaduan dari koleganya yang menjadi korban. Menurut dia, mungkin karena sesama perempuan maka para korban merasa nyaman bercerita dan membagikan pengalaman buruknya. Namun, karena kerap menjadi tempat cerita, Mira mengaku ada beberapa kasus yang cukup mengganggu pikirannya. Pasalnya, kasus ini dilakukan oleh orang yang ia kenal dan terjadi berulang. Namun Mira tak kuasa menegur pelaku, karena korban yang curhat kepada Mira meminta agar masalah ini tak dibicarakan. "Korban ketakutan, dia takut kalau pelaku dikonfrontir, maka akan ada ancaman terhadap korban," ujar Mira.

Gerah akan kondisi semacam itu, Mira akhirnya berinisiatif memasukkan klausul anti-kekerasan dan pelecehan seksual dalam kontrak kerja di setiap produksi film di Miles Production. Inisiatif itu berjalan sejak 2017 dan berhasil menjaga suasana kerja pada produksi filmnya nyaman untuk semua orang. "Klausul ini bukan hanya untuk para aktris, para kru juga mendapat perlindungan yang sama." Melalui klausul ini, Mira menjamin, jika ada kasus pelecehan seksual dalam sebuah produksi film, korban bisa mengadu dan dijamin keamanannya. Pelaku juga akan mendapat hukuman seperti teguran hingga dipecat. "Kami berupaya berdiri di sisi korban," kata dia.

Saat pertama menerapkan klausul itu, Mira melontarkan idenya melalui Asosiasi Produser Film Indonesia. Beberapa rumah produksi seperti Wahana Kreator, Palari Film, dan beberapa produser perempuan, seperti Shanty Harmayn dan Sheila Timothy, mengikut ide penerapan klausul itu. Anehnya, pada saat yang sama, Mira juga mendapat cibiran dan tanggapan negatif dari koleganya di dunia film. "Saya justru di-nyinyirin, dibilang sok lah, dan macam-macam." Tanggapan negatif semakin kuat ketika beberapa pekan lalu Mira menulis keresahannya terkait dengan hal ini dalam sebuah artikel di majalah perempuan. "Padahal niat saya ingin menciptakan ruang kerja yang aman dan nyaman bagi pelaku industri film," tutur Mira.

Sebetulnya, produser dan sutradara adalah sosok yang punya wewenang untuk menghentikan aksi pelecehan di lokasi syuting film. Sutradara Fajar Nugros punya pengalaman soal ini. Suatu ketika, kata Fajar, ia tengah melakukan pengambilan adegan untuk sebuah film. Di adegan itu ada seorang perempuan yang sedang berjalan sendiri. Ketika adegan dimulai, seorang aktor pria melakukan improvisasi dengan bersiul ke arah aktris tersebut.

Siulan yang bertujuan menggoda semacam itu, kata Fajar, merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual yang sering disebut catcalling. Tak hanya siulan, catcalling juga bisa berupa godaan verbal yang biasanya dilakukan spontan. Fajar bercerita, ketika melihat pemeran laki-laki di filmnya melakukan hal itu, spontan Fajar menghentikan pengambilan gambar. "Cut!"

Sang aktor kebingungan kenapa adegan itu dihentikan. Fajar kemudian menjelaskan kepada semua orang yang ada di lokasi bahwa improvisasinya itu merupakan bentuk pelecehan seksual dan tidak boleh dilakukan. "Si aktor kemudian meminta maaf." BUDIARTI UTAMI PUTRI | PRAGA UTAMA


Insan Sinema Melawan Kekerasan Seksual

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus