Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak-jejak Intervensi Jokowi di KPK

Presiden Joko Widodo memerintahkan Agus Rahardjo menyetop kasus korupsi e-KTP. Dituding sering cawe-cawe di KPK.

17 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERSAMA dua ajudan dan seorang sopir, Agus Rahardjo tiba di Istana Negara, Gambir, Jakarta Pusat, pada suatu malam pada awal Agustus 2017. Sang sopir memarkirkan mobil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 itu di dekat Masjid Baiturrahman di kompleks Istana. Agus lalu berjalan sendirian menuju salah satu bangunan, sementara ajudan dan sopirnya menunggu di mobil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasukan Pengamanan Presiden menyambut Agus. Seorang personel mengantarkan Agus menuju satu ruangan dengan pintu setinggi 3 meter. Di ruangan itu, sudah ada Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Presiden Joko Widodo yang sedang duduk. Wajah Jokowi terlihat tak ramah. “Beliau langsung mengatakan ‘hentikan!’,” kata Agus kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus mengaku bingung mengartikan perintah tersebut. Ia baru paham setelah Jokowi berbicara ihwal penyidikan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang sedang ditangani komisi antirasuah. Pimpinan KPK menetapkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sekaligus Ketua Umum Partai Golkar kala itu, Setya Novanto, sebagai tersangka pada 17 Juli 2017. Pertemuan itu berlangsung tiga pekan setelah KPK menetapkan Setya sebagai tersangka.

Rupanya, Jokowi meminta Agus menyetop penyidikan itu. “Saya jawab tidak mungkin karena KPK tidak mengenal istilah menghentikan perkara,” ucapnya. Setelah berbincang beberapa saat, Agus pulang. Setya Novanto tetap menjadi tersangka, tapi baru ditahan KPK pada 18 November 2017 setelah Setya memenangi gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Agus hanya membuka isi pertemuan dengan Jokowi itu kepada segelintir orang. Ia baru mengungkapkan cerita tersebut saat menjadi tamu wawancara di Kompas TV pada 30 November 2023. Dalam acara tersebut, Agus turut mengungkapkan bahwa KPK dan Istana Negara berseberangan dalam proses revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Pimpinan KPK kala itu menolak perubahan Undang-Undang KPK. Sementara itu, Jokowi mendukung revisi Undang-Undang KPK.

Agus sebenarnya pernah menceritakan pertemuannya dengan Jokowi itu kepada Tempo bersama media lain yang tergabung dalam konsorsium IndonesiaLeaks, lima tahun lalu. Kala itu tim IndonesiaLeaks mewawancarai Agus untuk meminta konfirmasi mengenai skandal penghilangan barang bukti yang kerap disebut “buku merah” di KPK. Ia menceritakan detail pertemuan itu di akhir sesi wawancara. Kala itu ia meminta agar cerita tersebut tak dipublikasikan.

Presiden Joko Widodo berbincang dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2015-2019, Agus Rahardjo, saat menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Jakarta, 4 Desember 2018. Tempo/Subekti

Berdasarkan cerita Agus, Jokowi ternyata pernah kembali meminta KPK menghentikan penyidikan kasus e-KTP. Pertemuan kedua setelah di Istana Negara itu berlangsung di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Saat itu Jokowi bertemu empat mata dengan Agus sebelum naik pesawat terbang. Agus mengaku tak banyak bicara dalam pertemuan kedua itu.

Agus mengungkap pertemuan dengan Jokowi itu di belakang hari lantaran gelisah atas indeks pemberantasan korupsi Indonesia yang merosot empat poin dari tahun lalu menjadi 34 pada 2023. Iklim demokrasi di Indonesia dianggap memburuk karena maraknya oligarki dan nepotisme. “Di banyak tempat, suksesi bupati dilanjutkan istri dan anaknya,” katanya.

Akibat pengakuannya itu, Agus tersudut. Presiden Jokowi membantah kabar bahwa ia pernah bertemu dengan Agus di Istana Negara untuk membahas korupsi e-KTP. Ia pun membantah tudingan mengintervensi KPK. Buktinya, ia pernah meminta Setya Novanto mengikuti proses hukum hingga akhirnya divonis 15 tahun penjara. “Terus untuk kepentingan apa diramaikan isu itu?” ucap Jokowi pada 4 Desember 2023.

Dalam kasus e-KTP, Setya Novanto dinyatakan bersalah karena menerima suap US$ 7,3 juta dan jam tangan merek Richard Mille seharga US$ 135 ribu dari pengusaha yang terlibat korupsi e-KTP. Negara ditengarai merugi Rp 2,6 triliun gara-gara campur tangan Setya dalam proyek ini.

Agus pun dituduh berbohong. Dewan Pengurus Pusat Persaudaraan Aktivis dan Warga Nusantara melaporkan Agus ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pada 11 Desember 2023. Ia dituduh menyebarkan fitnah sehingga mencemarkan nama Jokowi.

Saat ini pimpinan KPK periode 2015-2019 kompak mendukung Agus. Mantan Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, membantah tudingan bahwa Agus berbohong. Laode adalah orang pertama yang diberi tahu soal pertemuan di Istana. “Saya tahu keesokan harinya setelah Pak Agus melapor kepada saya bahwa beliau dipanggil dan diomeli,” katanya.

Kolega Laode dan Agus, Alexander Marwata, juga sudah lama mengetahui Agus pernah dimarahi Jokowi. “Beberapa hari atau seminggu setelah pertemuan itu baru saya diceritakan Pak Agus,” ujar Alex.

Wakil Ketua KPK lain saat itu, Saut Situmorang, mengaku baru tahu peristiwa itu belakangan, yaitu pada 13 September 2019. Kala itu Agus, Laode, dan Saut bersiap menyerahkan surat mandat pimpinan KPK kepada Jokowi. Mereka kesal lantaran pemerintah tetap mendukung revisi Undang-Undang KPK.

Pada hari itu, Saut bertemu dengan Agus di tangga. Agus menceritakan pernah dimarahi Jokowi karena KPK tetap ngotot meneruskan kasus Setya Novanto. “Tapi saya saat itu tidak berkomentar banyak karena harus menghadiri acara di lobi gedung KPK,” kata Saut.

Penanganan kasus Setya Novanto, Saut menerangkan, sempat membuat tegang pimpinan KPK. Pada saat itu Agus, Laode, dan Saut setuju Setya Novanto menjadi tersangka. Sementara itu, Wakil Ketua KPK lain, Alexander Marwata dan Basaria Panjaitan, kata Saut, terlihat ogah-ogahan. “Saat surat perintah penyidikan ditandatangani, keduanya sepertinya tak hadir dalam rapat gelar perkara,” katanya.

Agus Rahardjo dalam wawancara dengan Rosiana Silalahi di Kompas TV. Tempo/ Gunawan Wicaksono

Saut menduga Jokowi marah karena Partai Golkar merupakan koalisi partai politik penyokong pemerintah. Saat itu belum ada partai yang menyatakan dukungan pencalonan Jokowi untuk kedua kalinya dalam Pemilihan Umum 2019. “Baru pada November 2017 Partai NasDem menyatakan dukungan pencalonan Jokowi menjadi presiden untuk periode kedua,” tuturnya.

•••

INTERVENSI Istana Negara terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi tak cuma dialami Agus Rahardjo. Saut Situmorang mengatakan seorang menteri senior di kabinet Joko Widodo pernah berupaya menghubunginya saat KPK sedang bersiap menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Panggilan telepon itu masuk lewat ajudan Saut. “Saya tak mau menjawab karena menduga itu pasti ada hubungannya dengan kasus e-KTP,” ucap Saut.

Polemik kasus e-KTP ditengarai menjadi titik awal intervensi pemerintah dan partai politik di KPK. Menjelang akhir masa tugas DPR periode saat itu, parlemen mengajukan hak inisiatif untuk merevisi Undang-Undang KPK. Proses pembahasan hingga pengesahan berlangsung kilat: hanya 13 hari. Sejumlah kelompok masyarakat dan pimpinan KPK meminta Presiden Jokowi menolak usul revisi Undang-Undang KPK. Jokowi bergeming hingga akhirnya revisi Undang-Undang KPK disahkan pada 17 September 2019.

Mantan Ketua DPR, Setya Novanto, di dalam mobil tahanan setelah menjalani sidang kasus korupsi e-KTP dengan agenda pembacaan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 24 April 2018. Setya Novanto divonis 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan, dan dicabut hak politiknya selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana. Tempo/Imam Sukamto

Perubahan tersebut mengamputasi sebagian keistimewaan KPK sebagai lembaga antikorupsi yang independen. Setelah revisi Undang-Undang KPK disahkan, KPK secara otomatis berada di bawah presiden. Semua pegawainya beralih menjadi pegawai negeri. Kewenangan KPK untuk menyadap pun dipangkas.

Laode Muhammad Syarif mengatakan cawe-cawe Istana Negara sebenarnya sudah terasa pada bulan-bulan awal ia memimpin KPK. Ia mengatakan ada seorang menteri senior menyampaikan keinginannya untuk mengubah Undang-Undang KPK. Komisi Hukum DPR juga secara terbuka mengundang pimpinan KPK untuk membahas perlunya revisi Undang-Undang KPK. “Semuanya kami tolak karena tak perlu,” katanya.

Di depan publik, Istana Negara membantah proses revisi merupakan upaya Jokowi untuk melemahkan KPK. Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan Jokowi tak pernah mengusulkan revisi Undang-Undang KPK. “Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 merupakan inisiatif DPR,” ujarnya.

Visi Jokowi untuk menguatkan KPK tak terlihat saat Tempo mewawancarainya di Istana Negara pada Agustus 2019. Kala itu salah satu topik yang dibicarakan adalah pemberantasan korupsi di Gedung Merah Putih—sebutan untuk gedung KPK di Kuningan, Jakarta Selatan. Jokowi menjawab sejumlah pertanyaan soal itu, tapi meminta wartawan Tempo mematikan alat perekam.

Sambil menurunkan suaranya, Jokowi mengeluhkan KPK banyak menggelar operasi tangkap tangan dan menetapkan kepala daerah sebagai tersangka korupsi. Penangkapan sejumlah kepala daerah itu, dia menambahkan, berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Tanah Air. Ia mengatakan seharusnya KPK mengutamakan pencegahan, yaitu dengan menegur kepala daerah jika terindikasi melakukan korupsi.

Cawe-cawe Istana Negara di KPK makin terlihat selepas revisi Undang-Undang KPK disahkan. Meski diprotes banyak pihak, Jokowi tetap memuluskan langkah Firli Bahuri sebagai calon pemimpin KPK. Padahal, saat proses seleksi, pimpinan KPK periode 2015-2019 pernah menyurati Jokowi agar mencoret nama Firli. Mereka beralasan rekam jejak Firli buruk saat menjabat Deputi Penindakan KPK.

Jokowi bergeming hingga akhirnya DPR memilih Firli menjadi Ketua KPK bersama empat wakil ketua lain, yakni Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, dan Lili Pintauli Siregar. Masih dalam wawancara dengan Tempo, Jokowi hakulyakin mendukung keputusan panitia seleksi meloloskan Firli. Ia mengklaim sudah menguji silang rekam jejak Firli. Ia bahkan melibatkan Badan Intelijen Negara untuk mengumpulkan informasi seputar Firli.

Presiden Joko Widodo saat melantik Ketua KPK Firli Bahuri (kiri) di Istana Negara, Jakarta, 20 Desember 2019. Antara/Akbar Nugroho Gumay

Lili Pintauli mengundurkan diri pada Juli 2022 karena terseret skandal suap kasus korupsi Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, Muhammad Syahrial. Pemerintah kemudian menggodok calon pengganti Lili dari daftar nama yang dihasilkan panitia seleksi calon pimpinan KPK sebelumnya. Sesuai dengan Undang-Undang KPK, kewenangan menunjuk pengganti Lili berada di tangan presiden dengan persetujuan DPR.

Empat sumber Tempo yang ditemui secara terpisah mengungkapkan ada peran seorang menteri dan pejabat Istana saat proses penjaringan kandidat pengganti Lili. Mereka memanggil para kandidat secara terpisah di sebuah ruangan gedung kompleks Istana Negara. Dalam pertemuan itu, tiap kandidat diminta menyatakan komitmennya pada kebijakan pemerintah.

Mereka, misalnya, diminta tak mendorong proses hukum di KPK yang melibatkan keluarga petinggi partai politik dan sebuah bank nasional. Alasannya, pemerintah ingin menjaga stabilitas perekonomian. Para kandidat juga dimintai pandangan terhadap penanganan kasus dugaan korupsi Formula E di KPK.

Ratusan mahasiswa menggelar aksi menolak RUU KUHP dan UU KPK yang baru di depan gerbang pintu gedung DPR/MPR, Jakarta, 19 September 2019. Dalam aksi tersebut, mereka menolak RKUHP dan UU KPK yang baru disahkan. Tempo/M Taufan Rengganis

Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara lewat Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana soal berbagai tudingan intervensi Jokowi terhadap KPK. Namun, hingga 16 Desember 2023, keduanya tak merespons permintaan tersebut.

Ketua KPK periode 2011-2015, Abraham Samad, mengaku tak kaget Jokowi kerap mengintervensi KPK. Di awal kepemimpinannya pada 2014, Jokowi pernah meminta KPK membuat laporan rekam jejak calon menteri. KPK merespons permintaan itu dengan membuat pengkategorian rekam jejak dengan memberi tanda warna merah, kuning, dan hijau pada nama calon menteri.

Merah bermakna bahwa calon tertentu sedang dalam pantauan KPK dan terindikasi terlibat korupsi. Sementara itu, warna kuning digunakan untuk mengkategorikan calon menteri yang korupsinya masih samar-samar. Adapun hijau digunakan untuk kandidat yang dinilai bersih dari korupsi. “Hasil asesmen itu justru diabaikan dan dia malah melantik menteri yang kategori merah,” tutur Samad.

Istana Negara dikabarkan makin dongkol terhadap KPK karena menetapkan calon Kepala Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, sebagai tersangka rekening mencurigakan. Padahal kala itu Jokowi tengah menjagokan Budi Gunawan untuk menggantikan Jenderal Sutarman. Akibatnya, KPK dituduh terlibat politik.

Wakil Ketua KPK periode 2011-2015, Bambang Widjojanto, membantah tuduhan adanya politisasi dalam kasus Budi Gunawan. Menurut dia, penyelidikan kasus itu bergulir sejak awal 2010. KPK sudah mengantongi petunjuk dan bukti kuat. Salah satunya data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. “Indikasi keterlibatannya dalam perkara rekening gendut sudah lama terpantau,” tuturnya.

Di pengujung masa tugas Samad dan Bambang, keduanya terjungkal kasus pidana. Polisi menetapkan Bambang Widjojanto sebagai tersangka kasus pengaturan kesaksian palsu. Sementara itu, Abraham Samad terseret kasus pemalsuan dokumen akta keluarga. Kasus ini berhenti di tengah jalan karena Jokowi menginstruksikan pemberian deponering atau pengesampingan unsur pidana dalam kasus Samad dan Bambang. Namun keduanya telanjur terdepak dari Kuningan—lokasi gedung KPK di Jakarta Selatan.

RIKY FERDIANTO, FAJAR PEBRUANTO, AVIT HIDAYAT, LINDA TRIANITA, DANIEL A. FAJRI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Fajar Pebrianto, Avit Hidayat, Linda Trianita, dan Daniel A. Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Intervensi demi Koalisi"

Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus