Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INSTRUKSI Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyetop penyelidikan dan penyidikan perkara yang melibatkan peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menarik perhatian Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Ghufron. Pada Desember 2023, ia mengusulkan KPK juga menunda pemeriksaan sejumlah perkara hingga Pemilu 2024 usai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mirip dengan motif Burhanuddin, Ghufron tak ingin proses hukum di KPK mengusik Pemilu 2024. Ia beralasan penanganan kasus korupsi rentan dipolitisasi. Tapi dia memastikan kasus yang sudah disidik sebelum pemilu tetap berlanjut. “Itu usul saya pribadi. Belum masuk keputusan struktural,” kata Ghufron kepada Tempo, 16 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun usul Ghufron agaknya sudah berlaku di KPK. Dua penegak hukum di KPK yang ditemui secara terpisah menduga pimpinan lembaganya sudah memutuskan menunda pemeriksaan kasus korupsi di sejumlah kementerian. Pimpinan KPK tak menandatangani surat pemanggilan dan pemeriksaan hingga penetapan tersangka yang diajukan tim penyidik.
Contoh penyidikan yang ditunda adalah dugaan korupsi di Kementerian Pertanian. KPK sudah menetapkan mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, sebagai tersangka gratifikasi, pemerasan, dan pencucian uang. Ada kasus anyar di Kementerian Pertanian berkaitan dengan proyek pengadaan yang baru akan dibuka setelah Pemilu 2024.
Kasus lain yang pemeriksaan saksinya ditunda adalah penyidikan korupsi proyek rel di Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. Kasus ini mulanya menjerat Kepala Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah Putu Sumarjaya dan pejabat pembuat komitmen BTP Jawa Tengah Bernard Hasibuan. KPK turut menangkap pengusaha Dion Renato Sugiarto. Ada 10 tersangka dalam perkara ini.
Perkara proyek rel itu sudah berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang. Dari persidangan sejumlah terdakwa muncul nama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan pengusaha Muhammad Suryo. Belakangan, KPK juga menetapkan Suryo sebagai tersangka. Sementara itu, Menteri Budi sudah diperiksa pada Juli 2023.
Rencananya penyidik memanggil kembali Menteri Budi sebagai saksi pada 6 Desember 2023. Penyidik sudah mengajukan surat dan menjadwalkan pemanggilan dalam sistem internal KPK untuk segera diterbitkan dan dikirim kepada pimpinan KPK. Namun surat itu menghilang dari sistem internal tersebut.
Contoh lain adalah surat pemanggilan dan pemeriksaan yang ditujukan kepada mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej. KPK sudah menetapkan Eddy sebagai tersangka gratifikasi pada September 2023. Penyidik berencana memeriksa kembali Eddy pada 15 Desember 2023. Tapi surat panggilan itu lagi-lagi raib. Hingga kini kedua penegak hukum di KPK yang ditemui Tempo tak mengetahui siapa yang “menghilangkan” surat-surat pemanggilan tersebut.
Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, mengatakan seharusnya tak semudah itu menghapus atau menghilangkan surat pemanggilan. Ia mengatakan surat-surat itu biasanya sudah bernomor dan diketahui tim administrasi KPK. “KPK sudah lama menerapkan tertib sistem administrasi,” ucapnya.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenur Rohman, mengatakan mandeknya sejumlah pemeriksaan yang menyeret pejabat membuktikan adanya intervensi penguasa terhadap KPK. Ia mencontohkan kasus korupsi bantuan sosial yang menyeret Menteri Sosial Juliari Batubara.
Kasus ini sempat memunculkan nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Herman Hery dan Ihsan Yunus. Namun KPK akhirnya hanya menjerat Juliari. “Ini terlihat sekali ada intervensi ke KPK dari partai politik yang berkuasa,” ujar Zaenur.
Zaenur turut menyorot perburuan terhadap Harun Masiku sejak Desember 2018. Hingga kini politikus PDI Perjuangan itu masih hilang ditelan bumi. Padahal keberadaan Harun bisa mengungkap praktik suap di partai politik.
Kasus lain adalah suap pajak yang melibatkan Angin Prayitno Aji. KPK sudah mengumumkan ada beberapa korporasi raksasa yang diduga terlibat. “Tapi sekarang sudah menguap, tak jelas perkembangannya,” tutur Zaenur.
Seorang penegak hukum di KPK mengamini dugaan Zaenur. Menurut dia, perkembangan politik turut mempengaruhi KPK. Ia mengatakan pimpinan KPK terbelah menjadi dua kubu menjelang Pemilu 2024. Kubu pertama dipimpin Ketua KPK sementara, Nawawi Pomolango, dan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Kubu kedua adalah Alexander Marwata dan Johanis Tanak.
Para pegawai KPK meyakini kedua kubu ini punya afiliasi ke Istana Negara dan PDI Perjuangan. Repotnya, kemunculan dua kubu itu mempengaruhi penyelidikan dan penyidikan di KPK, khususnya kasus yang menyeret sejumlah pejabat.
Dihubungi lewat WhatsApp, Ketua KPK Nawawi Pomolango tak merespons pertanyaan mengenai intervensi dan adanya dua kubu pimpinan KPK. Sementara itu, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengklaim tak pernah mendapat intervensi dari siapa pun. “Saya tidak pernah diintervensi, tapi tak tahu dengan pimpinan lain,” ucapnya.
Tempo berupaya menghubungi Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Namun, hingga 16 Desember 2023, ia tak kunjung merespons permintaan wawancara. Pengacara PDI Perjuangan, Yanuar Prawira Wasesa, mengatakan partainya tak pernah mengintervensi KPK. Ia mengatakan sudah banyak tersangka dari kasus Harun Masiku dan bantuan sosial di Kementerian Sosial. “Kalau diintervensi, hukumannya pasti lebih ringan,” katanya.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno juga tak merespons permintaan wawancara Tempo hingga 16 Desember 2023. Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana juga tak membalas surat berisi pertanyaan yang sama. Namun, dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo mengatakan tak pernah mencampuri proses hukum di KPK dan lembaga penegak hukum lain.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata membantah dugaan adanya intervensi terhadap lembaganya. Ia memastikan kasus-kasus yang menyeret sejumlah pejabat masih berjalan. Menurut dia, kalaupun ada perkara yang dihentikan, keputusan itu diambil pimpinan secara kolektif kolegial setelah melalui gelar perkara yang melibatkan penyelidik, penyidik, jaksa, dan ahli.
Alex mengaku tak tahu ada surat pemanggilan saksi yang menghilang dan agenda pemeriksaan yang tiba-tiba batal. “Sebab, pimpinan sering tidak tahu atau tidak diberi tahu soal perkembangan penanganan perkara,” ucapnya.
Ia mengklaim pimpinan KPK sulit diintervensi. Sebab, selama ini Ketua dan Wakil Ketua KPK lebih sering menerima informasi dan limpahan perkara dari penyelidik dan penyidik. “Jadi, kalaupun ada, jauh lebih mudah mengintervensi langsung ke Deputi Penindakan ketimbang mengintervensi pimpinan KPK,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Mustafa Silalahi dan Riky Ferdianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dua Kubu Menjelang Pemilu"