Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Luas area kebakaran hutan pada 2019 lebih kecil dibanding empat tahun sebelumnya, tapi sama bahayanya.
Analisis citra satelit menunjukkan pembangunan kanal dan blok tanam baru mengawali datangnya api.
Meski temuan soal keterlibatan korporasi cukup terang-benderang, penegakan hukum tak selalu berakhir dengan pidana buat pelaku pembakaran hutan.
MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati sampai empat kali mengucapkan selamat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, lawan bicaranya dalam konferensi pers virtual pada Kamis siang, 27 Agustus lalu. Sri dan Siti dengan bungah mengumumkan kepada awak media bahwa Dewan Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund/GCF), bagian dari Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), telah menyetujui proposal pendanaan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sri tak lupa menghaturkan terima kasih setiap kali mengucapkan selamat. Pendanaan sebesar US$ 103,78 juta itu, kata dia, merupakan bentuk pengakuan dunia terhadap komitmen Indonesia di bidang pelestarian lingkungan dan kehutanan. “Semoga apa yang dicapai oleh Ibu Siti dan jajarannya ini memberikan kepercayaan makin besar bagi masyarakat, yaitu bahwa kita tidak hanya selalu muncul, headline-nya, waktu kebakaran hutan,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, selama hampir 20 menit Menteri Siti mengawali jumpa pers dengan menjelaskan alasan GCF menggulirkan dana yang bertujuan membantu negara berkembang mengurangi emisi gas rumah kaca tersebut. Pendeknya, duit senilai Rp 1,5 triliun itu diberikan atas keberhasilan Indonesia mengurangi emisi setara dengan 11,2 juta ton karbon dioksida pada 2014-2016 lewat serangkaian program menekan laju deforestasi dan degradasi hutan. “Pengendalian kebakaran hutan dan lahan menjadi faktor penting dalam penurunan deforestasi,” tutur Siti.
Dalam paparannya, Siti juga mengklaim pemerintah sudah berhasil meredam kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang, menurut dia, pertama kali terjadi di Indonesia pada 1982. Puncaknya terjadi pada 1997-1998 dengan luas area terbakar mencapai 11,89 juta hektare. “Memang tahun lalu ada sedikit, tapi tahun ini kita coba kendalikan,” ujar Siti sembari menyebutkan luas area terbakar selama Januari-Juli 2020 hanya 64 ribu hektare.
MAKIN LUAS MELALAP ALAS
API menghanguskan hutan dan lahan seluas 1,65 juta hektare pada 2019, setara dengan 24 kali luas wilayah DKI Jakarta. Sebagian besar kebakaran terjadi di kawasan hutan. Dugaan korporasi terlibat menguat lantaran ratusan ribu lahan yang terbakar pada 2015 diduga telah berubah menjadi ladang perusahaan hutan tanaman industri dan perkebunan sawit.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang akurat. Karhutla 2019 menghanguskan hutan dan lahan seluas 1,65 juta hektare, lebih kecil dibanding hutan yang terbakar seluas 2,65 juta hektare dalam bencana serupa pada 2015. Namun yang tak dibicarakan dalam seremoni virtual Kementerian Keuangan dan KLHK itu adalah pelepasan emisi karbon akibat kebakaran 2019 ternyata sama bahayanya dengan dampak kebakaran lima tahun lalu.
Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS), platform pemantauan bumi yang dikelola Pusat Prakiraan Cuaca Jarak Menengah Eropa (ECMWF), misalnya, memperkirakan total emisi akibat kebakaran hutan di Indonesia sepanjang 1 Agustus-18 September 2019 setara dengan 360 megaton karbon dioksida. Angka ini hampir menyamai dampak bencana asap 2015 pada periode yang sama dengan emisi setara dengan 400 megaton karbon dioksida.
CAMS hakulyakin kebakaran disengaja untuk membuka lahan, khususnya bagi industri kertas dan sawit. “Terlihat jelas bahwa kebakaran tersebut tidak biasa dan menimbulkan kekhawatiran yang signifikan,” tutur Mark Parrington, peneliti senior ECMWF di CAMS, dalam keterangan tertulis, 20 September 2019. “Tingkat polusi yang sangat tinggi dan persisten di Indonesia tidak diragukan lagi merupakan ancaman bagi kesehatan manusia, flora, dan fauna.”
Memasuki paruh kedua tahun ini, ancaman lama itu datang lagi. Fire Information for Resource Management System, platform milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), menangkap titik panas yang jumlahnya kembali meningkat sejak Juni lalu di wilayah Indonesia. Enam provinsi telah menetapkan status siaga darurat karhutla setidaknya hingga dua bulan ke depan: Riau, Jambi, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Siti Nurbaya tampaknya tak boleh terlalu cepat berpuas diri.
•••
TIGA ekskavator berkelir merah saling memunggungi. Lengan panjangnya berlomba menggaruk tanah. Satu unit terlihat membersihkan pinggir kanal selebar lapangan badminton. Dua lainnya, berjarak sekitar 50 meter di utara saluran air yang memanjang dari timur ke barat, menyisir dua petak tanam yang sudutnya mulai rapi bergaris-garis.
Petak tanam di konsesi PT Bumi Mekar Hijau (BMH) tersebut berada di wilayah administrasi Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lapam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Tanah hitam kecokelatan bekas garukan terlihat kontras dengan barisan pohon akasia yang menjulang di kejauhan. Air sisa hujan dua hari terakhir masih menggenang di penjuru lahan gambut yang cowak-cowak itu.
Pemandangan pada Rabu siang, 20 Mei lalu, itu amat kontras dengan situasi tujuh bulan sebelumnya. Kala itu, sekitar pekan kedua November 2019, api melalap ladang BMH di tepi Sungai Sugihan tersebut. Samson Bunyamin, Kepala Desa Riding, masih ingat betul kepanikan warganya kala itu. Asap mengepul, menyerang kampungnya. “Angin kencang sekali,” ucapnya.
Jerubu juga menyergap Desa Jerambah Rengas, kampung di sebelah Riding. Muhammad Syukrie menggambarkan asapnya begitu pekat, putih kehitaman, membubung dari balik pepohonan. Ketua Kelompok Tani Makmur Sejahtera ini juga pontang-panting. Bersama anggotanya, Syukrie bersiaga siang-malam, khawatir bara menjalar ke kebun mereka. “Ketika itu, pemadaman dengan air hampir tidak mungkin. Jadi kami bikin sekat bakar,” kata Syukrie.
BMH adalah pemasok bahan baku Asia Pulp and Paper (APP), perusahaan bubur kertas bagian dari kelompok usaha Sinar Mas. Di Ogan Komering Ilir, perseroan menguasai hutan produksi seluas enam kali luas wilayah DKI Jakarta.
Konsesi perusahaan di wilayah Desa Riding dan Desa Jerambah Rengas merupakan area produksi bagian utara. Luas blok konsesi ini 193,7 ribu hektare, membujur dari utara ke selatan, dari Kecamatan Pangkalan Lapam hingga berujung di Kecamatan Cengal.
Satu blok lain mengiris Desa Gajah Mulya dan Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Menang—sekitar 20 kilometer di sebelah selatan Kecamatan Cengal. Blok ini melintang seluas 57,3 ribu hektare di sisi utara Sungai Way Mesuji, batas wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Lampung.
Dua blok tersebut memang menjadi fokus perhatian liputan ini. Seperti area di sekitar Pangkalan Lapam, konsesi BMH di pinggir Sungai Way Mesuji terbakar hebat pada September-Oktober 2019. Norman—bukan nama sebenarnya—berkisah, ketika itu helikopter water bomber tak henti hilir mudik di langit Kecamatan Sungai Menang untuk memadamkan api. Sewindu lebih bekerja di konsesi BMH, warga Sungai Menang ini mengaku kerap sesak napas akibat sering menghirup asap.
Dia tak tahu persis dari mana api tahun lalu berasal. Dia hanya bisa menduga-duga itu ulah masyarakat. “Ada yang buang rokok saat memancing, atau mereka bakar semak buat cari kayu. Macam-macam,” tuturnya.
Namun analisis atas citra satelit menghasilkan dugaan berbeda. Sensor pendeteksi titik panas (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite dan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) mencatat empat titik panas atau hotspot muncul pertama kali dari wilayah konsesi BMH di koordinat 105.60354, -3.88019, wilayah Desa Gajah Mulya, pada 11 September 2019. Dalam tiga hari berikutnya, jumlah hotspot bertambah banyak ke arah utara hingga meluber ke luar konsesi.
Titik panas di sebelah barat, dekat Desa Gajah Mati, juga muncul pertama kali pada akhir September 2019 dari area konsesi perusahaan, tepatnya di koordinat 105.5217, -3.8708. Titik sinyal kebakaran ini meluas dan merembet ke utara hingga akhir Oktober 2019. Peta konsesi PT Bumi Mekar Hijau bak kanvas penuh polkadot merah ketika ditampalkan dengan sebaran titik panas periode September-November 2019.
Citra satelit Sentinel-2 pada 9 November 2019 menunjukkan gambaran yang lebih mencekam. Konsesi BMH di wilayah Desa Gajah Mulya dan Desa Gajah Mati itu berubah wajah. Lahan yang tadinya tampak hijau menjadi hitam kecokelatan.
Menurut ahli forensik kebakaran hutan dan lahan Bambang Hero Saharjo, analisis hotspot merupakan salah satu instrumen untuk membuktikan asal api. Munculnya hotspot pertama kali di area konsesi kerap menjadi alat bukti dalam perkara karhutla yang menjerat korporasi. “Biasanya akan terlihat hotspot itu muncul bersamaan dengan kegiatan pembukaan lahan oleh perusahaan,” kata Bambang Hero, yang kerap menjadi saksi ahli kasus karhutla. “Ini bukti yang tak terbantahkan.”
Pagi itu, Senin, 24 Agustus lalu, tepat di batas konsesi BMH dalam area Desa Gajah Mati, Norman menunjukkan lokasi kebakaran pertengahan tahun lalu. “Di balik situ kanal-kanalnya baru dibangun, sekitar 500 meter dari sini,” ujarnya sambil menunjuk rerimbunan pohon gelam. “Harus dibikin kanal untuk mengeringkan lahan. Kalau enggak, banjir. Akasia lawannya cuma api dan air.”
•••
BUKAN sekali itu saja area konsesi PT Bumi Mekar Hijau terbakar. Perseroan ini juga terjerat perkara karhutla pada 2014-2015 hingga dihukum membayar ganti rugi Rp 78,5 miliar—jauh dari nilai gugatan perdata sebesar Rp 7,8 triliun yang diajukan KLHK. Kala itu, Kepolisian RI sebenarnya sempat hendak menjerat perusahaan dengan pidana korporasi dalam kasus yang sama. Namun penyidikan yang sempat diumumkan ke awak media lima tahun lalu tersebut menguap tak jelas kelanjutannya.
Tiga ekskavator bekerja di area konsesi PT Bumi Mekar Hijau, Desa Riding, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Mei 2020. Lahan di sisi kiri diduga terbakar pada 2019. Istimewa
Chief Sustainability Officer APP Sinar Mas Elim Sritaba menegaskan, perusahaannya menanggapi dengan serius isu karhutla di semua wilayah operasional unit bisnis dan pemasok. Berkaca pada kasus 2015, kata dia, APP Sinar Mas mengembangkan sistem penanggulangan kebakaran hutan terintegrasi. “Kebijakan konservasi hutan kami mewajibkan, antara lain, semua unit bisnis dan mitra pemasok kami tidak membuka lahan dengan cara dibakar,” tutur Elim dalam jawaban tertulis, Kamis, 10 September lalu.
Namun temuan investigasi ini mengindikasikan hal sebaliknya. Pembukaan lahan diduga tengah berlangsung beberapa saat sebelum api membakar konsesi BMH di sekitar Desa Gajah Mulya dan Desa Gajah Mati. Titik panas pertama juga berada di sekitar lahan yang diduga sedang disiapkan untuk penanaman baru.
Dugaan adanya pembukaan lahan itu terlihat dari penampakan kanal-kanal dan blok tanam baru yang terekam citra satelit sepanjang Juni-Agustus 2019. Kanal itu ditengarai dibangun secara bertahap sepanjang lebih dari 11 kilometer dari timur ke barat, membelah wilayah Desa Gajah Mulya, lalu Desa Gajah Mati. Sebelumnya, pada Mei 2019, citra satelit masih merekam wajah area ini hijau polos tanpa bopeng.
Jika ditampalkan dengan peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) 2017, kanal sepanjang 2,8 kilometer yang dibangun paling akhir di sisi barat juga terindikasi membelah kawasan gambut lindung KHG Sungai Beberi-Sungai Way Mesuji. Padahal, sesuai dengan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, wilayah lindung gambut semestinya hanya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan jasa lingkungan. Pasal 26 regulasi yang sama juga melarang pembukaan lahan baru dan saluran drainase di gambut lindung.
Citra satelit itu cocok dengan pernyataan Norman tentang pembangunan kanal oleh BMH untuk mengeringkan lahan. Penelusuran dengan kamera tersembunyi di pesawat nirawak pada akhir Agustus lalu juga dengan jelas menunjukkan wajah teranyar konsesi BMH di wilayah Sungai Menang.
Dari foto-foto udara itu terlihat hitamnya lahan yang terbakar tahun lalu sudah berganti dengan petak-petak tanam yang dibatasi kanal-kanal dengan lebar sekitar 9 meter. Jaringan kanal ini menjulur dari barat ke timur, berbelok ke kiri dan kanan, membentuk lambang petir raksasa.
Sejumlah blok tanam di sepanjang tepian kanal utama juga mulai tampak bergaris-garis, tanda sedang disiapkan untuk penanaman. Di sisi timur, masih di jaringan kanal baru yang sama, blok dan petak tanam serupa telah dipenuhi barisan akasia. “Cepat saja mengerjakannya. Perusahaan punya ekskavator banyak,” ucap Norman.
Chief Sustainability Officer APP Sinar Mas Elim Sritaba di acara COP 25 UNFCCC Madrid, Spanyol, Desember 2019. Foto: Twitter
Sayangnya, ketika hendak dimintai konfirmasi, kantor PT Bumi Mekar Hijau di Jalan R. Soekamto, Kompleks PTC Nomor I/62, Palembang, Jumat, 4 September lalu, tampak lengang. Kantor yang berlokasi di sebuah kompleks ruko itu tertutup rapat. Seorang pekerja perusahaan lain yang berkantor di kompleks yang sama menyebutkan BMH telah pindah beberapa bulan lalu.
Elim Sritaba menolak ditemui langsung. Dia memilih menanggapi permohonan konfirmasi secara tertulis. Sayangnya, Elim tak merespons semua pertanyaan dengan detail. Pertanyaan tentang munculnya api di konsesi BMH, misalnya, tak dijawab lugas. Elim hanya mengatakan karhutla dan penanganannya merupakan isu yang kompleks. “Meskipun kami tidak membuka lahan dengan cara dibakar, berdasarkan pengalaman kami, tidak tertutup kemungkinan munculnya hotspot atau menjalarnya api di wilayah operasional kami,” ujarnya.
Ihwal kanal dan blok tanam baru yang diduga membelah gambut lindung, Elim juga tak menjawab tegas. Menurut dia, para pemasok kayu APP Sinar Mas telah menyerahkan peta gambut berdasarkan hasil pemetaan light detection and ranging dan menyurvei kedalaman gambut di area konsesi masing-masing. Para pemasok itu, kata dia, menerima rencana kerja usaha (RKU) dengan revisi peta fungsi ekosistem gambut yang telah disetujui pemerintah. “RKU revisi ini menjadi acuan para pemasok APP dalam melakukan aktivitas di area konsesinya.”
•••
PT Bumi Mekar Hijau hanya satu dari ratusan perusahaan kehutanan dan perkebunan sawit yang lahannya diduga terbakar tahun lalu. Sedikitnya ada 454 konsesi yang terindikasi terbakar. PT Kalimantan Prima Agro Mandiri (KPAM) dan PT Kumai Sentosa (KS) masuk daftar tersebut.
Lahan KPAM di Kecamatan Manis Mata, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, diduga terbakar hebat sekitar September 2019. Romanus Soekarno, 37 tahun, warga Desa Jambi, Kecamatan Manis Mata, menyaksikan sendiri kobaran api kala itu. Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Jambi ini sedang berpatroli mengendarai sepeda motor ketika seorang anggota organisasinya menelepon dan mengabarkan soal kebakaran di sisi timur Sungai Berais. Sungai ini membelah konsesi KPAM dan menjadi area dengan nilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV) yang saban hari dipantau oleh MPA Desa Jambi.
Menurut Karno—panggilan Romanus Soekarno—semua anggota MPA berupaya memadamkan api yang mulai merambat ke area HCV tersebut. “Tapi tinggi api lebih dari 10 meter. Kami hanya bisa pasrah,” ucapnya ketika ditemui pada akhir Agustus lalu. Pegawai perusahaan, dia menambahkan, juga dikerahkan dari kantor yang berlokasi di sisi utara area terbakar.
Pada masa-masa kebakaran itu, malam hari menjadi pemandangan tak terlupakan bagi Madi, anggota MPA Desa Jambi. “Apinya merah sekali,” tuturnya.
Pengalaman buruk juga membekas di ingatan Maria Septiana, istri Karno. Dia harus menyewa perahu cepat, berlayar selama 20 menit menyusuri Sungai Jelai, untuk mendatangi dokter terdekat di Kecamatan Sukamara. Putrinya yang kedua mengalami sesak napas gara-gara terpapar asap. “Dia tidak bisa mengeluarkan suara,” kata Maria.
Seperti halnya Bumi Mekar Hijau, KPAM ditengarai tengah membuka lahan untuk area penanaman baru ketika api tersebut berkobar. Citra satelit pada 14 September 2019 menguatkan dugaan ini. Petak-petak kebun yang dua bulan sebelumnya tak ada ketika itu mulai berjajar rapi di bagian selatan konsesi. Pada periode itu, blok tanam baru ini masih terpisah dari blok tanam lama yang diduga dibuka pada 2018. Lahan di antara dua kebun itulah yang tergambar bak kawah, dengan lidah api menjulur ke angkasa, sepekan kemudian.
Pada akhir Agustus lalu, pemandangan di area konsesi KPAM sudah jauh berbeda. Bekas kobaran api tak ada lagi di lahan yang sama. Lahan kosong yang tadinya terbakar berubah menjadi petak tanam baru. Sawit-sawit muda berderet di atasnya. Di petak lain, ajir atau kayu pancang penanda rencana penanaman juga telah berbaris rapi. Dua truk penuh sawit muda tampak menuju lokasi tersebut.
Carl Dagenhart, Head of Stakeholder Engagement IOI Corporation Berhad, induk perusahaan KPAM, berjanji memberikan jawaban tertulis untuk merespons permohonan wawancara dan konfirmasi tentang kebakaran di konsesi KPAM pada 2019. “Kami sedang mengumpulkan informasi yang relevan,” ujar Dagenhart lewat surat elektronik, 10 September lalu. Namun, hingga Sabtu sore, 12 September lalu, jawaban yang dijanjikan tak kunjung tiba.
•••
TAK mudah pergi ke Desa Sungai Cabang, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Perlu empat jam pelayaran dengan perahu kelotok sewaan dari pesisir Teluk Kumai untuk sampai ke desa yang dikelilingi Taman Nasional Tanjung Puting itu. Tak ada sarana transportasi laut reguler di sana.
Pada Ahad siang, 9 Agustus lalu, suasana Desa Sungai Cabang jauh berbeda dibanding setahun lalu. Di belakang kampung ini membentang kebun sawit seluas 11.890 hektare milik PT Kumai Sentosa. Setahun lalu, sekitar Agustus 2019, api membara hingga diduga menghanguskan lebih dari separuh luas konsesi perusahaan.
Indirayanto, warga Sungai Cabang, tak ingat persis kapan api bermula. Yang jelas, kala itu warga Sungai Cabang tengah berbaur dengan karyawan perusahaan dalam pertandingan voli untuk perayaan peringatan Kemerdekaan Indonesia. Seketika perlombaan buyar. Manajemen Kumai Sentosa memanggil semua karyawannya untuk memadamkan api di lahan perusahaan.
Sejak itu, ucap Indirayanto, situasi menjadi genting. Api menjalar cepat, menerjang kebun pisang, kelapa, jengkol, sengon, jabon, hingga karet milik masyarakat yang memanjang 11 kilometer hanya dalam hitungan hari. “Biasanya tidak selejang itu. Tidak habis kebun. Yang ini habis,” tutur pria 40 tahun tersebut.
Seorang warga Sungai Cabang yang enggan disebutkan namanya membenarkan cerita Indirayanto. Kala itu dia masih bekerja sebagai buruh harian di Kumai Sentosa sehingga ikut dalam rombongan yang dikerahkan perusahaan untuk pemadaman. Menurut dia, peralatan yang tersedia tak memadai untuk melawan kobaran api. “Saat memadamkan, (mesin) Robin pecah. Ada juga yang ikut terbakar,” katanya. “Kami pulang, motor seperti berjalan di atas api. Sebulan memadamkan, saya berhenti kerja.”
Analisis citra satelit menemukan hotspot pertama kali muncul secara bersamaan pada 21 Agustus 2019 di luar dan di dalam area perusahaan. Titik panas di luar konsesi ini berada di kawasan taman nasional. Namun jarak kedua hotspot ini sekitar 5,5 kilometer.
Lahan di konsesi Kumai Sentosa diduga baru dibuka secara masif sebelum kebakaran, termasuk berupa pembangunan kanal. Hotspot di konsesi perusahaan bahkan pertama kali muncul di kanal yang ditengarai baru selesai digaruk pada pekan ketiga Juni 2019. Yang menarik, 10 titik panas pertama ini muncul berbaris dua banjar dengan jarak beraturan.
Penampakan hotspot pertama (bulatan kuning) di konsesi PT Kumai Sentosa, Kalimantan Barat, pada 21 Agustus 2019. Titik panas awal ini berjajar teratur di antara jaringan kanal (garis biru). Foto: Istimewa
Kanal baru itu menambah panjang jaringan kanal yang terbangun sejak 2018. Jika ditampalkan dengan peta Kesatuan Hidrologis Gambut 2017, terlihat jelas saluran air yang memanjang dari utara ke selatan ini mencabik fungsi lindung KHG Sungai Buluh Besar. Kini lokasi itu sudah ditanami. Sawit-sawit muda mulai tertancap di sejumlah blok tanam. Di sisi barat, kanal selebar 10 meter menjadi batas area konsesi dan taman nasional.
Hingga laporan ini diturunkan, manajemen Kumai Sentosa tak merespons surat permohonan wawancara. Surat yang dikirim ke kantor perseroan di Jalan Raya Sungai Tendang, Kumai, Kotawaringin Barat, pada Rabu, 9 September lalu, tak berbalas. Kantor itu hanya berupa rumah, tanpa plang perusahaan, yang berdiri di atas tanah lapang. Deretan ekskavator hijau terparkir di depannya.
Kepada awak media, Rabu, 12 Agustus lalu, kuasa hukum Kumai Sentosa, Tahmijudin, menyatakan kliennya akan kooperatif menghadapi perkara pidana karhutla yang akan segera disidangkan di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat. “Nanti kita lihat fakta-fakta persidangan,” ucapnya.
Nasib Kumai Sentosa memang berbeda dengan Bumi Mekar Hijau dan Kalimantan Prima Agro Mandiri. Areanya sama-sama diduga terbakar hebat pada 2019, tapi hanya Kumai yang diseret ke meja hijau. Dua perusahaan lain yang terafiliasi dengan raksasa kertas dan sawit itu seolah-olah tak tersentuh. Sampai laporan ini diterbitkan, tak satu pun pejabat di Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK yang bersedia diwawancarai.
TIM KOLABORASI
Penanggung jawab: Wahyu Dhyatmika
Kepala proyek: Agoeng Wijaya
Penulis dan penyumbang bahan: Agoeng Wijaya, Agung Sedayu, Ibrahim Arsyad, Aseanty Widaningsih Pahlevi, Aisha Shaidra (Tempo); Kennial Laia (Betahita); Lusia Arumingtyas, Budi Baskoro (Mongabay); Aidila Razak, Koh Jun Lin (Malaysiakini)
Tim multimedia: Krisna Adhi Pradipta, Harfin Naqsyabandy, Harry Amijaya (Tempo)
Tim analisis data: Dedi Pratama Sukmara, Yustinus Seno, Sesil Maharani, Hafid Azi Darma (Auriga Nusantara); Agoeng Wijaya (Tempo); Koh Jun Lin (Malaysiakini)
Ralat:
Paragraf 41 artikel ini telah diubah untuk tanggal surat elektronik yang diterima dari Carl Dagenhart, Head of Stakeholder Engagement IOI Corporation Berhad. Sebelumnya tertulis 10 Agustus, menjadi 10 September.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo