TEMPAT-tempat hiburan seperti klab malam, mandi uap dan
sejenisnya akan dihapus secara bertahap dari wilayah DKI. Antara
lain dengan cara tak memberi perpanjangan izin usaha. Kalaupun
masih diperpanjang, "tapi dilarang melakukan tindakan yang
bersifat mengembangkan usahanya," seperti diucapkan B. Harahap,
Kepala Humas Balaikota DKI. Misalnya tak boleh menambah tenaga
kerja atau memperluas bangunannya.
Tentu saja tindakan serupa itu akan berbuntut. Misalnya dari
sekarang banyak diperkirakan bahwa sebagai pelarian para pecandu
tempat-tempat hiburan serupa itu, tak mustahil mereka akan
beralih ke tempat-tempat lebih mesum. Karena kabarnya, begitu
akhir-akhir ini tempat-tempat mandi uap maupun klab malam banyak
gulung tikar, serentak pula makin berkembang biak wts di jalanan
maupun tempat-tempat resmi atau liar. Apalagi hingga sekarang
belum pernah terbetik kabar adanya rencana Pemda DKI untuk
membangun atau mendorong adanya tempat-tempat hiburan lebih
sehat bagi orang dewasa.
Ekor lain sebagai akibat pengurangan atau penutupan bertahap
tempat-tempat hiburan itu adalah bakal berkurang sumher
pendapatan DKI. Namun akan soal ini kabamya taklah begitu
merisaukan pihak Pemda DKI. Lebih-lebih bila diingat, bahwa
sejak 1 Desember tahun lalu bersama Dirjen Pajak. drs. Sutadi
Sukarya, Gubernur Tjokropranolo telah menurunkan SK bersama.
Yaitu ketentuan mengenai pungutan Ipeda (Iuran Pembangunan
Daerah) terhadap bangunan perumahan/tempat tinggal yang di
wilayah DKI dikenal dengan jehutan bangunan non komersil.
Pungutan itu mulai dilakukan dalam tahun 1978 ini. Pungutan yang
selama ini sudah dilaksanakan di DKI dan terkenal dengan nama
Ireda hanya dikenakan terhadap (luas) tanah saja.
Dengan adanya Ipeda itu berarti seorang warga DKI yang memiliki
tanah dengan bangunan rumah di atasnya, mulai tahun ini
diharuskan membayar Ireda dan juga Ipeda sekaligus. Tapi warga
ibukota yang tergolong tak mampu, tak perlu khawatir akan adanya
iuran baru itu. Sebab Ipeda hanya dikenakan bagi rumah-rumah
yang sudah tergolong mewah, tidak (belum) bagi rumah-rumah
penduduk non permanen. Malahan rumah-rumah permanen di sekitar
jalan ekonomi, dan jalan protokol dikenakan Ipeda 25% lebih
tinggi dibanding yang ada di sekitar jalan-jalan biasa
(kampung). Untuk rumah yang terbilang mewah bahkan iuran itu
lebih tinggi 50%.
Tapi Gubernur Tjokroplanolo menolak seolah-olah SK tentang
Ipeda itu dikeluarkan dalam rangka mencari tambahan dana bagi
anggaran DKI sehubungan dengan penghapusan tempat-tempat
hiburan. Kepada TEMPO Tjokropranolo mengungkapkan bahwa SK itu
semata-mata memberlakukan ketentuan yang selama ini belum
dilaksanakan. Dan memang ketentuan-ketentuan dalam SK tadi
sebenarnya telah diterap kan di seluruh Indonesia sejak 1967,
kecuali di Jakarta--karena alasan-alasan tertentu. Antara lain
karena "pertumbuhan pembangunan di DKI belum seperti
diharapkan." Dan sekarang, kata Gubernur DKI itu, "pembangunan
di DKI sudah jauh lebih maju."
Bagaimana kira-kira reaksi warga kota yang akan terkena
ketentuan itu? "Saya sudah dapat menduga, yang banyak memprotes
nantinya adalah orangorang kaya, yang memiliki rumah besar dan
mewah," tutur Haji Satim, Lurah Mangga Dua Selatan Jakarta.
Menurut Satim, tahun lalu seorang warganya merasa tak sanggup
membayar Ireda sebanyak Rp 500.000. Ia minta dicicil. Hingga
menurut dugaan Satim, tahun ini akan lebih banyak lagi warganya
yang rewel seperti itu. Padahal di wilayahnya banyak terdapat
rumah mewah. Bahkan kata Satim kesulitan sering dihadapinya juga
ketika dilakukan pengukuran tanah. Bahkan kerap terjadi cekcok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini