Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh tahun pundi gendut itu ”menganggur” di Bank Permata. Ada Rp 546 miliar di dalamnya. Jumlah yang tentu menerbitkan selera banyak pihak.
Pekan lalu, petinggi kejaksaan merilis perintah: setengah triliun rupiah isi pundi itu harus segera dipindahkan ke rekening kejaksaan. ”Itu kan uang titipan,” kata Marwan Effendy, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Jaksa Marwan punya alasan kuat. Pada 11 Juni 2009, peninjauan kembali (PK) putusan kasasi atas perkara pidana dugaan korupsi pengalihan hak tagih atau cessie di Bank Bali telah dikabulkan. Salah satu putusannya, duit di rekening penampungan dirampas untuk dikembalikan ke kas negara.
Hingga kini uang itu belum berpindah keranjang, masih aman di rekening berkode Bank Bali escrow qq PT Era Giat Prima. Manajemen Standard Chartered Bank dan Astra International, pemilik 89 persen saham Bank Permata, menyerahkan kasus ini kepada tim kuasa hukum perusahaan. ”Biar mereka yang menangani,” kata Yulian Warman, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat PT Astra International.
Luhut Manihot Parulian Pangaribuan, pengacara Bank Permata, menegaskan bahwa pemindahan rekening tak bisa serta-merta dilakukan. ”Harus dengan mempertimbangkan fakta hukum lain,” katanya. ”Kalau hanya melihat satu sisi, di mana rasa keadilan?”
Kisah pundi Si Jempol—logo Bank Bali yang sekarang menjadi Bank Permata—bermula pada 1999. Bank Bali menggunakan jasa PT Era Giat untuk membereskan tagihan senilai Rp 904,6 miliar kepada tiga bank swasta, yakni Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara. Ketiga bank itu sedang sekarat dan menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Untuk penagihan ini, PT Era Giat mendapat uang jasa Rp 546 miliar.
Bau tak sedap segera meruap. Jumlah uang jasa tergolong luar biasa, 60 persen dari total tagihan. Kehebohan terjadi. Apalagi Direktur Utama Era Giat saat itu adalah bendahara Partai Golongan Karya, Setya Novanto. ”Dana itu diduga kuat untuk kepentingan kampanye pemilu,” kata Pradjoto, pakar hukum perbankan.
Keganjilan tak berhenti pada uang jasa yang teramat gurih. Perjanjian cessie ini tidak tercatat dalam laporan resmi Bank Bali, juga tak didaftarkan kepada Bank Indonesia sebagaimana seharusnya. ”Ini jelas praktek ilegal. Ada yang tak beres,” kata Pradjoto.
Kepolisian bergerak cepat. Penyidikan digelar. Bank Bali diminta membuka rekening penampungan, escrow account, mewadahi Rp 546 miliar itu. Rekening dibekukan agar Era Giat tak bisa mencairkan pundi yang dijadikan barang bukti itu.
Waktu berlanjut. Perkara duit Si Jempol menjadi makin rumit. BPPN membatalkan perjanjian cessie dan menghilangkan hak Era Giat atas uang jasa Rp 546 miliar. Langkah ini kontan disambut dengan gugatan perdata oleh Setya Novanto, Direktur Era Giat Prima.
Jalur perdata ini diwarnai aneka tikungan berliku. Pada April 2000, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan Era Giat. Pada tingkat berikutnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan keputusan tersebut dan memberikan wewenang kejaksaan untuk mengembalikan pundi kepada Era Giat Prima. Bagi Pradjoto, ini keputusan yang aneh. ”Seharusnya yang dibela adalah kepentingan negara, bukan Era Giat,” katanya.
Bank Permata, yang saat itu dimiliki pemerintah melalui BPPN, melawan keputusan itu. Perlawanan sengit berbuah. Pada 8 April 2004, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Bank Bali. Keputusan ini dikuatkan Mahkamah Agung dalam hasil peninjauan kembali pada 29 Mei 2007. ”Jadi, secara perdata, uang itu sah milik Bank Bali,” kata Luhut sambil menegaskan bahwa keputusan itu sudah bersifat mengikat (inkracht).
Kasus Si Jempol juga merambah jalur pidana. Lakon di jalur ini tak kalah berliku. Pemerintah yang merasa negara dirugikan Rp 546 miliar menyeret Joko Tjandra (bekas Direktur PT Era Giat), Pande Lubis (bekas Deputi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional), dan Syahril Sabirin (bekas Gubernur Bank Indonesia) ke pengadilan.
Pande Lubis divonis empat tahun penjara. Namun, anehnya, Joko Tjandra dan Syahril Sabirin dibebaskan dari tuduhan. Perbedaan keputusan inilah yang membuat kejaksaan mengajukan peninjauan kembali, tahun lalu.
Kamis dua pekan lalu, peninjauan kembali itu dikabulkan MA. Walhasil, Syahril Sabirin dan Joko Tjandra, yang keburu kabur, harus masuk penjara. Putusan lainnya, pundi Si Jempol wajib dikembalikan ke kas negara.
Nah, keputusan yang mendua itulah yang memicu perdebatan tajam. Dari segi perdata, seperti diyakini Luhut dan Pradjoto, Mahkamah sudah mengesahkan pundi Si Jempol milik Bank Permata. Tapi, di jalur pidana, Mahkamah memutuskan isi Si Jempol itu harus dikembalikan ke negara. ”Ini sama sekali tidak masuk akal,” kata Pradjoto, ”Bagaimana bisa satu institusi memutuskan dua hal berbeda untuk satu perkara?”
Hatta Ali, juru bicara Mahkamah Agung, mengaku tak tahu-menahu tentang adanya putusan perdata untuk kasus ini. ”Ada putusan perdata, ya? Saya baru tahu,” katanya.
Pradjoto juga menyoroti aspek lain yang diabaikan oleh Mahkamah Agung. ”Perubahan status bank,” katanya. Perubahan status ini berdampak pada kepemilikan, termasuk aset berupa pundi Si Jempol.
Pada Februari 2001, Bank Bali dilebur dengan empat bank lain, yakni Bank Universal, Bank Patriot, Bank Andromeda, dan Bank Prima Express. Setahun berikutnya, gabungan kelima bank ini berganti nama menjadi Bank Permata. Kemudian, November 2004, pemerintah mulai menjual kepemilikannya di Permata.
Pada awal September 2006, pemerintah melepas semua kepemilikan di Bank Permata kepada Standard Chartered dan Astra International. Total nilai penjualan mencapai Rp 5,6 triliun.
Sumber Tempo di Bank Permata mengatakan, manajemen sebenarnya mempunyai kartu truf untuk menghalau kejaksaan merampas dana itu. Permata, menurut dia, mengantongi perjanjian jual-beli yang menjamin bahwa dana cessie itu sudah termasuk dalam komitmen penjualan. ”Pemerintah sudah dapat duitnya dari penjualan,” katanya. Artinya, pundi Si Jempol telah resmi menjadi milik Permata.
Pihak Astra membenarkan adanya perjanjian itu. Menurut Yulian Warman, duit cessie itu memang sudah masuk komponen penjualan Bank Permata yang telah disepakati. Agus Martowardojo, Direktur Utama Bank Permata saat itu, menguatkan keterangan Yulian. ”Penjualan waktu itu bisa terlaksana karena dana cessie sudah dianggap milik Permata,” kata Agus.
Sayangnya, Mohammad Syahrial, Direktur Utama Perusahaan Penilaian Aset BPPN saat proses divestasi dilakukan, tak mau mengomentari soal perjanjian itu. Raden Pardede, wakil Syahrial ketika itu, juga tak mau memberikan keterangan apa pun.
Terlepas dari semua itu, Marwan Effendy menegaskan bahwa kejaksaan tetap akan melaksanakan eksekusi: merampas isi pundi Si Jempol. Putusan perdata dan fatwa MA, menurut Marwan, sifatnya tidak bisa mengalahkan kekuatan putusan pidana. ”Kami tidak ada urusan dengan putusan lain, perintahnya merampas,” katanya.
Ihwal perubahan status bank, Marwan menegaskan, tidak ada pengaruhnya dalam pelaksanaan eksekusi. Karena pada dasarnya, kata dia, bank itu dulu adalah Bank Bali yang dititipi dana cessie itu. Eksekusi, lanjut dia, akan jalan terus. ”Jadi tidak ada dalih lagi,” kata Marwan, ”Kalau mau menggugat, silakan.”
Ketua Mahkamah Agung, Harifin Andi Tumpa, mendukung eksekusi segera dilakukan. Ia meminta Permata mematuhi dan melaksanakan putusan. Jika menolak, kata Harifin, ”Kejaksaan bisa menggugat perdata Bank Permata.”
Anton Aprianto, Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo