Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DWI Sumaji masih mengingat pengalaman pahitnya 18 tahun silam. Dituduh menganiaya wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin, ia dijebloskan ke tahanan Kepolisian Daerah Yogyakarta selama 58 hari. "Saya tak bisa lupa," kata pria 52 tahun ini di rumahnya di Panasan, Triharjo, Sleman, Yogyakarta, akhir Agustus lalu.
Polisi menuduh Iwik—begitu Dwi dipanggil—cemburu karena istrinya, Sunarti, berselingkuh dengan Syafruddin alias Udin. Semua bermula pada 21 Oktober 1996 pagi. Iwik, yang kini menjadi sopir angkutan umum dan berdagang pupuk tablet, ketika itu naik bus menuju kantor CV Dimas Advertising di Jalan Magelang, Yogyakarta. Di jalan, ia diminta turun oleh Franky, yang beberapa hari sebelumnya mengatakan akan memesan baliho di tempat kerjanya itu.
Franky, yang mengatakan akan mempertemukan Iwik dengan "bos", ternyata membawanya ke Pantai Parangtritis. Mereka singgah di warung makan, dan Iwik hanya memesan kopi. Anehnya, Iwik menyatakan merasa "pusing dan seperti orang bingung" setelah itu. Ia menduga Franky memasukkan sesuatu ke minumannya. "Di warung ia terlihat keluar-masuk dapur," katanya.
Setelah itu, mereka menuju Hotel Queen of the South, yang menurut Franky tempat bosnya menunggu. Franky kemudian mengajaknya pindah ke Penginapan Agung. Di situ Iwik dijamu dengan bir. "Sampai saya tak kuat lagi," katanya. Franky lalu menyuruh Iwik tidur bersama seorang perempuan. "Tapi tak saya apa-apakan," tuturnya.
Franky membangunkan Iwik setelah sore dan mengajaknya kembali ke Hotel Queen of the South. Seseorang yang disebut Franky sebagai bos menunggu di lobi. Menurut Iwik, orang itu bertanya masalah yang dihadapinya. Merasa tak punya masalah, Iwik balik bertanya, "Katanya mau pesan billboard?"
Iwik mengatakan, sejak itu, Franky mulai memaksanya mengaku sebagai pembunuh Udin. "Polisi mencarimu. Kamu dituduh membunuh Udin," kata Franky, seperti tertulis dalam buku The Invisible Palace oleh Jose Manuel Tesoro. Franky, menurut Iwik, juga mengatakan akan melindunginya kalau mengaku. Juga dijanjikan, Iwik akan mendapat uang.
Belakangan, Iwik baru tahu bahwa Franky adalah Sersan Mayor Edy Wuryanto, anggota reserse Kepolisian Resor Bantul. Ia dibawa ke Bantul, bertemu dengan "bos" yang ternyata Kepala Polres Bantul Letnan Kolonel Ade Subardan. Pada hari itu juga ia diboyong ke Polda Yogyakarta setelah magrib. Di depan Kepala Polda Yogyakarta, Kolonel Mulyono Sulaiman, Iwik memberikan pengakuan. Sejak itu ia resmi menjadi tersangka.
MARSIYEM jengkel setiap kali polisi datang. Istri Udin itu mengatakan polisi terus mengulang pertanyaan: apakah dia memiliki pria simpanan. "Berkali-kali saya membantah, tapi mereka terus-menerus menekan agar saya mengaku memiliki lelaki simpanan," katanya, seperti tertulis dalam buku Aliansi Jurnalis Independen dan Institut Studi Arus Informasi, Terbunuhnya Udin.
Polisi kemudian membalik pertanyaan bahwa Udin yang memiliki simpanan. Mereka pun menyodorkan nama: Tri Sumaryani. Marsiyem kaget. Yani—sapaan Tri Sumaryani—adalah bekas pacar adiknya, Fauzan. Marsiyem kembali menyangkal.
Polisi pun mengalihkan target ke Yani. Beberapa kali pada akhir Agustus, Yani, yang rumahnya tak jauh dari rumah kontrakan Udin di Samalo, Jalan Parangtritis Kilometer 13,5, didatangi Edy Wuryanto.
Selama beberapa kali bertamu, Edy dan temannya membahas kegiatan Yani sebagai breaker—pengguna radio komunikasi—seperti Udin. Mereka juga menanyakan soal Yani yang membonceng Udin seusai acara para breaker. Yani membenarkan, Udin mengantarnya pulang seusai acara Syawalan.
Tamu lain menanyakan hal yang sama datang pada 7 September 1996. Dialah Kuncoro, kepala urusan keamanan Desa Patalan dan keponakan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo. Menurut Yani, Kuncoro merupakan orang pertama yang tiba di lokasi penganiayaan Udin dan membawanya ke rumah sakit. Kuncoro mendesak Yani mengaku berselingkuh dengan Udin.
Kuncoro, menurut Yani, juga menawarinya uang asalkan mengaku bermain mata dengan Udin: "Pokoknya kamu ngaku saja. Nanti apa pun yang kamu minta akan saya penuhi." Kuncoro datang lagi beberapa hari kemudian, mengantar polisi yang menyerahkan panggilan pemeriksaan. Yani beberapa kali diperiksa polisi setelah itu. Di situ ia berkukuh tak punya hubungan khusus dengan Udin.
"Benar-benar keterlaluan polisi-polisi itu. Saya kenal baik dengan seluruh keluarga Mas Udin. Kok, bisa-bisanya saya dituduh berselingkuh dengan Mas Udin. Padahal saya sudah punya pacar," kata Yani, yang kini membuka salon di rumahnya, sekitar 100 meter dari kantor Polsek Bantul.
Kuncoro, sewaktu ditemui akhir Agustus lalu, menyatakan kedatangannya menemui Yani bukan untuk mendesak pengakuan. "Saya hanya menyampaikan panggilan. Saya enggak berpikir buruk. Suruh nganterin polisi saja," kata pria yang tinggal sekitar 200 meter dari rumah kontrakan Udin di Samalo, Patalan, itu.
Skenario perselingkuhan lain juga dipakai polisi. Pada 18 Oktober 1996, polisi menangkap Iwik. Foto istrinya, Sunarti, yang menurut polisi ditemukan di dalam dompet Udin, disodorkan. Marsiyem tak percaya terhadap tuduhan itu.
Sunarti juga menyangkal. Ia menyatakan memang satu sekolah dengan Udin di Madrasah Aliyah Negeri Bantul. Tapi, kata perempuan 50 tahun ini, "Sejak lulus, kami tak pernah ketemu lagi."
Menurut Iwik, foto yang disodorkan polisi adalah foto untuk pernikahan. Ia mencetak empat lembar foto Sunarti saat mengurus surat pernikahan. Dua lembar untuk foto pada surat nikah, selembar untuk arsip di kantor urusan agama (KUA), dan selembar lagi dia simpan di dompetnya. Rupanya, polisi datang ke KUA dan meminta foto Sunarti untuk jadi barang bukti. "Sangat jelas rekayasanya," kata Iwik.
Iwik mengatakan heran dengan pengumpulan bukti untuk menjeratnya. Misalnya ketika polisi menggelandang dia ke tempat kerjanya untuk mencari barang bukti. Di sana polisi mengambil sepotong besi bekas. Polisi meminta Iwik memegang besi itu, lalu memotretnya. Besi itulah yang menurut tuduhan polisi dipakai Iwik memukul Udin.
Ketika Iwik dibawa ke rumahnya, polisi juga mencari kaus dan ikat kepala warna merah. "Padahal saya tidak punya ikat kepala," katanya.
Polisi melihat kain merah, yang sebetulnya kain pola baju milik orang yang menjahitkan baju ke Sunarti, dan memintanya. Iwik menawarkan kain merah dua meter sebagai pengganti, tapi ditolak polisi. Polisi malah menanyakan sisa potongan kain pola yang sudah dibuang. Mereka mengobrak-abrik tempat sampah. Sepotong kecil kain merah di tempat sampah itulah yang dijadikan bukti oleh polisi dan disebut sebagai "ikat kepala pembunuh Udin".
Beberapa hari setelah pengakuan, Iwik memperoleh penasihat hukum. Mendapat dukungan, ia pun mencabut pernyataannya dalam berita acara pemeriksaan. Iwik membatalkan pengakuan membunuh Udin. Tapi polisi berkukuh. "Demi Allah, demi Rasulullah, ia (Iwik) pembunuh Udin," kata Edy Wuryanto saat wartawan mencecarnya, seperti tercantum di buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah.
Dengan bukti yang amburadul itu, Iwik diajukan ke pengadilan. Tapi ia lolos dari dakwaan. Hakim menyatakan ia tak terbukti bersalah dan membebaskannya dari perkara.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bantul yang kini Penyidik Madya Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Yogyakarta, Ajun Komisaris Besar Edi Hidayat, menyangkal merekayasa perkara pembunuhan Udin. "Kami tidak pernah merekayasa," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo