Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Satu Sketsa yang Percuma

Meski dibantu gambar wajah tamu yang diduga membunuh Udin, polisi salah arah menyelidiki perkara ini. Sang istri tak percaya hasil penyidikan.

10 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARSIYEM tersentak, menunduk, lalu menutup mukanya ketika sketsa wajah tamu misteriusnya selesai digambar seorang pelukis dari Surakarta, Jawa Tengah. Tamu itu datang ke rumahnya pada Selasa, 13 Agustus 1996, sekitar pukul 22.30. Tamu ini dia yakini menyodok ulu hati suaminya, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, dengan sebatang besi, lalu menghantam kepala belakang dan jidat wartawan Bernas itu hingga terkapar bersimbah darah.

Pada malam itu, Marsiyem membukakan pintu kontrakan yang diketuk dari luar. Ia berbincang sebentar dengan lelaki yang datang, lalu kembali masuk rumah ketika suaminya menemui sang tamu. Hanya sekejap, terdengar suara buk.... Marsiyem keluar dan melihat suaminya tergeletak. Ia menjerit meminta tolong.

"Lihat sketsanya seperti melihat kejadian itu lagi. Ya, itu orangnya. Dia membawa besi pendek berlubang-lubang," kata Marsiyem melihat hasil sketsa itu. Ketika wajah tamunya digambar, kejadian sudah lewat tiga pekan. Tapi Marsiyem mengingat betul wajah tamunya itu. Sketsa dibuat berdasarkan keterangan Marsiyem: tamu pria berikat kepala merah, usia 30-35 tahun, tinggi badan 168-170 sentimeter, mata tajam, dan pipi tembam.

"Awalnya syok memang. Masya Allah. Kok, bisa punya masalah seperti ini," kata Marsiyem ketika ditemui Tempo di rumahnya di Dusun Gedongan, Desa Trirenggo, Jetis, Bantul, akhir Agustus lalu. "Enggak pernah terbayang."

Sketsa itu sebenarnya bisa membantu polisi melacak dan mencari tamu keluarga Udin itu. Namun, bulan berganti, dan penganiaya Udin belum juga ditemukan. Rumor yang beredar malah membuat hati Marsiyem tak keruan. Apalagi polisi juga menyatakan Udin dibunuh lantaran memeras dan berselingkuh. Polisi menuduh hasil pemerasan dipakai Udin membeli Honda Tiger 2000 untuk liputan.

Marsiyem meradang mendengar tuduhan itu. Menurut dia, sepeda motor suaminya dibeli dari usaha studio foto. Ia juga yakin suaminya tidak mungkin berselingkuh. Tapi polisi berkukuh dengan tuduhannya. Pada 21 Oktober 1996, mereka menangkap Dwi Sumaji alias Iwik. Pria yang ketika itu berusia 32 tahun ini dituduh polisi menghabisi Udin karena terbakar cemburu lantaran Udin berselingkuh dengan istrinya, Sunarti.

Polisi mengejar pengakuan Iwik dengan, antara lain, membawanya ke sebuah hotel di Parangtritis, Yogyakarta. Kepala Kepolisian Daerah Yogyakarta Kolonel Mulyono Sulaiman kepada wartawan dengan yakin mengatakan, "DS itu pelakunya."

Marsiyem penasaran dengan sangkaan polisi. Ia ingin bertemu dengan tersangka pembunuh suaminya itu. Ketika diperiksa polisi pada 29 Oktober 1996, Marsiyem meminta izin bertemu dengan Iwik. Polisi menolak permintaan itu.

Rasa penasaran Marsiyem terjawab setelah media massa mempublikasikan foto-foto Iwik yang didapat ketika anggota tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia—yakni Muladi, Sugiri, dan Joko Sugianto—bertemu dengan tersangka di Polda DIY. Marsiyem mengatakan tidak percaya Iwik pelakunya. Apalagi ketika ia diminta melihat Iwik dari balik ruang kaca di Polda DIY pada 25 November 1996.

Iwik dihadirkan bersama empat tahanan lain. Mereka mengenakan seragam biru dan berdiri dalam empat posisi: menghadap ke depan, samping kiri, samping kanan, dan membelakangi kaca. Selain Marsiyem, saksi Sujarah—yang sempat bertemu dengan tamu misterius di rumah Udin pada malam sebelum penganiayaan—menyaksikan Iwik dan kawan-kawan. Kesimpulan keduanya sama.

"Saya semakin yakin Dwi Sumaji bukan pelaku penganiayaan. Ciri-ciri dia tidak sama dengan orang yang datang malam itu," kata Marsiyem. Menurut dia, tamunya lebih tinggi daripada Iwik, perawakannya juga tegap dan berisi, tak seperti Iwik yang berkaki pendek. Bentuk wajah dan tonjolan tulang pipi juga berbeda.

Sujarah, yang sempat menemui tamu yang sama di rumah Udin sehari sebelum kejadian, sependapat dengan Marsiyem. Tubuh tamu yang ditemuinya tidak sekerempeng Iwik. "Wis, ngawur tenan. Sopo-sopo dicekeli. Enggak mutu (polisi) itu," kata Sujarah saat ditemui pada akhir Agustus lalu.

Saat polisi menunjukkan barang-barang yang diklaim sebagai bukti, lagi-lagi Marsiyem menggeleng. Menurut dia, tak satu pun barang itu mirip dengan barang bukti yang dilihatnya pada malam penganiayaan. Besi yang ditunjukkan lebih besar daripada yang dilihatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus