Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Teka-teki Larung Darah

Polisi menyatakan darah Udin dilarung di pantai selatan Pulau Jawa. Diduga untuk merekayasa kasus pembunuhan.

10 November 2014 | 00.00 WIB

Teka-teki Larung Darah
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Bagi Marsiyem, "prosesi larung darah" menjadi misteri, hingga saat ini. Istri wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin ini membawa darah dalam botol itu dari Rumah Sakit Bethesda Kota Yogyakarta setelah suaminya meninggal, lebih dari 18 tahun lalu. Persisnya, itu terjadi pada 16 Agustus 1996.

Udin sekarat akibat diserang orang yang hingga kini tidak diketahui, tiga hari sebelum kematiannya. Marsiyem masih ingat, darah hasil operasi itu dimasukkan ke botol, mirip wadah gulungan film untuk kamera analog. Setelah tim dokter memastikan Udin meninggal, Marsiyem membawa pulang darah itu.

Mujilah, ibunda Udin, meminta darah itu dia simpan di rumahnya di Bantul, sebagai kenang-kenangan. Awalnya, darah itu akan dimasukkan ke peti jenazah untuk ikut dikubur. "Tapi kami lupa," kata Marsiyem di rumahnya di Bantul, Yogyakarta, akhir Agustus lalu. Mujilah meninggal pada usia 74 tahun di Gedongan, Trirenggo, Bantul, pada Juni 2013.

Buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah, yang disusun Heru Prasetya bersama tim, terbitan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia 1999, menyatakan pada 19 Agustus 1996, sekitar pukul 20.00, anggota reserse Kepolisian Resor Bantul bernama Sersan Mayor Edy Wuryanto datang ke rumah Wagiman Jenggot, ayahanda Udin, di Gedongan, Trirenggo. Semua kerabat Wagiman Jenggot saat itu masih berduka. Udin meninggal tiga hari sebelumnya.

Edy datang meminjam darah Udin sisa hasil operasi di RS Bethesda itu. Darah pun berpindah tangan, dari keluarga Udin ke Edy, dengan status dipinjam dan harus dikembalikan jika sudah selesai. Edy menyanggupi. Ternyata darah itu justru menjadi teka-teki.

Sejak membawa darah tadi, Edy tidak pernah datang ke rumah Wagiman Jenggot. Upaya mencari sudah dilakukan, antara lain melalui teman Edy. Tapi polisi anggota serse itu tetap saja tidak memperlihatkan batang hidungnya. "Keluarga Udin pun terus bertanya, ada apa dengan darah sisa hasil operasi itu," kata Heru Prasetya ketika ditemui di rumahnya, September lalu.

Darah itu semula diberikan oleh petugas RS Bethesda pada 14 Agustus 1996, sesaat setelah Udin dioperasi. Oleh keluarga Udin, kemudian darah itu dibawa pulang ke rumah Sutopo, kakak Udin, di Jalan Parangtritis Km 13, Bantul, Yogyakarta. Menurut Marsiyem, seorang polisi mengatakan darah itu, "Kanggo nggoleki sing mateni Udin (buat mencari pembunuh Udin)." Caranya, darah itu akan dilarung.

Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, yang menjadi kuasa hukum Marsiyem, tiga kali melayangkan surat menanyakan keberadaan darah itu ke Kepala Kepolisian Daerah Yogyakarta waktu itu, Mulyono Sulaiman. Terhadap surat LBH Yogya itu, Mulyono tidak memberi jawaban apa pun. Hal ini menimbulkan tanda tanya, dipakai untuk apa darah sisa operasi itu.

Lalu pada 21 Oktober 1996 polisi menangkap Dwi Sumaji alias Iwik, yang disangka sebagai penganiaya Udin. Muncullah dugaan, darah itu dipercikkan ke barang bukti untuk memperkuat sangkaan terhadap Iwik. Namun, setelah kecurigaan itu menyebar, Mulyono memberi penjelasan tentang keberadaan darah Udin. Pada 6 November 1996, sebanyak 27 wartawan menemui Mulyono di ruang kerjanya. Banyak hal yang ditanyakan. Ketika ada pertanyaan tentang darah Udin, Mulyono menjawab, "Separuh dilabuh di pantai selatan dan separuh lainnya dibuang di tempat sampah Mapolres Bantul."

Pernyataan Mulyono ini benar-benar mengagetkan. Sebab, semula ada keyakinan bahwa darah itu digunakan untuk menyelidiki kasus Udin, misalnya dengan dibawa ke laboratorium atau pemeriksaan DNA. Tidak pernah sedikit pun terpikir bahwa darah itu dilabuh. Apalagi, setelah polisi menangkap Iwik, barang bukti ternyata terkena percikan darah Udin.

Marsiyem, melalui kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, tidak bisa menerima perlakuan terhadap darah suaminya. Bukan hanya itu, Marsiyem dan seluruh keluarga Udin menagih janji polisi yang menyatakan akan mengembalikan darah pinjaman itu.

Barang bukti tepercik darah itu ada dalam rekayasa kasus yang menjadikan Iwik sebagai pembunuh Udin. Bercak darah pada kedua benda itu menjadi dalih polisi menyeret Iwik ke meja hijau. Kepada Marsiyem, polisi bilang tidak asal-asalan membawa Iwik ke pengadilan. "Buktinya ikat pinggang yang kena darah. Itu darahnya Udin," kata seorang polisi seperti ditirukan Marsiyem.

Dia pantas curiga bahwa darah Udin dipercikkan ke barang bukti demi menjerat Iwik sebagai pembunuh. Sebab, sampel DNA Marsiyem dan dua anaknya tak pernah diambil untuk memastikan darah itu identik dengan darah Udin.

Apalagi polisi menyatakan akan membawa darah tersebut ke Inggris untuk tes DNA, yang tentunya membutuhkan waktu lama. Padahal saat itu Indonesia sudah bisa melakukan tes DNA sendiri. "Darah yang ada pada ikat pinggang dan besi itu didapat polisi dari mana. Berarti darah yang diambil itu dioleskan di situ (barang bukti)," kata Marsiyem.

Penghilangan darah oleh polisi ini pun disidangkan. LBH Yogyakarta selaku kuasa hukum Marsiyem memperkarakan Edy Wuryanto. Pengadilan Negeri Bantul menggelar sidang dengan menghadirkan sepuluh saksi, di antaranya Wagiman Jenggot dan Mujilah.

Pada sidang putusan 7 April 1997, Edy dinyatakan bersalah oleh majelis hakim. Edy terbukti bersalah karena membuang darah Udin ke laut di Pantai Parangkusumo dan ke tempat sampah Markas Kepolisian Bantul. Ia dihukum denda Rp 10 ribu. Menanggapi kasus Udin yang tak segera berujung, Edy Wuryanto tak banyak berkomentar. Ia menyatakan kasus ini kasus lama yang tidak perlu diungkit.

Ia juga meminta Tempo tidak mengutip pernyataan dia belasan tahun lalu, ketika kasus ini masih hangat dibicarakan. Permintaan Tempo untuk bertemu tak pernah ia penuhi. Ia beberapa kali menyatakan mau ditemui, tapi setelah itu terkesan menghindar. "Jangan bertemu sekarang, saya sedang sibuk," kata Edy, September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus