Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Kemewahan Idealisme vs Pragmatisme Politik Aktivis 1998

Mantan aktivis Budiman Sudjatmiko dituduh membelot karena mendukung Prabowo Subianto. Muncul gerakan tandingan.

31 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN dua mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu berlangsung pada 2019 menjelang pemilihan umum. Mereka adalah Budiman Sudjatmiko dan Petrus Hariyanto. Berbeda dengan Petrus yang menjauhi dunia politik, Budiman sudah dua kali menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan selama 2009-2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kala itu, Petrus bercerita, Budiman mengeluhkan PDIP memindahkan daerah pemilihannya ke Jawa Timur 7 yang meliputi Kabupaten Ngawi, Trenggalek, Pacitan, dan Ponorogo. Selama ini Budiman meraup suara dari daerah pemilihan Jawa Tengah 8, yaitu Kabupaten Cilacap dan Banyumas. Budiman kecewa mendadak dipindahkan karena merasa sudah memiliki konstituen di daerah pemilihan lama. “Dapil Jawa Timur 7 dikenal sebagai daerah neraka dan dia akhirnya terbukti kalah,” ucap Petrus kepada Tempo pada 28 Desember 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah pertemuan itu, Petrus dan Budiman tak lagi bersua. Petrus berfokus mengobati gagal ginjal dan menjalani cuci darah yang sudah ia lakukan selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya empat tahun kemudian Petrus mendapat kabar Budiman mendadak mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada 18 Agustus 2023. “Saya marah mendengar kabar itu,” ujar mantan Sekretaris Jenderal PRD tersebut.

Bagi Petrus, Prabowo adalah bagian dari Orde Baru yang bertanggung jawab terhadap hilangnya belasan aktivis pada 1998. Pada saat itu Prabowo menjabat Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus dengan pangkat letnan jenderal. Emosi Petrus makin membara saat mendengar Budiman memberikan dukungan karena mengklaim Prabowo sudah memulangkan korban penculikan 1998.

Petrus menuding Budiman berbohong. Salah satu buktinya adalah perjuangan Paian Siahaan yang hingga kini masih mencari anaknya, Ucok Munandar Siahaan, yang hilang pada Mei 1998. Ada lagi nasib penyair dan pejuang hak asasi manusia Wiji Thukul yang keberadaannya masih misterius karena diduga diculik aparat. “Budiman malah bilang Prabowo hanya menjalankan tugas negara saat itu,” ucap Petrus dengan suara lantang.

Pria 54 tahun itu menganggap Budiman sebagai kacang yang lupa kulitnya. Petrus dan Budiman sama-sama pernah masuk penjara pada 1996 di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, karena dituduh melakukan makar. Keduanya baru bebas pada 1999 setelah menerima amnesti dari Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kader PRD lain juga banyak ditangkap, melarikan diri, dan terpaksa bergerak di bawah tanah karena represi tentara. “Yang dilakukan Budiman saat ini adalah tindakan pengkhianatan terhadap perjuangan kawan-kawan,” ucapnya.

Petrus juga menyayangkan banyak mantan aktivis yang ikut mendukung Prabowo. Itu sebabnya Petrus dari kursi rodanya mengumpulkan mantan aktivis 1998, terutama dari PRD, yang dinilai masih waras. Ia mau menggaungkan kampanye untuk mengembalikan 13 aktivis yang hilang diculik Tim Mawar yang dipimpin Prabowo sepanjang 1997-1998.

Gerakan serupa diinisiasi mantan aktivis dan pendiri Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta 1996 yang kini menjadi dosen di Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun. Ia mengumpulkan sesama mantan aktivis 1998 untuk bergerak. “Gagasannya membuat mimbar rakyat di kampus-kampus,” ujarnya.

Gerakan ini bertujuan menyelamatkan demokrasi dan konstitusi. Salah satu pemicunya adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan pasal tentang usia calon wakil presiden sehingga putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang baru berumur 36 tahun bisa menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo. Ketua MK kala itu, Anwar Usman, adalah paman Gibran. Pemerintah juga dianggap merusak hukum dengan merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, membuat Undang-Undang Cipta Kerja, dan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dianggap menabrak aturan.

Ubedillah menyayangkan para mantan aktivis justru menyokong kekacauan hukum itu. Apalagi mereka mendukung calon presiden yang terbukti melanggar hak asasi manusia di masa lampau. Ia menyebut Budiman dan para mantan aktivis “pembelot” itu sebagai gerakan pragmatis permisif yang merusak perjuangan demokrasi.

Dia mengaku malu memiliki sejawat yang justru mengkampanyekan pasangan calon presiden bermasalah. “Saya sempat mendengar alasan Budiman karena persoalan finansial. Tapi, kepada saya dalam sebuah diskusi, Budiman menyebutkan mengambil pilihan itu sebagai seorang politikus,” tutur Ubedillah.

Ubedillah menggandeng sejumlah tokoh akademikus, seperti Ray Rangkuti, Feri Amsari, dan Herlambang Wiratraman. Mereka juga menghimpun suara-suara dari para guru besar dan rektor di kampus-kampus ternama.

Ray Rangkuti mengamini gerakan itu. Mereka mendapat angin segar karena di sebuah forum resmi banyak guru besar menyampaikan kekhawatiran terhadap munculnya gejala  otoritarianisme rezim Jokowi. “Gerakan protes nasional belum, tapi isu ini bakal panjang melampaui isu elektoral,” ujar akademikus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu.

Gerakan melawan aktivis yang merapat ke Prabowo juga muncul dari Usman Hamid, aktivis 1998 yang kini menjadi Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. Bersama tokoh lain, ia mendeklarasikan Maklumat Juanda 2023. Maklumat ini diproklamasikan pada 16 Oktober 2023 dan menegaskan bahwa gerakan Reformasi kembali ke titik nol karena praktik politik dinasti.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di kantor Amnesty International Indonesia, Jakarta, 19 Desember 2023. Tempo/M Taufan Rengganis

Usman pun menyorot tajam mantan aktivis yang bergabung dengan Prabowo yang ia sebut aktivis antidemokrasi. Ia menganggap teman-temannya sesama mantan aktivis lupa ingatan karena banyaknya aktivis yang diculik dan hilang pada masa Orde Baru. “Mereka telah menggadaikan kemewahan idealisme yang seharusnya dimiliki aktivis,” katanya.

Ditemui pada 27 Desember 2023, Budiman Sudjatmiko merasa yakin dukungannya kepada Prabowo adalah pilihan tepat bagi Indonesia. Ia membantah tudingan mendukung Prabowo untuk mencari uang. Ia beralasan seorang tentara, intelijen, dan aktivis memiliki cara pandang strategis dan visioner untuk membawa Indonesia ke era industrialisasi.

Kriteria itu, menurut dia, dimiliki Prabowo. “Tiga tahun yang lalu saya masih ragu, tapi saya memegang pendapat Ibu Megawati bahwa Indonesia butuh kepemimpinan strategis dan visioner,” ucap Budiman. Lima hari setelah menyatakan dukungannya kepada Prabowo, Budiman dipecat PDIP.

Budiman mengklaim kerap berdiskusi dengan sesama mantan aktivis, seperti mendiang aktivis Rahardjo Waluyo Jati. Tujuan utama aktivis pada 1998, dia menambahkan, adalah melepaskan Indonesia dari jurang kemiskinan. “Tapi, ketika agenda bangsa ini mau bicara kontestasi lima tahunan, kok hanya cerita masa lalu yang dijadikan bahan.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Aktivis Lupa Kacang dengan Kulit"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus