Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUTAN Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada 1948 dengan semangat kesetiaannya pada ideologi sosialisme kerakyatan sekaligus melawan “kesepian”-nya setelah dikeluarkan dari lingkar kekuasaan pada 1947. Jalur ideologi bagi Sjahrir adalah nubuat penolakannya yang hakiki pada komunisme dan fasisme. Ideologi sosialisme kerakyatan menyangkut kemauan untuk menjunjung nilai kemanusiaan dan keadilan sosial serta berasaskan prinsip kedaulatan rakyat.
Sjahrir menuliskan, sosialisme hendaknya merupakan suatu tingkatan dalam perkembangan masyarakat yang mewujudkan keamanan pribadi yang sebesar-besarnya, keadilan sosial, dan kesempatan yang sama buat setiap orang untuk hidup dan berkembang. Mudah membaca bahwa Sjahrir bersetia pada ideologi, bukan pada sosok. Pilihan yang membuat hubungannya dengan Sukarno tak mesra sejak ia diangkat menjadi kepala pemerintahan, perdana menteri, pada usia muda, yakni 36 tahun, ketika usia Republik masih seumur jagung. Umur di bawah 40 tahun, tanpa pengalaman pernah menjadi elected official, yang telah diterjemahkan Mahkamah Konstitusi sebagai syarat konstitusional pemimpin negara.
Sejarah mencatat, Partai Sosialis Indonesia tak mendapatkan dukungan memadai pada Pemilihan Umum 1955 dengan perolehan suara hanya sekitar 2 persen. PSI Sjahrir akhirnya dibubarkan pada 21 Juli 1960 bersama Masyumi karena dianggap melawan pemerintah. Ia kemudian meninggal di Swiss, dalam masa pengobatan yang terlambat. Sjahrir memiliki keyakinan bahwa “hidup yang tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan”. Pemerintah kemudian menyematkan status pahlawan nasional tak lama setelah tahanan politik itu berpulang.
Sjahrir menjadi penting untuk menganalisis Partai Solidaritas Indonesia. Bukan karena kesamaan nama belaka, tapi juga karena PSI beberapa kali menyebut namanya ketika mencoba meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden atau wakil presiden melalui uji materi di MK. Coba-coba ini bisa dipahami karena PSI menyinggung nama Gibran walau sekilas. Gelagat ini makin terbaca penuh karena PSI telah berikrar sebagai partai yang sepenuhnya “ndherek Pak Jokowi”. Juga keluarganya.
Kita semua tahu bahwa dalam skandal “Mahkamah Keluarga” tersebut, PSI keukeuh membela dinasti politik Presiden Joko Widodo. Termasuk membela Prabowo Subianto, yang menjadi pasangan Gibran. Meski duet itu mengawinkan Orde Baru dengan “anak haram konstitusi”, PSI tetap “malu tak gentar”. Padahal politik dinasti dan Orde Baru adalah dua hal yang paling dicerca PSI pada awal kehadirannya.
PSI semula mencitrakan diri dengan semangat anak muda dan bercita-cita menjadi partai yang tak tersandera pada kepentingan politik lama, partai yang melenyapkan beban sejarah, partai antikorupsi, dan partai yang menentang intoleransi. Tak banyak, mungkin juga tiada, partai politik mau melibatkan proses seleksi terbuka dengan mengundang para ahli untuk terlibat sebagai pewawancara dalam proses seleksi calon anggota parlemen. Saya pun terlibat bersama begitu banyak ahli yang memiliki harapan yang sama pada partai baru ini.
Seiring dengan waktu, inkonsistensi pada ideologi dan pengkultusan sosok Jokowi membuat partai ini tak lagi memiliki cita-cita yang sama dengan yang dibicarakan dan dicitrakan. “Ikut Jokowi” menjadi parameter utama. PSI seperti gerbong yang mengikuti arah rel dan lokomotif sesuai dengan selera Jokowi. Begitu pula sikap PSI terhadap Prabowo. Sementara pada Pemilu 2019 PSI habis-habisan menghajar Prabowo yang berlawanan dengan Jokowi, semua itu kini menguap. PSI menelan kembali segala pukulan itu dalam Pemilu 2024 karena Jokowi mendukung Prabowo.
Sikap PSI yang membebek pada Jokowi juga terlihat ketika partai itu mendukung revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Cipta Kerja. Meski merupakan partai nonparlemen pusat, PSI bekerja giat dalam kedua aturan itu melalui barisan resmi fungsionaris partai ataupun nonresmi (buzzer). PSI gencar menampar KPK dengan alasan ada “Taliban” di komisi antirasuah. Alasan yang membenarkan keinginan Jokowi untuk menjinakkan KPK. Memburuknya kondisi KPK saat ini tak pernah sedikit pun disesali oleh PSI. Begitu pun terhadap Undang-Undang Cipta Kerja dengan segala akrobat hukum dan gejala autocratic legalism. PSI tetap istikamah mengikuti keinginan Jokowi.
Memang, PSI sejak awal pendiriannya mencitrakan diri dekat dengan Jokowi. Itu sebabnya, pada Pemilu 2019, mereka berebut perhatian dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang boleh jadi hingga saat ini merasa lebih memiliki andil pada karier politik Jokowi. PDI Perjuangan terlihat berulang kali tidak menganggap PSI atau menilainya sebagai musuh dalam selimut. Niat PSI mendapat coattail effect dengan mendukung Jokowi pupus. PDI Perjuangan yang menikmatinya. Maka PSI boleh jadi bersorak-sorai dengan penuh gempita ketika PDI Perjuangan berpisah jalan dengan Jokowi dalam Pemilu 2024.
Dalam konteks PSI, pola partai kader dan partai massa pun menjadi cair dan luntur. Kader yang awalnya dijaga dengan kualifikasi tinggi kini berubah menjadi “sepanjang pengikut setia Jokowi dan keluarganya”. Massa yang hendak direbut PSI bukan lagi massa berbasis ideologi yang dalam bahasa Tan Malaka adalah massa yang berdaya oleh fasilitasi partai dan bukan sekadar massa obyek partai. Massa bagi PSI tak lebih sebagai simpatisan Jokowi.
Berdosakah PSI dengan itu semua? Saya kira mustahil juga dibahasakan demikian. Gejala ini bukan khas PSI. Giovanni Sartori (1959) merumuskan kriteria partai berbasis pada jumlah kutub yang ada, jarak antarkutub politik, dan arah dorongan interaksi politik. Ia membagi tiga model partai, yaitu pluralisme sederhana (simple pluralism), pluralisme moderat (moderate pluralism), dan pluralisme ekstrem (extreme pluralism). Berbasis pandangan Sartori, Indonesia pada sejarah kepartaiannya memiliki pembelahan yang cukup ekstrem karena bentangan ideologi yang cukup luas. Tapi pada praktiknya saat ini tidak demikian. Partai-partai relatif sama-sama jualan di ranah nasionalis religius, membuat nyaris tak ada lagi dagangan ideologi yang memadai, dan akhirnya memang jualan sosok semata. Partai-partai menjadi pragmatis. Semua seperti itu.
Gejala kartelisasi politik juga bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa PSI menjadi seperti sekarang. Kuskridho Ambardi (2009) menjelaskan gejala partai-partai di Indonesia yang berubah menjadi kartel politik dari lima ciri utama: (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai penentu perilaku koalisi partai, (2) sikap permisif terhadap pembentukan koalisi, (3) tidak adanya oposisi, (4) hasil-hasil pemilu hampir tidak memiliki pengaruh dalam menentukan perilaku partai politik, (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai suatu kelompok. Kelima ciri ini menjauhkan sifat kepartaian yang dipercayai dalam sistem demokrasi liberal bersifat kompetitif.
Mungkin benar, politik adalah persoalan profan yang mustahil dipaksakan untuk dianalisis secara sakral. Politik, jika mengutip Romo Harry Priyono, SJ, (2022), “seharusnya merupakan persetujuan horizontal untuk hidup bersama” dan bukan “hubungan vertikal untuk tunduk dan taat”. PSI mengambil posisi dan porsi untuk menjadi pragmatis dan melanjutkan tradisi kartelisasi yang terjadi pada partai politik kita.
Yang diterapkan oleh PSI hanyalah hitungan elektoral, bukan etikal. Mendompleng Jokowi dan keluarganya, termasuk memaksakan Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum PSI, adalah pilihan elektoral yang tak sepenuhnya bisa dihakimi secara etis. Saya kira PSI memang tengah memasuki usia menentukan. Gagal menembus parliamentary threshold bisa berakibat fatal. Meminjam “efek Jokowi” sebesar-besarnya adalah pertaruhan terakhir bagi PSI.
Jangan-jangan, itulah makna penyair Jerman yang sering dikutip oleh Sjahrir, “hidup yang tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan”. PSI sedang melakukan pertaruhan dengan cara yang sangat berbeda dengan PSI ala Sjahrir. Semua taruhan sudah diletakkan PSI di meja judi. Termasuk mengikuti pertaruhan Jokowi yang berpihak kepada Prabowo-Gibran, dengan tetap menyisakan peluang kalah dalam pemilihan presiden 2024. Biarkan para penggawa PSI dan Jokowi yang berhitung dan melanjutkan pertaruhan. Setidaknya ia sudah kehilangan satu suara dalam pertaruhan itu, yakni saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "PSI dan Kartel Politik"