Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sejarah Indonesia, dua kali presiden dijatuhkan melalui demonstrasi rakyat. Yang pertama pada 1966, kedua pada 1998. Keduanya presiden hebat. Sukarno proklamator kemerdekaan dan yang kedua adalah Soeharto yang dipatenkan sebagai Bapak Pembangunan. Dua-duanya jatuh karena memimpin secara otoriter. Sukarno mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, Soeharto merekayasa sistem kekuasaan yang setiap lima tahun memenangkan dirinya sebagai presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua peristiwa sejarah itu mengingatkan betapa berbahayanya memuja-muja seorang presiden. Presiden bukan sejenis penyanyi idola, apalagi jimat yang mesti disayang-sayang. Toh, bahkan di era kini mayoritas orang Indonesia, bukan saja kalangan awam, kaum terdidik yang semestinya kritis terus memandang presiden dalam kultus. Mereka menyukai dan memuja presiden sebagai “bapak” yang dekat di hati, yang kita cintai. Dengan kata lain, rezim berubah dan politik menjadi lebih demokratis, tapi cara orang memahami pemimpin tetap. Jangan-jangan cara kita memanjakan pemimpin ikut menyumbang lahirnya pemimpin-pemimpin otoriter.
Pemikir konservatif Prancis, Josep de Maistre, melemparkan sinisme dalam kalimatnya yang terkenal: “Toute nation a le gouvernement qu’elle mérite”, setiap bangsa mendapat pemerintahan yang sesuai dengannya. Sewaktu kalimat ini ia ucapkan, De Maistre sedang mengejek para pendukung Revolusi Prancis yang terbelah karena munculnya pemerintahan teror dari dalam mereka sendiri (reign of terror) yang berkuasa sekitar sebelas bulan (1793-1794). Singkatnya, kepada para korban “pemerintahan teror” dia ingin mengatakan, salahmu sendiri kenapa mendukung revolusi.
Dalam perkembangannya, ucapan De Maistre itu berubah menjadi “in democracy, every citizen has the government/leader they deserve”. Di sini sinisme berubah menjadi permintaan tanggung jawab politik. Ada hubungan timbal balik antara karakter pemimpin dan sifat pendukungnya. Pendukung ikut bertanggung jawab atas watak suatu pemerintahan yang mereka dukung. Tidak ada seorang autokrat yang salah sendirian.
Pemilihan presiden 2024 diantarkan oleh beberapa kejutan. Presiden Joko Widodo yang masih punya pengaruh besar ternyata mendukung Prabowo Subianto ketimbang calon presiden dari partainya sendiri. Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil pendamping Prabowo secara kontroversial. Bagi sebagian fan Jokowi, langkah politik presiden ini mengejutkan sekaligus mengecewakan. Mereka kecewa pertama-tama karena Jokowi melangkah bersama rivalnya dalam dua kali pemilihan umum. Mereka makin kecewa karena memandang motif Jokowi sama sekali tidak mulia, yakni menurunkan kekuasaan kepada anggota keluarganya sendiri.
Sejak 2014, para pengikutnya melambungkan Jokowi sebagai politikus “autentik” yang datang dari bawah, “orang baik” dari luar kalangan elite politik Jakarta yang sudah cela. Pada 2023, dukungan Jokowi kepada Prabowo mengakibatkan guncangan moral di kalangan sebagian pendukungnya. Bagi mereka, langkah politik Jokowi ini adalah pengkhianatan. Meskipun demikian, bagi sebagian pendukung yang lain, kekuasaan Jokowi terlalu mahal untuk disia-siakan. Bukannya disesali, mereka memproklamasikan lahirnya “Jokowisme”. Sekalipun terbelah, mereka yang memuja ataupun yang kecewa kepada Jokowi memiliki satu kesamaan: memandang presiden sebagai kultus. Kecewa dan puja-puji adalah dua sisi gejala kultus.
Keadaan ini menandaskan ironi dan kontradiksi dalam kebudayaan demokrasi di Indonesia. Orang Indonesia umumnya sinis terhadap politikus. Dalam tiap survei, tingkat kepercayaan masyarakat kepada politikus selalu lebih rendah dibanding kepercayaan kepada profesi lain. Orang Indonesia juga selalu punya kecurigaan bahwa politikus cenderung korup. Mereka hafal serta suka mengulang-ulang adagium power tends to corrupts and absolute power corrupt absolutely.
Anehnya, mereka selalu antusias jika bicara soal calon presiden. Saat mesti memilih—apalagi ketika nanti menang—mereka setengah mati memuja pilihan mereka. Mereka lupa semua calon presiden idola lahir dari tangan sekelompok politikus. Seorang presiden berasal—pada akhirnya bertindak semata-mata sebagai—politikus juga. Mereka benci politikus dan meragukan moralitasnya, tapi di saat yang sama mereka percaya politikus yang mereka pilih adalah orang-orang suci yang bisa menyelamatkan jiwa-jiwa mereka serta mendatangkan damai, kemakmuran, dan keadilan. Kultus presidensial membuat orang lupa bahwa orang yang dipilih selalu seorang politikus, yang ada di sana karena dukungan berbagai kelompok politik dan kepentingan.
Politik sektarian, sejak pemilihan presiden 2014, pemilihan kepala daerah 2017, dan pemilihan presiden 2019, menjadi sebab-musabab polarisasi politik yang kencang dan bikin muak. Tapi jangan-jangan polarisasi dan sektarianisme yang berkepanjangan juga disebabkan oleh toxic partisanship akibat kultus presidensial yang terus-menerus. Melihat kecenderungan sekarang, jangan-jangan kita memang sudah tiba di dalam keadaan ketika, “The modern presidency is divider, not a uniter. It has to be too powerful to be anything else.”
Ada beberapa faktor yang bisa kita tunjuk sebagai musabab menguatnya kultus presidensial di era kini. Pertama, faktor struktural, yakni absennya partai berbasis ideologi dan kepentingan kelas. Di masa Orde Baru, dalam rangka de-ideologisasi politik, jumlah partai politik dipangkas menjadi tiga saja, yakni Golongan Karya atau Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia. Kini partai hanya terdiri dua jenis, yakni partai akar (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golkar, PPP, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa) serta partai tokoh (Demokrat, Gerindra, dan NasDem). Sejarah kepartaian ketika partai memperjuangkan gagasan berdasarkan sebuah garis ideologi politik dan kepentingan kelas tidak bisa tumbuh lagi. Partai-partai politik kini praktis bekerja sebagai mesin pengejaran kekuasaan di bawah bayang-bayang patronase dan oligarki (Ulla Fiona dan Dirk Tomsa, ISEAS Paper, 2017).
Faktor kedua menyangkut budaya, yakni kuatnya feodalisme yang memandang Istana sebagai pusat kehidupan semua anggota masyarakat dan dengan begitu presiden diposisikan sebagai sejenis pribadi agung “utusan langit” yang ada di posisi itu karena “garis tangan”. Ketiga, warisan otoritarianisme dan menguatnya populisme yang melanjutkan pandangan bahwa presiden sejenis raja yang tidak boleh dikritik atau direndahkan nama baiknya. Dengan itu, ia hanya boleh hidup dengan puja-puji dan menikmati kekebalan.
Faktor keempat, moralisasi presiden melalui rekayasa dilema lesser evil yang menganjurkan bahwa kita bukan memilih orang suci, melainkan orang yang lebih sedikit buruknya. Mekanisme lesser evil selalu dimulai dengan mental minimalis. Anehnya, di saat akhir ia dilanjutkan dengan idealisasi orang baik, yakni presiden pilihan sebagai sosok moral terbaik dan dilepaskan dari realitas politik.
Yang terakhir adalah faktor institusional, yakni aturan ambang batas pencalonan presiden 20 persen suara partai yang membuat rekrutmen presiden dimonopoli partai-partai besar. Ambang batas pencalonan presiden adalah jeratan primordial yang berfungsi ganda: ia mentransformasi presiden sebagai figur yang tak tersentuh, sekaligus bentuk campur tangan sekelompok elite partai. Inilah pabrik politik kikir yang memproduksi dilema politik lesser evil setiap lima tahun.
Dilema lesser evil terjadi karena sejak awal opsi orang untuk memilih pemimpin dibatasi secara brutal. Akibatnya, dalam setiap pemilihan presiden, muncul keadaan “defisit presiden” di Indonesia yang memaksa partai-partai, terutama partai menengah dan kecil, kelojotan mencari sandaran. Akibat lain, calon presiden yang muncul menjadi idola yang harus dipegang dan diperjuangkan mati-matian. Di sini setiap dilema adalah produk politik.
Kultus presidensial merusak watak dan kebudayaan demokrasi kewargaan kita. Saya tidak dapat memastikan apakah dalam Pemilihan Umum 2024 ini kita bisa keluar dari kultus presidensial dan memilih pemimpin dengan lebih santai. Yang pasti, kalau kita mau keluar dari budaya autokrasi lama dan kultus presidensial, jika kita mau bebas dari rekayasa dilema moral tiap lima tahun, kita bisa mulai menghapus aturan ambang batas calon presiden. Hanya dengan itu kita bisa mencari presiden yang benar-benar orang biasa sekaligus keluar dari ilusi-ilusi kita sendiri mengenai orang hebat yang gambarnya dipoles algoritma dan sablon.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kultus Presidensial"