Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MINUS Laode Muhammad Syarif yang sedang bertugas ke Australia, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengadakan gelar perkara korupsi reklamasi Teluk Jakarta pada Kamis siang pekan lalu. Di ruang rapat pimpinan di lantai tiga gedung KPK, empat komisioner meminta penyidik dan jaksa penuntut umum kasus reklamasi menjelaskan perkembangan hasil penelusuran dugaan keterlibatan Sugianto Kusuma alias Aguan.
Gelar perkara ini diadakan untuk memutuskan nasib pencekalan pemilik Agung Sedayu Group itu, yang berakhir pada Jumat pekan lalu. Pimpinan Komisi mesti memutuskan apakah memperpanjang pencekalannya atau tidak. "Kami harus mendengar dulu pertimbangan penyidik dan penuntut umum kasus tersebut," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Kamis pekan lalu.
Atas permintaan komisi antikorupsi, Direktorat Jenderal Imigrasi mencekal Aguan agar tidak bepergian ke luar negeri selama enam bulan sejak 1 April lalu. Status ini diberikan hanya berselang sehari setelah penyidik KPK menangkap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra, Mohamad Sanusi, pada akhir Maret lalu. Ketika itu, tim juga menangkap Trinanda Prihantoro, asisten Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja. Ariesman sudah divonis tiga tahun penjara karena terbukti menyuap Sanusi.
Sepekan setelah penangkapan Sanusi, 6 April lalu, KPK meminta Imigrasi mencekal Richard Halim Kusuma, anak Aguan, dan anggota staf Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Sunny Tanuwidjaja. Pencekalan berlaku enam bulan. Nasib pencekalan Sunny dan Richard tidak dibahas dalam gelar perkara pada Kamis pekan lalu itu.
Dalam gelar perkara sekitar dua jam itu, pimpinan KPK memutuskan tidak memperpanjang cekal Aguan. Pimpinan sepakat saksi tidak perlu dicekal. Aguan selama ini dianggap kooperatif. Pimpinan Komisi juga menilai temuan penyidik dan fakta persidangan belum bisa menjadi bukti kuat untuk menjerat Aguan. "Tidak ada alasan mempertahankan cekalnya," ujar Alexander.
Menurut seorang peserta gelar perkara, saat pemaparan, satuan tugas perkara reklamasi menjelaskan keterlibatan Aguan dalam kasus tersebut. Ia ditengarai memberi suap ke pimpinan dan anggota DPRD DKI Jakarta. Kasus ini sudah sampai ke tahap penyelidikan.
Jejak suap itu terungkap setelah sejumlah pemimpin DPRD DKI Jakarta bertemu dengan Aguan di rumahnya di Taman Golf Timur II/11-12, Pantai Indah Kapuk, Jakarta, pertengahan Desember tahun lalu. Mereka membahas percepatan rancangan peraturan daerah tentang reklamasi. Mereka yang hadir antara lain Prasetyo Edi Marsudi (Ketua DPRD), Mohamad Taufik (Ketua Badan Legislasi Daerah), dan Muhammad Sangaji (Ketua Fraksi Hanura di DPRD). Pimpinan Dewan itu sudah diperiksa dan membenarkan adanya pertemuan tersebut. Tapi mereka membantah kabar bahwa pertemuan itu membahas rancangan perda reklamasi. "Silaturahmi aja," ujar Muhammad Sangaji.
Jejak sang taipan juga terungkap dari kesaksian Direktur Utama PT Kapuk Naga Indah Budi Nurwono, anak buah Aguan. Saat diperiksa penyidik KPK, Budi menyebutkan pertemuan pada Desember itu menyepakati pemberian duit Rp 50 miliar dari Aguan kepada pimpinan dan anggota DPRD untuk memuluskan pembahasan rancangan perda reklamasi. Belakangan, pertengahan Juli lalu, Budi mengirim surat membatalkan keterangannya itu ke KPK. "Keterangan BAP itu tidak benar," kata Budi dalam suratnya seperti dibacakan jaksa KPK, Ali Fikri, dalam persidangan Ariesman, awal Agustus lalu. Jaksa tidak menggubris permohonan Budi. Pengacara Aguan, Kresna Wasedanto, membantah keterangan Budi. "Tidak ada pembahasan soal uang," ujarnya.
Sebulan setelah pertemuan di rumah Aguan itu, menurut seorang pejabat KPK, lembaganya mendeteksi empat kali penyerahan uang dari Aguan—sebagian diduga lewat anaknya, Richard Halim—kepada Prasetyo di kantor Agung Sedayu. Kata sandi penyerahan duit itu adalah "mobil" dan "onderdil". Informasi inilah yang melatarbelakangi terbitnya cekal Aguan. Sampai gelar perkara Kamis pekan lalu, penyidik belum mendapatkan bukti telak temuan tersebut. Prasetyo membantah tudingan itu. "Enggak benar," katanya. Pengacara Aguan dan Richard, Kresna Wasedanto, juga membantah soal ini. "Tidak benar itu," ujarnya.
Ketua KPK Agus Rahardjo membenarkan kabar bahwa kasus suap reklamasi belum banyak berkembang. Tapi ia memastikan pengusutan dugaan keterlibatan para pihak yang dicekal tersebut tetap berjalan. "Saya ingin kasus ini tidak hanya selesai di Sanusi dan Ariesman," kata Agus. "Masih ada bukti yang terputus."
Cekal Aguan sempat diputuskan dicabut pada gelar perkara akhir Agustus lalu. Gelar perkara ini merespons permintaan pencabutan cekal Aguan. Setelah mendengar pemaparan tim bahwa bukti dugaan keterlibatan Aguan belum kuat, pimpinan sepakat mencabut cekalnya.
Sepekan berselang, pimpinan membatalkan pencabutan cekal Aguan karena informasi itu bocor dan membuat gaduh media. Menurut seorang penegak hukum, pembatalan terjadi karena pimpinan semakin gerah setelah mengetahui ada media yang memberitakan KPK sudah mencabut cekal Aguan lantaran diduga ada intervensi seorang menteri. Kepada pimpinan KPK, sang menteri meminta Aguan tak disentuh karena bisa menghambat program pengampunan pajak (tax amnesty) yang sedang digelar pemerintah.
Agus tidak membenarkan atau menyangkal informasi tersebut. Dia hanya memberikan sejumlah penjelasan, tapi tidak untuk dikutip. Kepada Istman M.P. dari Tempo, Menteri Sekretaris Negara Pratikno membantah adanya intervensi ke KPK: "Saya enggak tahu info itu dari mana."
Saat membahas permintaan pencabutan cekal oleh Aguan, menurut penegak hukum itu, pimpinan KPK sempat terbelah. Alexander Marwata dan Saut Situmorang meminta status cekal Aguan dicabut karena dia tidak berstatus saksi kunci dan selama ini kooperatif. Sedangkan Agus, Laode, dan Basaria Panjaitan meminta status cekal itu tak dicabut supaya tidak menimbulkan kegaduhan. Alexander tidak menyangkal soal ini. "Perbedaan itu biasa. Intinya kami kompak," ujarnya.
Selain soal dugaan suap Aguan ke Dewan, KPK sedang menelusuri ada atau tidaknya korupsi dalam kebijakan 15 persen kontribusi tambahan yang sudah diterapkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Kontribusi tambahan ini baru akan diatur di perda tata ruang reklamasi, yang akhirnya ditunda disahkan karena kasus suap reklamasi. Dari temuan KPK, ada 13 proyek PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha Podomoro pengelola reklamasi Pulau G, senilai Rp 392,6 miliar yang dimasukkan ke item pekerjaan kontribusi tambahan. Proyek ini diserahkan ke DKI Jakarta.
Senin pekan lalu, saat menjadi saksi di sidang Sanusi, Ariesman mengatakan dua anak usaha Podomoro yang mengelola proyek reklamasi, yakni PT Muara Wisesa dan PT Jaladri Kartika Paksi, sudah menyetorkan Rp 1,6 triliun sebagai bagian kontribusi tambahan. Tapi Ariesman mengaku lupa rinciannya. "Itu dibayar di awal," ujarnya. Gubernur Basuki mengatakan proyek kontribusi memang banyak digarap Podomoro, yakni pembangunan rumah susun dan pengadaan pompa. Menurut Basuki, kebijakan itu adalah diskresi gubernur. "Sudah dia kerjakan Rp 1,6 triliun, tapi belum diserahkan seluruhnya," ujarnya.
Agus Rahardjo mengatakan lembaganya tengah menelusuri kebijakan kontribusi tambahan yang diklaim sebagai diskresi itu. Menurut dia, kontribusi tambahan ini termasuk dana di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau off budget yang dilarang karena tidak jelas pertanggungjawabannya. Kasus ini belum diteruskan ke tahap penyelidikan karena KPK masih mengumpulkan bukti pendukung yang kuat. "Jadi jangan bilang dulu kalau diskresi tidak bisa dipidanakan," ujarnya. Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo