Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jampi-jampi dokter "plus"

Praktek dokter "plus" ternyata sudah banyak dilakukan. mereka merasa memberikan pengobatan alternatif bagi kesembuhan pasiennya. mereka bisa terancam pencabutan izin praktek.

18 Juli 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH dokter bisa mendiagnosa pasien tanpa kehadirannya? Bisa. Jawaban itu tampaknya aneh. Namun, bagi dokter yang pernah berguru di Pater Loogman orang "pintar" di daerah Purworejo, Jawa Tengah cara diagnosa ini bukan hal yang tidak mungkin. Seperti yang dilakukan Dokter A.S. Wirian, dokter umum lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta. Ia mengaku mampu mendekteksi penyakit cukup dengan melihat foto si penderita. Dokter berusia 43 tahun itu mengaku mempraktekkan teknik radiesthesia, kemampuan merasakan gelombang radiasi yang dipancarkan tubuh para pasien. Orang awam biasa mengenalnya sebagai kekuatan paranormal. Dengan kekuatan plusnya itu, dokter yang sudah berpraktek selama sepuluh tahun lebih ini biasanya mendeteksi penyakit pasien dengan pulpen yang diputar-putar hampir menyentuh permukaan kertas notes. Dengan cara ini dia menemukan penyakit pasien. Ia kemudian memberi resep, dan biasanya ditambah ramuan tradisional. "Saya kira ini tidak bertentangan dengan kode etik kedokteran," katanya kepada Sri Wahyuni dari TEMPO. Kemampuan merasakan pancaran gelombang tubuh pasien itu, kata Wirian, dia dapatkan setelah tiga bulan berguru pada Pater Loogman. Dari tempat penggemblengan itu dia belajar meracik obat tradisional. Hasilnya, ruang prakteknya sebagai dokter umum, di kawasan Kelapa Gading, Jakarta, hingga pukul 11 malam, tidak pernah sepi pengunjung. Bukti kemampuan Wirian sudah dirasakan Ny. Fadly. Pasien yang pernah menjalani operasi kandung kemih dan tubuh sebelah kanannya lumpuh. Setelah setahun berobat rutin, kini ia mengaku mulai normal. "Pemeriksaan di sini tidak membuat saya takut," katanya. Praktek seperti yang dilakukan Wirian itu kini dimiliki sekitar 40 orang dokter yang pernah belajar di padepokan Pater Loogman. Pengobatan alternatif juga dilakukan Dokter Ahmad H. Asdie. Dokter ahli penyakit dalam, yang juga haji, ini selain memberikan terapi biasa, juga menyampaikan terapi religius atau olah batin. Pada awalnya ia melakukan pemeriksaan sebagaimana dokter umumnya. Penderita diminta tidur, diperiksa tekanan darahnya, denyut jantung, dan ditanya keluhannya. Nah, saat dia menulis resep, si pasien diajak komunikasi. Biasanya bagi pasien sesama muslim, dia akan mengajaknya untuk melakukan wiridan dan banyak memberikan sedekah. Caranya pasien ditawari ikut pengajian. Dokter yang juga dosen Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, ini yakin metodanya tidak bertentangan secara ilmiah. Hal ini untuk membantah tuduhan bahwa dia mempratekkan ilmu kebatinan. "Memang sering timbul kecurigaan pada pendekatan yang saya lakukan. Saya bersedia menjelaskan bagi mereka yang ingin tahu ilmu yang saya gunakan," katanya kepada wartawan TEMPO, Faried Cahyono. Asdie memberi contoh penderita stres. "Stres biasanya membuat orang menjadi rentan terhadap penyakit. Sebab, mengganggu sel limfosit yang dalam kondisi normal melakukan upaya penyembuhan sehingga orang bisa sakit, kena tumor ganas, misalnya, gara-garanya ya stres itu," katanya. Maka, selain lewat obat, makanan, dan olahraga, untuk penyembuhan stres perlu olah batin. Penggunaan obat, katanya akan menyembuhkan sementara. Kalau obatnya habis, sakitnya bisa muncul lagi. Dengan resep olah batin semacam itu, Asdie menampung pasien dengan berbagai penyakit, tidak hanya penyakit dalam. Nyatanya, tiap hari pasien berjubel di tempat prakteknya di Jalan Gayam, Yogyakarta. Banyak pengalaman Asdie yang kadang dia sendiri bingung menalarnya. Pernah ada penderita penyakit jantung datang, dan malah dia marahi. Kemudian dia suruh menyebut asma Allah dalam hati, plus penuh rasa takut dan rendah diri selama lima hari. Hasilnya, katanya, pasien tersebut sembuh total. Padahal, kalau secara medis harus dirawat. Para dokter umumnya menentang praktek pengobatan tradisional dalam bentuk apa pun. Praktek dokter plus, biasanya disebut "terkun" dengan nada melecehkan. Namun, sejauh ini tak ada kejelasan, seberapa jauh praktek ini menyalahi ketentuan-ketentuan ilmu kedokteran. Soalnya, harus diakui ada dokter yang terpaksa menggunakan "bahasa dukun" sekadar untuk bisa berkomunikasi dengan pasien. Dokter plus yang dianggap sudah terbukti menyalahi ketentuan ilmu kedokteran adalah Dokter Gunawan Simon. Dialah dokter yang pernah bikin heboh karena cara pengobatannya yang dianggap inkonvensional. Ia, antara lain berikhtiar menyembuhkan penyakit kanker bekas Wapres, Adam Malik, dengan pengobatan yang, katanya, baru. Ternyata gagal. Gara-gara pengobatannya, dokter yang memelihara kumis dan jenggot lebat itu dipecat dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Izin prakteknya dicabut Kanwil Depkes Jawa Barat. Namun, semua hukuman formal yang dijatuhkan pada dokter lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung, itu tampaknya tidak membuat surut jumlah pasiennya. Seminggu sekitar 10 orang dengan berbagai penyakit berdatangan ke tempat prakteknya di Jalan Bima, Bandung. Tempat prakteknya relatif sederhana. Tidak ada papan nama. Ruangan berukuran 2 x 3 meter itu hanya berisi tempat tidur untuk pasien, timbangan, obat-obatan, tabung-tabung kecil dan Alkitab dengan dinding tertempel foto Yesus. Dokter Simon, begitu panggilan akrab lelaki berusia 49 tahun itu, ragu terhadap ilmu yang diterimanya di bangku kuliah. Apalagi, katanya, setelah melihat cara kerja dokter yang hanya memberikan obat itu-itu saja kepada pasien. Dan, pukul rata. Padahal, katanya, dua orang penderita penyakit yang sama belum tentu obatnya harus sama. Untuk itulah dia kemudian meracik sendiri obat-obat untuk pasiennya. Simon menyebutkan metode terapinya superkonvensional. Dia mengaku telah menemukan khasiat baru dari obat lama setelah diramu. "Jadi saya tidak memakai ilmu kebatinan. Yang saya kembangkan adalah seni kedokteran," katanya kepada Ahmad Taufik dari TEMPO. Entah berapa jumlah dokter yang mempunyai metoda nyleneh itu. Data resmi memang tidak pernah ada. Yang jelas, kehadirannya paling tidak membuat para pasiennya merasa bak mendapat dewa penolong. Dan kalau ditilik, sebagian besar adalah penderita penyakit yang sudah parah. Artinya, mereka sebelumnya sudah ditangani beberapa dokter ahli. "Pendekatan medis dan nonmedis itu, menurut saya, tak masalah. Toh, semuanya dalam rangka penyembuhan," kata Asdie memberi alasan. Praktek terkun, menurut Prof. Dr. Soejono Prawirohardjo, tidak mampu diuji secara ilmiah. Kesembuhan yang diklaim terkun, menurut dokter ini, yang pernah digugat Dokter Gunawan Simon gara-gara kecamannya, 80% bohong. "Kesembuhan itu pun biasanya bukan kesembuahn klinis, melainkan kesembuhan psikologis, kesembuhan sosial, dan kesembuhan simbolis atau kesembuhan semu," kata ahli penyakit jiwa itu kepada R. Fadjri dari TEMPO. Perjalanan penyakit secara alamiah memang mengalami naik turun. Suatu saat kelihatan sudah sembuh, tapi tiba-tiba bisa kambuh lagi. Nah, mungkin saja ketika pengobatan lewat dokter plus dilakukan, penyakitnya sedang menurun. Ilmu kedokteran dan ilmu perdukunan, kata Dirjen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan, Dokter Brotowasisto, tidak bisa dikompromikan. "Mereka harus memilih, profesi dokternya atau dukunnya. Tidak boleh dicampur-campur. Jika terbukti ada dokter yang melakukan praktek perdukunan, izin prakteknya bisa dicabut," katanya. Gatot Triyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus