DOMINIQUE Roubert, pemuda Prancis berusia 24 tahun, mempunyai pekerjaan baru. Staf pada Lembaga Indonesia Prancis (LIP), Yogyakarta, yang sehari-hari mengajar bahasa Prancis itu kini berprofesi pemandu. Khususnya buat saudara setanah airnya yang berdatangan ke Yogyakarta. Namun, Roubert bukan pemandu wisata. Ia penunjuk jalan bagi orang-orang asing yang memburu para dukun di Yogyakarta dan sekitarnya. Seperti pada masyarakat kita, informasi tentang dukun dan juga kantor Dominique di daerah Sagan, dekat kampus Universitas Gadjah Mada, tersebar dari mulut ke mulut. Tujuan pemburu "dukun Jawa", yang datang berduyun-duyun dari mancanegara itu, terutama mencari penyembuhan berbagai penyakit berat. Inilah kenyataan yang menggejala diamdiam di Yogyakarta. Di antara pasien dukun, yang rata-rata orang desa, berderet pasien dengan berbagai kebangsaan. Dengan patuh, seperti pasien lainnya, mereka menuruti apa pun yang diperintahkan para dukun. Bahkan yang tak masuk akal. Pamor para dukun seperti hidup kembali, setelah lama dilecehkan. Para pasien dari negara maju, yang terbiasa mendapat pelayanan kesehatan lebih dari memadai, tiba-tiba menelusuri kampung untuk mendapat pengobatan dengan perlengkapan karena aneh terkesan seadanya. Padahal, ilmu kedokteran sebenarnya telah berkembang sangat pesat. Namun, di sisi lain, penelitian ilmiah di bidang ini melaju pula. Di sini terungkap bahwa masih banyak aspek biologis manusia yang misterius. Penelitian mengenai penyakit juga menunjukkan bahwa seluk-beluk jasad renik penimbul penyakit seperti pada AIDS ternyata jauh dari terkontrol ilmu kedokteran. Ketika publikasi tentang penemuan-penemuan itu menjadi gencar, ilmu kedokteran yang berkaitan dengan terapi terasa kedodoran. Para dokter yang terbiasa tidak berspekulasi tidak bisa menjawab kecemasan yang disebarkan penemuan-penemuan baru itu. Dalam keadaan ini, pengobatan alternatif yang menjanjikan mukjizat, dan tak memerlukan alasan logis, bisa menjawab kecemasan masyarakat. Inikah yang terjadi? Dari pemantauan TEMPO, Yogyakarta bukan satusatunya tempat para pasien mancanegara memburu dukun. Muntilan, Ungaran di Jawa Tengah, Jakarta, bahkan ke Medan di Sumatera Utara, juga menjadi daerah perburuan mereka. Catatan Dominique selama setahun menunjukkan bahwa puluhan pasien, hanya dari Prancis saja, panik mencari kesembuhan di Yogya dan Muntilan. Penyakit yang mereka keluhkan termasuk penyakit-penyakit menakutkan seperti AIDS (acquired immune defenciency syndrome) dan kanker. Satu di antaranya, Nyonya Rolande Paquete, 50 tahun. Wanita setengah baya yang tinggal di Paris itu menderita kanker tulang. Kondisinya ketika datang memprihatinkan. Sebagian anggota tubuhnya sudah lumpuh. Dokter di negerinya menyatakan ia tak bisa disembuhkan. Nyonya Paquete berobat pada Supadi alias Pak Manyul. Lelaki berusia 59 tahun yang tinggal di Jalan Sabirin, Yogyakarta, ini salah satu "orang pintar" yang banyak dikunjungi orang asing, terutama dari Prancis. "Dia pasien asing saya yang paling baru," kata Pak Manyul, membenarkan. Sayangnya, Nyonya Paquete tidak bisa diwawancara, karena masih sulit bicara. Pasien lain yang juga ditangani Pak Manyul adalah gadis mungil Malia berusia enam tahun. Bocah dengan wajah tirus ini dibawa orang tuanya, Michele dan Kamel Hamoudi, karena menderita kanker otak. Malia sudah tidak bisa menggerakkan mulut dan bola matanya. Dokter di Institut Pasteur, Paris, menyatakan bocah ini tidak bisa disembuhkan. Di otaknya, kanker seluas 3,0034 sentimeter persegi bersarang di jaringan saraf yang mengatur mekanisme gerak seluruh tubuh. Tapi, "Kami tidak bisa membiarkan anak kami. Kami harus melakukan sesuatu," kata Michele. Setelah pengobatan sebelas kali, kesehatan Malia membaik. "Dia sudah bisa membuka mulutnya. Bicaranya mulai lancar," ujar Michele. Berat badannya naik dari 16 kilogram menjadi 23 kilogram. Lesung pipi yang sempat menghilang kembali menghiasi pipinya. Namun, senyum itu bukan akhir cerita, kondisi Malia kembali memburuk ketika pengobatan dilanjutkan. Sebuah guncangan membuat Malia tidak sadarkan diri. Anak yang malang itu akhirnya meninggal di rumah sakit Dokter Sardjito, Yogyakarta. Selain informasi dari mulut ke mulut, berita tentang "kesaktian" dukun-dukun Indonesia tersebar di Prancis melalui artikel di majalah terkemuka Paris Match edisi Mei 1991. Tulisan inilah yang membawa keluarga Kamel Hamoudi dan Nyonya Paquete ke Yogyakarta. Tulisan lain yang ikut menyebarkan perdukunan Indonesia di Prancis, sebuah kisah di majalah Le Nouvel Observateur, November 1990. Tulisan Marie-France Etchegoin, berjudul Amandine et les sorciers atau "Amandine dan dukun-dukun" mengisahkan perjalanan gadis kecil Amandine menuju Yogyakarta mencari sinar kehidupan. Ahli pengobatan alternatif yang didatangi Amandine, Mbah Sirat. Dalam tulisan Etchegoin, kakek asal Muntilan, Jawa Tengah, ini diungkapkan berhasil menyembuhkan tumor otak Amandine. Padahal, bocah lima tahun asal SaintAubin La Bernard, sebelah barat Paris, ini sempat lumpuh. Kisah tersebut membangkitkan reaksi. Para dokter manyatakan tidak setuju warga Prancis mencari pengobatan yang tidak masuk akal. Persoalan ini sampai diperdebatkan di TV Prancis La-5. Di sini muncul wartawan Quest France, Michel Le Tallec, yang pernah mengunjungi Indonesia guna memahami dunia pengobatan tradisional setelah berkelana di Uni Soviet untuk hal yang sama (lihat boks Rumah Mukjizat di Krasnobogatyrskaya). Ia memberikan kesaksian yang menakjubkan. Di samping wartawan ini, tampil pejabat departemen kesehatan Prancis, dokter, ahli paranormal, serta dokter-dokter yang dicabut izin prakteknya karena melakukan praktek dukun. Dalam poll yang dilakukan La-5 sesuai dengan perdebatan, 91% pemirsa ternyata tidak keberatan terhadap praktek pengobatan alternatif yang irrasional itu. Padahal, sampai sekarang praktek perdukunan dilarang di Prancis. Kendati di Prancis dukun Jawa yang disoroti, perdukunan bukan monopoli kebudayaan Jawa. Di Medan berpraktek seorang dukun bernama Kadirun Yahya, 75 tahun. Ia tinggal di rumah besar, mirip pesantren murid-muridnya memanggil dia "Ayah Guru". Ia sendiri lebih suka dipanggil "teknolog". Pasien Kadirun, selain penduduk sekeliling pesantrennya, datang dari Singapura dan Malaysia masyarakat yang juga mendapat pelayanan kesehatan yang memadai. Metode pengobatan Kadirun disebut naturopathy. Dasarnya, getaran tubuh yang disebutnya "ultrasonor". Seorang pasien, Wan Ismail (bukan nama sebenarnya), pengusaha Malaysia berusia 32 tahun, datang ke Kadirun untuk melepaskan diri dari kecanduan morfin. Informasi tentang "Ayah Guru" didapatnya dari seorang profesor Universiti Kebangsaan Malaysia yang pernah disembuhkan Kadirun. Sebelum berobat ke Medan, Wan Ismail dirawat di rumah sakit jiwa di negerinya. Karena tak sembuh, ia ke Inggris, dirawat selama setahun. Namun tak berhasil juga. "Di tangan Pak Kadirun, saya sembuh," kata pengusaha yang kini menjadi pengikut tarikat Nasaqbandiah yang dipimpin Kadirun ini. Keampuhan Kadirun dirasakan pula oleh H. Rukiah, yang terserang kanker payudara. Dalam waktu empat hari, kanker yang menggerogoti anggota tubuhnya mengering. Rukiah sembuh. "Kebanyakan pasien saya memang sembuh. Meskipun ada juga yang gagal, karena kondisinya sudah terlalu parah," tutur Kadirun. Di Jakarta, berpraktek seorang dukun ternama, H. Hani Asmad. Ia lebih dikenal sebagai Haji Lele. Prakteknya di Srengseng Sawah, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, selalu ramai dikunjungi pasien. Di sini pula ia tinggal, di rumah besar dengan garasi yang mampu menampung lima mobil. Ketenaran H. Lele dalam melenyapkan segala macam penyakit sudah menyebar ke Timur Tengah. Ini tidak lain berkat publikasi media asing, setelah ia dikabarkan menyembuhkan Michael Beucclir, 49 tahun, penderita AIDS asal Amerika Serikat. Berita yang tersiar pada tahun 1988 inilah yang membuat H. Hani Achmad alias Haji Lele go international. Sejak itu pasien dari mancanegara berdatangan. Ia bahkan harus melakukan perjalanan muhibah. Begitu kondangnya haji satu ini, banyak undangan yang tidak bisa dilayaninya. Tentang kunjungannya yang paling terakhir ke Arab Saudi, ia berkomentar, "Saya diundang pihak Kerajaan Arab Saudi." Sebagai tamu keluarga kerajaan, dukun yang memelihara janggut dua warna ini ditempatkan di guest house di kompleks istana. Ia mendapat pengawalan tentara kerajaan, di dalam dan di luar istana, bahkan ketika ia menginap di hotel. Di sana ia sekali lagi menjadi bahan publikasi. Harian berbahasa Arab Okaz dan harian berbahasa Inggris Saudi Gazette menurunkan artikel tentang sukses penyembuhannya. Akibatnya, orang pun berbondong-bondong menemuinya. Jumlahnya sampai ribuan. Ketika ia kewalahan, muncul gelombang protes. "Mereka menuntut agar saya tidak hanya mengobati keluarga kerajaan," katanya mengisahkan. Boedhi Santoso, 78 tahun, tinggal di Ungaran, Jawa Tengah, terbilang dukun yang sekaliber Haji Lele. Ia juga sering menjadi bahan publikasi karena sekali setahun pada 1 Suro ia menyajikan atraksi penyucian diri, yang mengerikan, di muka rumahnya. Dalam acara ini ia membelah perutnya sendiri sehingga ususnya terburai. Seperti biasanya, pasien Boedi Santoso kebanyakan penderita penyakit yang sudah tidak mempunyai harapan. Dan mereka tidak hanya para pribumi, tapi juga pasien dari Singapura, Jepang, Belanda, dan Prancis. Ginda, misalnya. Pasien berkebangsaan India yang berusia 53 tahun ini menjalani pengobatan kanker. Ada tumor bersarang di kepalanya. Tadinya Ginda akan berobat ke Singapura, karena di negaranya sendiri ia tercatat tidak mempunyai kemungkinan sembuh. Namun, setelah mendengar informasi tentang kemampuan Boedi Santoso, ia membelokkan tujuan semula ke Singapura menjadi ke Ungaran. Pak Boedhi, yang sempat bermukim selama empat tahun di AS 1974 sampai 1978 menyebutkan bahwa metode penyembuhannya terapi magnetik. Ini semacam getaran kekuatan tenaga dalam yang bisa dilatih (magnetisme). Namun, tak bisa disangkal, ia menyertakan cara-cara supranatural, yang tidak sepenuhnya bisa dipahami akal, seperti membelah perut tadi. Metode campuran itu pula yang dipraktekkan Retno Widarti, 36 tahun. Wanita yang dipanggil Mbak Retno ini dikenal punya keahlian khusus: menyembuhkan kegagahan kaum adam impotensi. Metode penyembuhan Retno dengan memijat titik-titik tertentu di sekitar ruas tulang belakang pasien dan di sekitar alat vital. Di sini ia mengalirkan getaran tenaga, membuka simpul saraf. Namun, ini belum seluruh terapi. Selain menyertakan dupa, Retno melengkapi pengobatannya dengan air putih dan jamu. "Suksesnya pengobatan saya tergantung pada kedisiplinan pasien meminum jamu," katanya. Banyak keterangan para "orang pintar" terdengar "ilmiah". Karena itu, ada saja dokter negara maju yang percaya pada kemungkinan pengobatan alternatif ini. Prof. Dr. Bernard Herzog, kepala bagian kanker Rumah Sakit Nantes di Nantes, Prancis, satu di antaranya. Ia ingin menggali lebih dalam pengobatan alternatif dengan menyelenggarakan "temu ilmiah" paranormal. Bersama Ir. Gembong Priyatno Arbyatono Danudiningrat, "orang pintar" Yogyakarta, Herzog merencanakan pertemuan akbar, ahli pengobatan alternatif dari 18 negara. Perhelatan ini akan diselenggarakan Agustus 1992 di Yogyakarta atau Denpasar. Seratus lebih ahli perngobatan alternatif dari berbagai pelosok dunia akan hadir. "Dalam seminar ini kita akan membicarakan, antara lain, bagaimana kekuatan paranormal seseorang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak. Juga penjajakan kemungkinan tukar-menukar pengalaman di antara sesama paranormal," kata Gembong. Berbeda dengan sikap Prancis, sikap Departemen Kesehatan RI relatif lunak terhadap pengobatan alternatif. Di Surabaya, Desember tahun lalu, Depkes membentuk lembaga P4K (Pusat Penelitian, Pengembangan, dan Pelayanan Kesehatan). Di sini, orangorang yang dianggap mempunyai kekuatan penyembuhan alternatif dikumpulkan. Kemampuan mereka dikaji. Di lembaga ini, kata Menteri Kesehatan dr. Adhyatma, M.P.H., kemampuan pengobatan alternatif diuji. "Misalkan, kalau ada seorang dukun yang mengaku mampu mengobati diabetes melitus, dia akan disuruh mengobati pasien diabetes melitus. Sebelumnya, si pasien akan diperiksa kadar gulanya dan setelah diobati oleh dukun tadi diukur lagi kadar gulanya." Namun, Depkes belum merasa perlu mengembangkan lembaga tersebut menjadi klinik alternatif. "Kita harus yakin dulu, metode penyembuhan yang digunakan memang baik atau tidak," katanya. "Bukan hanya soal risiko kematian atau penipuan yang kita hindarkan, tapi orang yang cacat karena salah diobati tidak bisa diperbaiki," tambah Adhyatma. Bila suatu ketika pengobatan alternatif bisa sesungguhnya diyakini, perburuan dukun di tanah Jawa entah akan macam apa ramainya. Rustam F. Mandayun, Sri Wahyuni, Nanik Ismiani (Yogyakarta), Silawati (Denpasar), Munawar Chalil (Medan), Indrawan (Jakarta), dan Utami P. Astar (Paris)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini