Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jangan Takut Meniup Peluit!

23 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Todung Mulya Lubis,
Fellow, Ash Center, Harvard Kennedy School; anggota International Bar Association.

Kata whistleblower atau "peniup peluit" bukanlah kata baru. Kita mungkin sering tak menyadari bahwa di sekeliling kita sudah sangat banyak orang meniup peluit yang membuat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan digelar. Bisa juga yang terjadi adalah perubahan kebijakan publik atau malah legislasi nasional.

Di rumah sakit bisa terjadi perawat meniup peluit karena ada malpraktek dari dokter. Di penjara bisa jadi ada peniup peluit yang mengungkapkan betapa kekejaman dalam penjara sudah melanggar hak asasi terpidana. Di sekolah bisa terjadi peniup peluit mengungkap perselingkuhan antara guru dan muridnya. Banyak kasus lain yang bisa disebutkan.

Sayang, dalam konteks Indonesia sekarang, whistleblower seolah-olah hanya terjadi pada kasus korupsi. Saya tak mengatakan ini tidak penting, tapi seyogianya kita membangun budaya "tiup peluit" untuk kasus pelanggaran hukum di bidang apa pun. Tujuan membangun pemerintahan bersih dan berwibawa hanya akan tercapai kalau kita punya banyak peniup peluit yang berani menghadapi semua risiko.

Kita ambil contoh kejadian di penjara Corcoran, California, ketika perlakuan kejam mengakibatkan kematian seorang narapidana. Waktu itu, para terpidana diadu dalam acara gladiator days. Celakanya, petugas penjara menembakkan senjatanya hingga membunuh seorang terpidana yang kebetulan tidak diunggulkan memenangi pertarungan. Dua orang petugas penjara, Steve Rigg dan Richard Caruso, tak tahan melihat semua itu. Mereka memutuskan menjadi peniup peluit. Kebrutalan di penjara itu menjadi kehebohan di media massa. Penyelidikan digelar, yang berujung pada perubahan kebijakan di penjara.

Kedua peniup peluit itu dikucilkan bahkan sampai digugat ke pengadilan. Mereka dituduh disloyal, dituduh sebagai rat. Steve Rigg akhirnya kehilangan kekayaannya karena digugat oleh lembaga pemasyarakatan di sana. Dia terkena serangan jantung. Sedangkan Richard Caruso akhirnya dipaksa mengundurkan diri. Inilah ongkos yang mereka bayar dalam menjalankan tugas.

Dalam jajaran peniup peluit ini, kita bisa memasukkan nama Edward Snowden dan Julian Assange sebagai pesohor. Mereka melawan dominasi kekuasaan yang menginteli rakyat dan negara lain. Snowden, misalnya, membongkar praktek penyadapan percakapan telepon penduduk di Amerika dan juga kepala negara lain. Snowden menganggap "hak-hak privat" (privacy) tak boleh diintervensi oleh negara atas alasan apa pun.

Assange melakukan hal yang sama, yaitu membocorkan dokumen rahasia hasil kerja intelijen Amerika Serikat di banyak negara, termasuk Indonesia. Kita semua terkesima melihat begitu aktifnya intelijen mengumpulkan bahan untuk disadap dan dianalisis. Sering kerja intelijen ini melewati batas sehingga terasa sebagai suatu keangkuhan adidaya. Kedua peniup peluit itu terusir dari tempat mereka dan memperoleh suaka di negara lain.

Menjadi peniup peluit bukan tanpa risiko. Di Indonesia, Endin Wahyudin, yang mencoba membongkar praktek suap di kalangan hakim, akhirnya diseret ke pengadilan dan dituduh mencemarkan nama baik. Endin Wahyudin dinyatakan bersalah dan dihukum oleh pengadilan. Ada juga kasus Khairiansyah Salman, yang dituduh menjadi peniup peluit dalam kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum. Dan yang paling banyak mendapat pemberitaan adalah kasus Vincentius Amin Susanto.

Bekerja sebagai pengatur keuangan grup PT Asian Agri, Vincentius mengungkapkan praktek penghindaran pajak oleh perusahaannya. Kejahatan ini merugikan keuangan negara hingga Rp 1,259 triliun, yang dilakukan dengan pembukuan fiktif melalui rekayasa surat pemberitahuan pajak. Lalu Vincentius dituduh mencuci uang sebesar Rp 28 miliar. Oleh pengadilan, ia dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman pidana 11 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta.

Kita membutuhkan peniup peluit untuk menegakkan hukum dan keadilan, terutama dalam pemberantasan korupsi. Kita tahu para koruptor semakin lihai dan canggih. Peniup peluit inilah ujung tombak yang bisa membongkarnya. Korupsi bersifat rahasia, tidak boleh diketahui, dan kalaupun ada yang tahu hanya sedikit. Karena itu, mereka yang berani menjadi peniup peluit, membongkar korupsi, akan dituduh disloyal. Mereka akan dihukum dengan segala cara. Di sinilah balas dendam yang bisa jadi sangat kotor dan brutal akan terjadi.

Korupsi bisa jadi dilakukan dalam konteks patron-klien. Peniup peluit yang kebetulan klien akan sangat sukar membongkar kasus korupsi. Bisa-bisa dia dihabisi. Di sini loyalitas itu mesti permanen. Lain lagi dalam korupsi berjemaah, ketika semua terlibat korupsi. Kesulitan menjadi peniup peluit akan semakin menjadi-jadi. Mereka sulit menghadapi semua orang tempat dia kebetulan berada di dalamnya.

Balas dendam di sini bisa jadi akan dilakukan tidak hanya kepada si peniup peluit, tapi juga kepada keluarga atau orang dekatnya. Jadi dapat dibayangkan betapa berat kendala psikologis bagi siapa pun yang berniat jadi peniup peluit. Dalam banyak hal, hanya orang yang setengah nekat dan "gila" mau menjadi peniup peluit. Apalagi, dalam konteks sejarah hukum di Indonesia, para peniup peluit selalu berada dalam posisi lemah.

Secara sosiologis, masyarakat Indonesia, walaupun sudah memasuki era reformasi dan demokrasi, masih ditandai oleh dominasi bisu. Mereka menjalankan peribahasa "diam itu emas". Di lingkungan kantor, sekolah, atau organisasi, code of silence itu masih cukup kuat. Seseorang akan berpikir sepuluh kali sebelum membongkar aib orang lain. Ada keengganan kultural.

Karena itu, bumi Indonesia memang merupakan lahan yang subur buat korupsi. Tentu saya tak mengatakan tak ada tanda-tanda untuk mematahkan code of silence itu. Kebebasan pers dan maraknya media sosial secara perlahan menggerus keengganan kultural tersebut, dan kita mulai menyaksikan keberanian menyeruak di ruang publik. Tapi keberanian itu masih sangat sedikit.

Saya kira seseorang akan berani menjadi peniup peluit ketika dia dihadapkan pada situasi yang disebut sebagai choiceless choice: satu keadaan ketika dia tak lagi punya pilihan. Situasi ini sama dengan maju kena mundur kena. Skandal yang menimpa perusahaan raksasa Enron dan Arthur Andersen beberapa tahun lalu terjadi karena situasi choiceless choice ini. Manipulasi dan rekayasa keuangan dalam perusahaan tersebut sudah sangat mengganggu batin manusia sehingga akhirnya tak bisa ditutup-tutupi lagi.

Dihancurkannya semua alat bukti oleh Arthur Andersen telah membuat mereka dituduh melakukan obstruction of justice, menghalang-halangi penegakan hukum dan keadilan. Pembohongan yang merugikan publik itu harus dihentikan. Maka di sini lahirlah peniup peluit dan juga mereka yang menjadi justice collaborator. Skandal korporasi terbesar di Amerika akhirnya terbongkar. Enron hancur dan Arthur Andersen, yang merupakan perusahaan akunting terkemuka di dunia, akhirnya harus ditutup.

Guncangan kasus Enron dan Arthur Andersen ini terasa di banyak negara. Guncangan itu sampai juga ke Indonesia. Banyak yang menyadari bahwa skandal korporasi dan korupsi, kalau hendak dibongkar, akan memerlukan peniup peluit dan justice collaborator. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagian lahir sebagai respons terhadap maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme, terhadap sikap nekat para pejabat dan pengusaha yang menjarah uang rakyat, terhadap code of silence yang masih sangat melekat pada masyarakat. Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban seolah-olah ingin mengatakan kalian sekarang bisa menjadi peniup peluit dan justice collaborator, dan secara hukum kalian akan mendapat perlindungan hukum serta keringanan hukuman.

Keringanan hukuman di sini diberikan bagi mereka yang kebetulan terlibat dalam manipulasi atau korupsi, lalu—karena alasan tertentu—akhirnya membongkar kasus tersebut. Tentu tindak pidana mereka tak akan hilang begitu saja, tapi kesediaan membongkar kasus ini akan dijadikan pertimbangan untuk pengurangan hukuman. Karena itu, mereka disebut sebagai justice collaborator.

Di sini tak terjadi tawar-menawar hukuman ala plea bargaining di sistem hukum Amerika. Namun esensinya memang terjadi tawar-menawar hukuman melalui proses persidangan ketika justice collaborator dijadikan pertimbangan untuk meringankan hukuman. Itu pun dengan berbagai syarat bahwa dia harus sungguh-sungguh membongkar kasus korupsi yang terjadi dan berkomitmen untuk membantu proses pembongkarannya.

Perjuangan untuk menegakkan hak-hak justice collaborator ini memang tidak mudah dan masih memerlukan perjuangan panjang. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus bekerja lebih keras untuk mensosialisasi pentingnya peniup peluit dan justice collaborator dalam pemberantasan korupsi.

Sesungguhnya ada sikap mental dan kendala kultural ketika lingkungan begitu mendikte seseorang agar tidak berani membongkar kasus korupsi. Kebanyakan orang hanya mau mengungkapnya kalau sudah dipanggil sebagai saksi di pengadilan. Para saksi itu hanya menjadi peniup peluit pasif.

Tantangan kita adalah mengubah sikap pasif menjadi aktif. Dan tantangan ini dihadapi LPSK yang mendapat mandat untuk membangunkan keberanian orang menjadi peniup peluit dan justice collaborator. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sudah memberikan segalanya kepada LPSK, yang bisa melindungi saksi dan korban, melindungi keluarga mereka, menjaga keamanan mereka, dan jika diperlukan membuatkan identitas baru agar mereka tak lagi dikenali. Kesaksian juga bisa dilakukan dengan video atau menggunakan topeng. Saya berharap LPSK bisa membuat berbagai gebrakan agar keberanian itu tumbuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus