Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ada 'Detektif' di Teluk Dalam

Menyelidiki sendiri berbagai kasus dugaan korupsi dan pelanggaran lainnya. Berhasil menularkan keberanian melaporkan rasuah.

23 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagi pecah di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam, Nias Selatan, Sumatera Utara, Rabu tiga pekan lalu. Setelah mengunjungi kerabat di desa yang memiliki tradisi lompat batu itu, Erwinus Laia bertolak ke Nias—dulu kabupaten induk sebelum Nias Selatan menjadi kabupaten sendiri. Ia melarang sopir merokok ketika mobil sewaan itu mulai melaju. "Nanti saja setelah keluar dari Teluk Dalam," ucapnya.

Rupanya itu sebentuk kewaspadaan. Jika sang sopir merokok, kaca jendela harus dibuka. Sedangkan Erwinus tak ingin kepergiannya diketahui banyak orang. "Jaga-jaga saja. Orang tahu kalau saya keluar pasti untuk urusan kasus," kata pria kelahiran Teluk Dalam ini.

Perjalanan dengan mobil dari ibu kota Nias Selatan, Teluk Dalam, ke ibu kota Nias, Gunung Sitoli, ditempuh selama tiga jam, melewati jalan-jalan pegunungan dan tepian pantai. "Takutnya, di jalan ada yang iseng," tutur lelaki 40 tahun itu.

Erwinus menyadari risiko atas pilihan hidupnya yang ia jalani dalam dua tahun terakhir. Setelah dinonaktifkan sebagai pegawai negeri Pemerintah Kabupaten Nias Selatan, ia mendadak jadi aktivis. Sembari menggugat pemecatan, ia aktif mengawasi jalannya pemerintahan.

Hari itu ia bertolak ke Gunung Sitoli untuk memberikan keterangan kepada penyidik Komisi Yudisial. Sebelumnya, ia melaporkan seorang petinggi Pengadilan Negeri Nias setempat atas dugaan menerima gratifikasi dalam kasus tanah. Ia berkisah ada seorang penduduk yang sedang terbelit perkara tanah mengadu kepadanya. Dia mengaku dimintai burung jalak dan murai batu jika ingin "dibantu". Burung sudah diantar, tetap saja ia kalah di pengadilan. "Orang itu juga salah, tapi lebih berbahaya perilaku hakimnya," kata Erwinus.

Bak detektif, setiap hari Erwinus bergelut dengan kasus, dari lambannya penanganan kasus narkotik oleh polisi sampai dugaan rasuah pemerintah daerah. Sejauh ini beberapa pengaduannya sedang diproses hukum. Ia juga sedang menelisik selusinan kasus, seperti penyalahgunaan dana bantuan bencana Nias Selatan pada 2011 yang diduga merugikan negara Rp 5 miliar, dan penggelembungan nilai anggaran pengadaan tanah untuk lahan proyek balai benih induk pada 2012, yang diduga merugikan negara Rp 10,5 miliar (lihat boks: "Istana Rakyat sampai Pasar Amerika").

Pilihan Erwinus ini berbuah ancaman dan teror terhadap dirinya dan keluarganya. Maka langkah kewaspadaan seperti yang dia lakukan dalam perjalanan ke Gunung Sitoli tidaklah berlebihan. "Saya pernah mendapat bocoran dari seorang preman yang katanya mendapat order menghabisi saya. Untung dia bisa kami sadarkan," ujarnya.

Penyandang dua gelar master ini (bidang manajemen dari Universitas HKBP Nommensen Medan dan hukum dari Universitas Pembangunan Panca Budi Medan) sampai hafal pola reaksi yang muncul setiap satu kasus diungkap. Tahap awal, biasanya ada orang yang menawari uang dalam jumlah menggiurkan, dari ratusan juta rupiah hingga tak terbatas menurut permintaan. Namun tawaran paling besar yang pernah ia terima adalah Rp 2 miliar. "Saya jadi kepikiran, berarti banyak sekali uang yang dicuri."

Entah ada hubungannya entah tidak, Erwinus mencatat teror lain yang menimpa keluarga dan lingkaran terdekatnya. Suatu hari tiba-tiba saja mereka dipindahkan ke daerah tugas yang jauh. Erwinus pun diberhentikan dari jabatan terakhirnya sebagai Kepala Bagian Humas Pemerintah Nias Selatan. Untuk menjaga dapur tetap mengepul, ia pernah merintis usaha permainan biliar. Belum sampai sebulan usaha berjalan, pemerintah menutup usahanya. "Namanya juga hiburan, jenis usahanya memang rawan," ujarnya.

Kini ia memilih usaha yang "aman", yakni toko alat sekolah dan kantor serta rumah makan. "Makanan khas Nias," katanya sambil tersenyum.

Pilihan Erwinus sekarang adalah tetap bertahan hidup mandiri sambil terus melawan. Dia mengaku sudah melupakan status dan kenyamanan yang hilang seiring dengan sikap kritisnya. "Semua ada harganya. Yang penting kampung kelahiran bisa dikelola dengan baik dan jujur."

Mantra kejujuran dan idealisme akan pengelolaan pemerintah yang baik itulah pendorongnya untuk melawan sejak dua tahun lalu. Padahal pegawai yang merintis karier dari bawah ini sebelumnya adalah seorang pegawai yang lempeng-lempeng saja. Ia mengawali karier sebagai anggota staf kecamatan pada 2000, lalu mendapat kesempatan sekolah di Bandung. Kariernya terus naik hingga menjadi Camat Fanayama, Nias Selatan, kemudian kepala bidang, hingga menjabat kepala bagian humas.

Jabatan lebih tinggi sejatinya sudah menantinya, tapi Erwinus justru mulai galau berada di zona nyaman itu. Ia menyaksikan bermacam praktek korupsi dan pengelolaan pemerintahan yang buruk di berbagai tingkatan. "Mungkin tak lepas juga dari euforia membangun daerah baru. Jadi, mudah kecewa dengan penyelewengan," katanya. Nias Selatan menjadi kabupaten baru pada 2003.

Ada satu insiden yang masih membekas di benaknya hingga kini. Pada pertengahan 2011, ia mempertanyakan kebijakan pemotongan tunjangan kesejahteraan pegawai. Usahanya memprotes pemotongan itu kandas. "Ini jatah bos, sekadar buat beli-beli pulsa," demikian kira-kira jawaban atasan kepadanya.

Tak kuat lagi dengan kondisi kantornya, Erwinus mengibarkan bendera perang. Dalam forum-forum resmi ia terang-terangan mengkritik praktek korupsi oleh aparat birokrasi dan pejabat. Bahkan tak segan-segan ia memprotes keras atasan dan pimpinan daerah. Akibatnya, ia dipecat sebagai pegawai negeri.

Erwinus tak berdiam diri dengan keputusan itu. Ia menggugat pemberhentiannya hingga ke pemerintah pusat. Selama proses gugatan berjalan dua tahun terakhir, aksinya semakin menjadi. Kasus-kasus kakap pun dia ungkap. "Saya mencari lembaga agar lebih kuat dan menghimpun orang-orang yang peduli," katanya.

Dia pun mengambil tawaran memimpin sebuah organisasi kemasyarakatan Front Komunikasi Indonesia Satu Perwakilan Nias Selatan. Dia bersama sekelompok orang aktif mengusung gerakan antikorupsi di Nias Selatan hingga kini. Aksi mereka antara lain menginvestigasi kasus, pendampingan korban, menerima pengaduan, melaporkan kasus ke penegak hukum, menekan aparat agar cepat beraksi dengan jujur, hingga berunjuk rasa ke Jakarta.

Kegigihan Erwinus tampaknya menular. Salah seorang rekan seperjuangannya adalah Induk Laia. Induk juga diberhentikan sebagai pegawai negeri karena kritis. "Kalau Nias Selatan tak kunjung bersih, saya rela keluar dari sini," kata Induk.

Untuk perjuangan, sudah pasti Erwinus butuh biaya, seperti untuk pertemuan, mondar-mandir ke Gunung Sitoli atau Medan hingga Jakarta, dan membayar jasa pengacara. Kantong pribadi dirogoh dalam-dalam oleh Erwinus dan beberapa temannya. Erwinus sendiri telah menjual satu rumah dan tanah tiga persil. "Sekaligus untuk menyambung hidup dan usaha," katanya.

Dalam beberapa bulan terakhir, urunan untuk membiayai perjuangan Erwinus semakin lancar. Sumbangan dari pegawai negeri dan publik biasanya diberikan secara diam-diam. "Meski hanya Rp 50 ribu, kami sangat bahagia karena berarti didukung masyarakat," kata Erwinus.

Erwinus dan Induk mendapat dukungan sepenuhnya dari Wakil Bupati Nias Selatan Hukuosa Ndruru. "Mereka berdua adalah pemuda legendaris Nias Selatan," ucapnya. Dia mengapresiasi pengorbanan Erwinus dan Induk yang tak takut kehilangan jabatan. "Itu kan masa depannya."

Aktivis Nias Selatan di Jakarta, Etis Nehe, mencatat pencapaian Erwinus sejatinya lebih mendasar. Menurut dia, aksi-aksi perlawanan Erwinus telah memecah kebungkaman masyarakat atas praktek salah selama ini. Dukungan publik untuk Erwinus dan kawan-kawan terus mengalir, baik secara diam-diam maupun terbuka. "Hasil proses hukum itu satu hal, yang utama adalah suburnya generasi antikorupsi di Nias Selatan dan Kepulauan Nias pada umumnya."


Istana Rakyat sampai Pasar Amerika

Suasana rapat informal di sebuah rumah makan di tepi pantai Nias Selatan itu menghangat. Adu pendapat peserta pertemuan semakin seru. "Ini namanya perjuangan. Banyak masalah yang harus diselesaikan dengan semangat maraton," kata Induk Laia, Senin malam tiga pekan lalu.

Pertemuan malam itu dihadiri segenap aktivis antikorupsi Nias Selatan. Tampak Erwinus Laia dan Induk Laia, mantan pegawai negeri yang giat menyerukan antikorupsi. Saat itu, sebagian merasa gamang melihat tumpukan kasus dugaan korupsi hasil investigasi mereka yang diajukan ke proses hukum.

Sebagian kasus ada yang sudah diproses hukum, ada yang masih pada tahap investigasi. Salah satunya soal penyalahgunaan dana bantuan bencana Nias Selatan pada 2011. Kasus yang sedang ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara itu ditaksir merugikan negara Rp 5 miliar. "Beberapa proyek fiktif untuk mengucurkan dana," kata Erwinus. Tersangka sudah ditetapkan, yakni Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Nias Selatan.

Kasus lain adalah dugaan penggelembungan anggaran pengadaan tanah untuk lahan proyek balai benih induk pada 2012. Dari nilai alokasi dana Rp 11,3 miliar, taksiran kerugian negara Rp 10,5 miliar. Kasus yang ditangani Kepolisian Daerah Sumatera Utara itu menyeret sekretaris daerah pemerintah setempat sebagai tersangka.

Kasus penggelembungan anggaran juga terjadi pada proyek pembangunan rumah sakit umum daerah dengan taksiran kerugian Rp 5 miliar lebih. Kali ini tersangkanya 17 orang. Kasusnya sedang ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.

Ada juga yang terdengar lucu, yaitu proyek Istana Rakyat yang dirancang menjadi kantor pemerintah. Bentuknya dirancang mirip Istana Merdeka di Jakarta. Anehnya, anggaran Rp 7 miliar sudah amblas, tapi istana ini baru berupa tiang. "Kami curiga ini hanya proyek untuk mencari uang karena balai kota sekarang masih bagus," kata Erwinus.

Ada juga proyek Pasar Amerika, yakni dengan merobohkan bangunan sekolah bantuan internasional pasca-tsunami Nias, diganti dengan bangunan pasar. "Ini juga mencurigakan, sekolah bagus dirobohkan," Erwinus menambahkan.

Selain itu, masih ada sejumlah kasus pengadaan lahan, berbagai proyek pemerintah di lahan pribadi, dan pembangunan bandar udara. Semua kasus tersebut sudah dilaporkan ke provinsi, bahkan ke Mabes Polri, Kejaksaan Agung, juga Komisi Pemberantasan Korupsi.

Menanggapi pengungkapan kasus-kasus tersebut, Bupati Nias Selatan Idealisman Dachi menyoroti perbedaan standar yang digunakan dalam menilai sebuah proyek. Soal tuduhan penggelembungan harga tanah, misalnya. Menurut dia, pemerintah sudah mengikuti patokan harga Badan Pertanahan Nasional dan rujukan harga terdahulu. "Kenapa yang dulu tidak dipersoalkan?"

Mengenai proyek-proyek lain, kata Idealisman, sangat terbuka kemungkinan beda penafsiran. Menurut dia, suatu kebijakan tidak bisa menyenangkan semua orang. Selebihnya ia mempersilakan semua kasus diproses secara hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus