Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Janji Capres-Cawapres Menggenjot Rasio Pajak RI

Menaikkan rasio pajak juga masuk dalam visi-misi setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk periode 2024-2029.

28 Desember 2023 | 11.45 WIB

Calon wakil presiden nomor urut 1 Muhaimin Iskandar (kiri), cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka (tengah), dan cawapres nomor urut 3 Mahfud MD (kanan) saat debat calon wakil presiden Pemilu 2024 di JCC, Jakarta, Jumat 22 Desember 2023. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Perbesar
Calon wakil presiden nomor urut 1 Muhaimin Iskandar (kiri), cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka (tengah), dan cawapres nomor urut 3 Mahfud MD (kanan) saat debat calon wakil presiden Pemilu 2024 di JCC, Jakarta, Jumat 22 Desember 2023. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Rasio pajak menjadi salah satu bahasan dalam debat calon wakil presiden (cawapres) yang diselenggarakan pada pekan lalu. Menaikkan rasio pajak juga masuk dalam visi-misi setiap pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden untuk periode 2024–2029.

Isu ini menjadi ramai, ketika cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, bertanya kepada lawannya, cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka pada segmen tanya-jawab antar cawapres. "Saya sekarang mempertanyakan di dalam visi dan misi anda disebut kalau rasio pajak dinaikkan menjadi 23 persen. Dalam simulasi kami, angka itu hampir tidak masuk akal," ujar Mahfud di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, pada Jumat, 22 Desember 2023.

Pasalnya, hanya paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang menaruh angka tinggi pada kebijakannya dalam rasio pajak, yakni sebesar 23 persen. Sementara paslon nomor urut 1 dan 3, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, masing-masing menargetkan rasio pajak maksimal di level 16 persen.

Adapun Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) menyatakan rasio pajak yang ideal sekitar 15 persen dari PDB. Sementara pada 2022, rasio pajak Indonesia tercatat sebesar 10,39 persen dari PDB. 

Tanpa rasio pajak yang cukup, pertumbuhan PDB tidak sepenuhnya dapat dikonversikan menjadi penerimaan negara. Akibatnya, kemampuan APBN untuk mendanai pembangunan akan menyusut.

Merespons pertanyaan Mahfud tersebut, Gibran menjawab  akan meningkatkan rasio dan penerimaan pajak dengan membentuk Badan Penerimaan Pajak (BPN). "Yang namanya menaikkan rasio pajak dan menaikkan pajak itu beda. Gimana caranya menaikkan penerimaan pajak atau menaikkan rasio pajak? Saya sudah bilang di segmen sebelumnya akan membentuk badan penerimaan pajak yang dikomandoi langsung oleh Presiden," kata Gibran. 

Dia menjelaskan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) nantinya akan dilebur dalam BPN itu, sehingga akan mempermudah koordinasi dengan kementerian-kementerian terkait. 

Selanjutnya: Strategi para capres-cawapres menaikkan rasio pajak

Untuk merealisasikan target tersebut, strategi ketiga paslon kurang lebih sama. Ketiganya akan membentuk BPN, yang merupakan merger antara Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai. Namun, paslon nomor urut 3 hanya menyebut akan membentuk lembaga baru, tidak menyebut BPN secara pasti.

Melanjutkan pernyataan Gibran, Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Mulya Amri, menjelaskan 23 persen merupakan rasio pendapatan negara per PDB yang secara berangsur akan dinaikkan hingga 2029. “Bukan rasio pajak yang ingin dinaikkan jadi 23 persen. Pajak hanyalah salah satu komponen dari pendapatan negara,” kata dia kepada Tempo, Selasa, 26 Desember 2023.

Dalam pembentukkan BPN, Mulya menyebut dari peleburan tersebut, ada pemisahan antara lembaga yang mengurus penerimaan dan mengurus belanja. BPN nantinya akan berfokus meningkatkan penerimaan, antara lain dengan menaikkan penerimaan pajak dan menaikkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Selain itu, Prabowo-Gibran akan melakukan hilirisasi, dengan mengembangkan sektor-sektor yang belum terlalu berkembang. “Juga penguatan UMKM,” tuturnya.

Senada dengan Tim Prabowo-Gibran, Koordinator Penyusunan Visi-Misi AMIN, Wijayanto Samirin, juga mengatakan untuk mencapai target rasio pajak 13 hingga 16 persen pada 2029 mendatang, akan dibentuk BPN untuk mempermudah koordinasi lintas Kementerian/Lembaga.

Selain melakukan merger, AMIN menyebut sejumlah upaya lain yang akan dilakukan, salah satunya yaitu memberpaiki sistem IT perpajakan untuk memastikan transparansi setiap transaksi. “Kami juga akan memperluas tax based melalui pendekatan yang inovatif,” kata Wijayanto. 

Menurutnya, untuk mencapai target yang ditetapkan, perlu diterapkan Carbon Tax, dengan harga karbon per ton dinaikkan secara gradual tanpa membebani dunia usaha. Adapun saat ini, tarif berada di level US$ 2 per ton. “Secara paralel kita juga perlu mempopulerkan carbon market,” ujarnya. 

Wijayanto juga menyebut akan memastikan pembayaran pajak akan mudah dan cepat, serta menerapkan sanksi berat bagi pelanggar pajak, baik dari pihak pemerintah maupun swasta. “Ini untuk menekan kebocoran pajak,” ucap dia. 

Lebih lanjut, pihak AMIN akan memodifikasi kebijakan pelarangan ekspor mineral menjadi penerapan pajak ekspor. Menurutnya, upaya ini dimaksudkan untuk menekan potensi retaliasi dari negara lain, sekaligus untuk menaikkan penerimaan negara. Terakhir, tim visi-misi paslon nomor urut 1 itu mengatakan pihaknya sedang mempertimbangkan penerapan windfall profit tax, untuk produsen tambang atau mineral saat harga komoditas melejit luar biasa.

Sementara itu, Juru bicara TPN Ganjar-Mahfud, Chico Hakim, menyebut langkah pertama yang akan dilakukan untuk mencapai target 14 hingga 16 persen itu adalah penyederhanaan sistem. Penyerderhanaan sistem ini, kata Chico, akan ditujukan dengan membentuk lembaga baru. 

Selain itu, pihak Ganjar-Mahfud akan melakukan digitalisasi pajak. “Ini untuk memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya dan mempermudah kontrol serta pendataan bagi negara,” kata Chico. Pihaknya juga akan mengoptimalisasi pajak dari yang sudah ada Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan rutin mengisi Surat Pemberitahuan (SPT). Terakhir, Chico mengatakan akan melakukan ekstensifikasi.

Dia menyebut pihaknya optimistis dengan target yang sudah dibidik. Menurutnya, hal ini karena angka yang sudah ditetapkan lebih realistis dari pasangan lawan. 

Selanjutnya: Kritik pengamat soal BPN

Menanggapi pembentukan lembaga baru ini, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengklaim hal ini berpotensi menimbulkan masalah baru. Bahkan, wacana pembentukan BPN ini sebenarnya merupakan isu lama yang diputar terus. 

Dia mengatakan esensi pembentukan BPN sudah dilakukan oleh Ditjen Pajak melalui peningkatan jumlah dan anggaran tenaga kerja, serta core tax system yang mengoptimalkan penggunaan SDM.

Menurutnya, pembentukan BPN justru akan menyulitkan koordinasi antara lembaga pembuat kebijakan dengan pemungut pajak. “Akan ada ego sektoral antar keduanya dan ini akan menyusahkan pemerintah setiap tahunnya terutama dalam proses penganggaran,” ujar Fajry. 

Dengan begitu, dia menyebut bahwa pembentukan BPN merupakan langkah yang salah, terlebih jika memperhitungkan biaya yang pasti besar. 

Menyambung pembentukan BPN yang akan memudahkan koordinasi antar K/L, Fajry mempertanyakan hal itu. “Hambatan koordinasi dengan K/L apa yang membuat tax ratio kita rendah? Setahu saya, koordinasi dengan K/L sudah berjalan dengan baik,” kata dia.

Fajry kemudian mencontohkan koordinasi dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari pelaku usaha Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang sudah berkoordinasi baik dengan Kemeterian Komunikasi dan Informatika. “Atau Pajak Karbon, juga sudah koordinasi dengan kementerian terkait,” tuturnya. Dia justru menyoroti permasalahan utama dari tax ratio Indonesia terletak pada struktur ekonomi.

Pendapat yang sama muncul dari ekonom sekaligus Director of Digital Economy Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda,  yang mengatakan bahwa pembentukan BPN langsung di bawah presiden dapat menimbulkan kekuatan yang sangat besar bagi badan itu. Dengan kekuatan yang besar, potensi untuk terjadinya korupsi menjadi lebih besar.

"Sekarang di bawah Kemenkeu (Kementerian Keuangan) plus ada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) saja mereka masih bisa 'bermain' apalagi nanti jadi badan sendiri?" ujar Nailul.

Dia mengatakan, untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah seharusnya terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan utama pajak di Indonesia yaitu korupsi. "Satu langkah yang keliru jika ingin menaikkan penerimaan pajak dan bea cukai tapi tidak diberesi masalah utama dari pajak ini. Korupsi masalah utama dari DJP (Direktorat Jenderal Pajak)," ujar Nailul.

Di sisi lain, Pengamat pajak dari Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menjelaskan soal rumus menaikkan rasio pajak. 

Secara sederhana, kata Prianto, rumus rasio pajak adalah jumlah penerimaan pajak per PDB. Dalam praktiknya, rumus penerimaan pajak dapat berupa seluruh jenis pajak yang dipungut negara. “Untuk konteks Indonesia, jenis pajak terdiri dari pajak pusat dan pajak daerah,” ujar dia. 

Menurutnya, jenis penerimaan pajak di dalam rumus rasio pajak juga dapat memasukkan unsur penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA) minyak dan gas bumi, serta mineral dan batubara. Selain itu, semua kontribusi wajib masyarakat ke negara atau PNBP.

“Jadi, ketika unsur penerimaan pajak di rumus rasio pajak diperbanyak sesuai penjelasan di atas, tax ratio Indonesia dapat meningkat secara signifikan,” ujar Prianto. Namun, dia menyebut target 23 persen menjadi kurang realistis, kecuali unsur penerimaan pajak di rumus rasio pajak ditambah.

Sedangkan terkait dengan pembentukan lembaga baru, dia menyebut model BPN ini berkaitan dengan konsep kelembagaan Semi-Autonomous Revenue Authority atau SARA. Namun, tidak semua riset menunjukkan SARA pasti menggenjot penerimaan negara. “Tapi ada sisi efisiensi dan keefektifan yang dapat dijalankan ketika dibentuk BPN, karena tugasnya lebih fokus ke revenue productivity," kata Prianto.

Dia menuturkan, saat ini Kementerian Keuangan yang membawahi Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai juga berfokus pada sisi pengeluaran. Dengan membentuk BPN sesuai model SARA, kata Prianto, akan ada peningkatan kewenangan karena status kelembagaannya menjadi lebih tinggi, yakni berada langsung di bawah presiden. 

Menurutnya, para pembuat kebijakan pasti akan mencari model kebijakan lain jika berbagai kebijakan pajak yang telah dicanangkan untuk meningkatkan rasio pajak belum sesuai ekspektasi. Salah satunya adalah BPN sesuai model SARA. “Kebijakan tersebut berdasarkan beberapa riset empirik memang feasible dan realistis untuk dilakukan,” katanya.

DEFARA DHANYA | YOHANES MAHARSO | CAESAR AKBAR | AMELIA RAHIMA SARI

Pilihan EditorApa itu Rasio Pajak yang Akan Dinaikkan Gibran Jadi 23 Persen?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus