Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jarak Jakarta-Frankfurt

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU bukan barang yang teramat berharga di negeri ini. Terkadang suasana Pameran Buku Ikapi pun amat mendekati suasana pasar pagi. Ada sound system memekakkan telinga untuk memancing perhatian. Ada koridor antar-anjungan yang selalu terancam kemacetan arus pengunjung. Para penjaga anjungan kerap membagi-bagikan brosur buku di gang sempit. Dan sebagian pengunjung juga senang berdiri mematung seraya membaca aneka poster di sepanjang koridor. Alhasil, menawarkan dan membeli buku itu seperti menjual dan memborong sayuran, daging, minyak goreng, atau barang kelontong.

Meski berlebihan, analogi itu mencerminkan dunia pameran buku di Indonesia: pameran yang "masih berorientasi pada penjualan langsung," kata Aris Buntarman, Manajer Penelitian dan Pengembangan Gramedia Pustaka Utama (GPU), yang juga menjadi pengurus Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) seksi pameran. Tak ayal, membentuk citra penerbit atau mengenali calon penulis hebat menempati urutan nomor sekian. Dalam suasana begini, acara istimewa seperti diskusi buku dan jumpa penulis cenderung diabaikan pengunjung.

Memang di antara Pameran Buku Ikapi dan Festival Buku Frankfurt telah terbentang jarak yang lebar. Sementara kita masih berkutat dengan model penjualan langsung, para penerbit internasional di Festival Buku Frankfurt sibuk menjual hak cipta. Kegiatan-kegiatan di Festival Buku Frankfurt mengarah ke titik itu. Biasanya, sejak jauh hari, para penerbit telah berjanji untuk bertemu. Malah, kalau memungkinkan, hal itu bisa diteruskan dengan negosiasi yang lebih rinci di festival ini. Dalam situasi seperti itu, tidak bisa tidak, para penerbit Indonesia pun berada dalam posisi sebagai konsumen—mereka membeli rights para penerbit di luar negeri untuk menerjemahkan bukunya ke dalam bahasa Indonesia.

"Kalau pergi ke Frankfurt, kita jadi sadar betapa kecilnya kita ini," kata Kartini Nurdin, Ketua Hubungan Luar Negeri Ikapi. Sebagaimana diketahui, hak cipta adalah produk globalisasi "terkini", sedangkan Indonesia belum lagi sempurna membangun "fondasi" bangunan perbukuannya. Salah satu indikatornya adalah statistik. Sejauh ini, memang belum ada statistik yang telah mencatat dinamika perkembangan buku: dari jumlah judul buku yang diproduksi per tahun hingga oplah penerbitan buku per tahun. Dan lembaga yang menghimpun dan memayungi para penerbit, Ikapi, tak pernah berusaha serius untuk mencatat hal ini dengan sebaik-baiknya.

Sejumlah kritik telah dilontarkan ke Ikapi—termasuk kritik terhadap mentalitas pengurusnya. "Dalam acara seperti ini, pengurus Ikapi pusat cuma mampir ke Frankfurt satu hari dan selebihnya pergi melancong keliling Eropa," ujar Aris Buntarman kepada TEMPO. Namun permasalahan dalam organisasi wadah penerbit itu menyerupai "lingkaran setan": masing-masing pihak punya andil dalam kesalahan yang lain. Ketua Ikapi pusat yang baru, Makfudin Wirya Atmaja, mengeluhkan susahnya meminta data penerbitan dari para anggotanya.

Selain faktor "jarak," masalah bahasa Indonesia, yang tak sepopuler bahasa Inggris, Jerman, atau Prancis, ikut membuat para penerbit Indonesia inferior. Dengan kata lain, berlakulah pepatah "tak kenal maka tak sayang." Soalnya, potensi para penulis Indonesia itu lumayan bagus. "Ada beberapa judul kita yang dibeli penerbit di Malaysia dan Singapura," kata Priyo Utomo, Direktur Eksekutif GPU, menyebut dua negara jiran yang tidak punya masalah dengan bahasa Indonesia. Buku sastra dan masakan termasuk dalam kategori ini.

Sederetan panjang masalah masih menunggu penyelesaian. Namun cerita tentang dunia perbukuan di Indonesia tidak seratus persen berisi ketertinggalan. Dalam pamerannya yang terakhir, Ikapi telah meninggalkan "habitat" lamanya yang lusuh di Istora Senayan dan menempati ruang pameran baru di Jakarta Hilton Convention Center, yang lebih mewah dan bertaraf internasional. Makfudin mengaku, ia mendapatkan respons yang positif dari kalangan penerbit dan jumlah pengunjung pun meningkat. Meski tidak jelas berapa besar peningkatan itu, yang terang, pameran itu membuat wajah pameran buku kali ini lebih menarik. Mungkin lebih menarik dari panorama pasar pagi.

Ignatius Haryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus