Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Luar biasa. Inilah pesta buku sejagat. Bayangkan saja, 14 ribu penerbit tumplek dalam sebu-ah gedung seluas 200 hektare. Mereka menjajakan 400 ribu judul buku. Seratus ribu di antaranya adalah judul buku yang paling gres yang terbit dalam setahun terakhir.
Pesta akbar itu bernama Frankfurt Book Fair 2002, yang berlangsung 9-14 Oktober lalu di Frankfurt, Jerman. Sedikitnya 300 ribu warga dunia, termasuk 10 ribu wartawan dari 80 negara, hilir-mudik larut dalam kemeriahan pesta.
Selain ini adalah sebuah perayaan bagi dunia imajinasi, lintas batas, lintas bahasa dan budaya, tentu saja acara tahunan ini adalah sebuah pesta bisnis yang akbar. Ribuan wakil perusahaan penerbit dari 110 negara berseliweran di kios-kios peserta pameran. Udara di kafe dan restoran yang tersebar di pojok gedung pameran penuh dengan perbincangan jual-beli royalti. Sembari menyeruput secangkir cappuccino panas, orang-orang yang berdandan rapi sibuk merundingkan imbalan penerbitan buku-buku dalam beragam bahasa.
Palmyra Verlag, penerbit dari Heidelberg, Jerman, misalnya, sukses menggaet kontrak penerbitan buku Ein Tag in September (Satu Hari di Bulan September) karangan novelis Palestina yang bermukim di Jerman, Rafik Schami, dalam bahasa Inggris. Sayang, Verlag tak mau terbuka menuturkan nilai kontrak. "Bisa puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu euro," katanya kepada TEMPO.
Bukan hanya Verlag yang mendulang untung. Panitia pameran, kerja bareng pemerintah Jerman dengan beberapa lembaga nirlaba, juga kejatuhan durian manis. Semua atribut dan keperluan pameran dipatok dengan harga yang mahal. Sepetak kios kecil dengan luas empat meter persegi disewakan dengan ongkos 1.000 euro (sekitar Rp 9,4 juta). Para juragan penerbitan buku tak segan merogoh kocek sampai miliaran euro untuk mendapatkan porsi luas. Penerbit dari Inggris membuka 859 kios, penerbit Amerika menyewa 734 kios, dan rekan sejawat dari Italia memajang buku di 324 kios pameran.
Lalu masih ada sumber aliran uang lain. Setiap pengunjung diharuskan membeli tiket dengan harga mulai 6,5 euro (Rp 61 ribu) hingga 34,75 euro (Rp 326 ribu). Belum lagi miliaran euro pendapatan iklan yang dipajang di lembaran karcis masuk, katalog, stiker, kalender, poster, dan baliho.
Memang nilai total transaksi dan laba yang dikantongi panitia pameran tidak pernah resmi diungkapkan. Namun ketiadaan data ini tidak menggugurkan predikat pameran Frankfurt sebagai pesta buku yang paling bergengsi. "Ini semacam kiblat bagi para penerbit sejagat," kata Richard Oh, pemilik jaringan toko buku QB. Richard Oh adalah pengunjung rutin Pesta Buku Frankfurt.
Mengapa kiblat?
Sebagai arena pertemuan (meeting point) semua penerbit di bumi, di pameran ini orang bisa mencari segala macam data, termasuk perhitungan potensi pasar yang rumit. Denyut nadi industri buku di semua pojok dunia pun terekam. Para penerbit berpeluang melacak apa yang sedang populer di Asia, mencari tahu apa potensi pasar di Cina, atau menyelidiki jenis novel yang sedang digandrungi masyarakat pencinta buku di Eropa.
Benar, Frankfurt Book Fair, yang ada sejak 1574 atau tak lama setelah Johannes Guttenberg menciptakan mesin cetak, bukan satu-satunya festival buku internasional. Puluhan pameran buku bertaraf dunia, di New York, Kanada, London, Singapura, bahkan juga di Jakarta, digelar beruntun sepanjang tahun. Hanya, berbeda dengan Frankfurt yang berorientasi pada penerbit, puluhan pameran itu lebih didedikasikan pada kepentingan masyarakat penggemar buku.
Edinburgh International Book Festival, di Edinburgh, Skotlandia, misalnya, lebih terfokus pada gerakan menggelorakan semangat cinta buku. Anak-anak, remaja, dan juga orang dewasa diprovokasi agar gemar membaca dan menulis buku. Jumpa pengarang pujaan, kelas obrolan tentang jurus menulis novel, dan juga berbagi pengalaman batin dengan keluarga penulis adalah menu utama di Festival Edinburgh. Tujuannya apa lagi bila bukan untuk menyebarkan virus gembira membaca dan menulis.
Selanjutnya, virus yang tersebar ini siap dipupuk dan dimanfaatkan segala pihak. Pemerintah Amerika Serikat, misalnya, menggelar program One Book One City secara serentak. Setiap kota berhak memilih satu judul buku yang dikampanyekan besar-besaran di seluruh kota. Judul bukunya beragam, dari The Diary of Anne Frank (Anne Frank), To Kill a Mockingbird (Harper Lee), sampai Jim the Boy (Tony Earley). "Jika seisi kota membaca dan membincangkan buku yang sama," demikian tulis situs One Book One City, "komunitas kita akan lebih punya ikatan kultur yang kuat."
Respons industri penerbitan lain lagi. Mereka siap merekam apa saja permintaan buku di dunia, antara lain dengan berbekal informasi dalam Frankfurt Book Fair. Jutaan kopi buku pun segera tersebar ke segala arah.
Industri media, baik elektronik maupun cetak, tak ketinggalan menularkan virus membaca. BBC Book Club, Salon.com, The New York Times, The Guardian, dan Amazon.com, misalnya, menyediakan kolom khusus tentang buku. Para kolomnis memandu, tepatnya memprovokasi, jutaan orang di seluruh dunia untuk membaca buku-buku yang mereka pilih dan mereka sajikan dalam situs internet.
Provokasi yang paling berhasil mungkin dilakukan Oprah Winfrey. Pembawa acara terkemuka ini menggelar perbincangan TV yang unik, yakni Book Club Selection. Dia mengundang bintang tamu dari berbagai kalangan, penulis, tokoh, dan artis untuk mendiskusikan buku-buku yang dipilih Oprah. Hasilnya cukup menakjubkan. Oprah sukses membangun sebuah komunitas gandrung buku. Jutaan pemirsa televisi tergerak dan ikut bergairah membeli buku pilihan Oprah hingga para penerbit tergiur berlomba-lomba agar bukunya dibicarakan dalam acara Oprah.
Tak bisa dimungkiri, hal ini turut berjasa membuat karya-karya Tom Clancy, John Grisham, Stephen King, dan Toni Morrison menjadi bestseller. Belakangan, acara bincang Oprah memang menuai protes lantaran dinilai kurang selektif memilih buku yang layak baca. Tapi tak sedikit pihak yang mengakui acara perbincangan Oprah turut menjadikan para penulis berpamor menjulang tak kalah dengan artis dan bintang film.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Wah, negeri ini sedang prihatin, Bung. Dalam Frankfurt Book Fair tahun ini, hanya ada tiga kios sempit yang bisa disewa penerbit kita, yakni PT Kanisius, PT Gunung Mulia, dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) bahkan tidak sanggup menyewa satu kios pun di pesta bergengsi ini. Padahal kita punya banyak karya bagus, misalnya karya Danarto, Budi Darma, Seno Gumira Adjidarma, dan Ayu Utami, yang layak ditawarkan ke forum dunia. Siapa tahu pula, dengan teknik menjajakan buku yang memikat, penerbit di London, Cina, atau Arab berminat menerjemahkan karya-karya penulis lokal ini ke bahasa mereka.
Sikap pemerintah setali tiga uang. Mereka hampir tak pernah menunjukkan sikap serius untuk menumbuhkan minat baca. Di zaman Orde Baru tercatat masih ada kegiatan Bulan Buku Nasional di sepanjang bulan Mei. Namun kini, di tengah hantu korupsi dan teror, pemerintah seperti tak ingat lagi soal pemumpukan budaya membaca.
Hasil ketidakseriusan menggugah minat baca ini cukup merisaukan. Indonesia memang berprestasi memiliki 84 persen penduduk yang melek huruf. Bandingkan dengan rata-rata negara berkembang, yang cuma mencapai angka 69 persen.
Tapi, menurut data UNESCO, di negeri kita ini hanya terbit 12 judul buku untuk setiap satu juta penduduk dalam satu tahun. Ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara berkembang (55 judul setahun untuk setiap sejuta penduduk). Total tiras surat kabar pun hanya menjangkau 2,8 persen rakyat. Sedangkan menurut patokan UNESCO, oplah surat kabar untuk negara berkembang harus bisa mencapai 30 persen.
Angka-angka tadi meneriakkan peringatan serius. Tingkat melek huruf kita barulah sekadar tempelan, belum fungsional, dan belum digunakan untuk menyerap serta memproduksi informasi tertulis. Selagi kita termangu menanti virus membaca tumbuh di sini, virus elektronik tumbuh pesat. Adegan klip MTV yang bergerak cepat, sinetron, musik, dan film merajai kehidupan sehari-hari.
Entah berapa tahun lagi kita hanya akan terpesona menonton kegembiraan Pesta Buku Frankfurt. Bukan menjadi bagian aktif dari pesta yang mengagumkan itu.
Mardiyah Chamim, Maria Pakpahan (Edinburg), Sri Pudyastuti Baumeiser (Frankfurt)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo