Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Sel Punca Buatan Surabaya

Produk stem cell dari Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga ini telah diujikliniskan pada 40 pasien berbagai penyakit. Sebanyak 80 persen pasien menunjukkan kemajuan.

7 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah 15 tahun Brahman Purba tersiksa oleh nyeri di pinggulnya yang terserang radang sendi (osteoarthritis). Persendian Brahman, 52 tahun, meradang karena dia sering terjatuh saat menekuni hobinya mengendarai motor trail ketika muda. Nyeri pada pinggangnya terus menyebar ke bagian tubuh lain, seperti telapak kaki, dan ia sulit buang air besar. Dia sangat bergantung pada obat-obatan yang wajib dikonsumsi tiga kali sehari.

Sejak Maret lalu, Brahman menjalani terapi sel punca di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya. Rangkaian terapi ini diawali dengan pengambilan sumsumnya sendiri (bone marrow) sebagai bahan baku sel punca. Dan hasilnya lumayan. Setelah empat kali mendapat pencangkokan sel punca, tulang rawannya kembali terbentuk. Kini kondisi kesehatannya semakin baik. "Cekot-cekot hilang," ujarnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu. "Saya sudah bisa angkat beban berat, buang air besar juga lancar, dan nyaman bepergian jauh."

Perubahan yang dirasakan Brahman tidak akan terjadi bila Laboratorium Kultur Jaringan di Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga dan RSUD Dr Soetomo tak bekerja sama melakukan riset terapi sel punca.

Awalnya adalah penelitian virus oleh Prof Dr Fedik Abdul Rantam, 54 tahun, di Laboratorium Kultur Jaringan. Lebih dari sepuluh tahun dia meneliti virus penyebab penyakit demam berdarah dengue sampai berhasil membuat vaksinnya. Rekam jejaknya yang cemerlang membuat RSUD Dr Soetomo pada 2008 mengajaknya melakukan riset bersama memproduksi stem cell atau sel punca.

"RSUD Dr Soetomo kerap mengoperasi pasien kecelakaan yang kurang mampu. Tapi produk stem cell masih diimpor dengan harga mahal, sementara riset di laboratorium kami belum menciptakan produk tepat guna," kata doktor lulusan bidang virologi molekuler dan imunologi Robert Koch Institut, Freie Universitaet Berlin, Jerman, ini mengenang asal mula terbentuknya kolaborasi itu. "Kami kemudian serius melakukan riset rekayasa stem cell. Harapannya, produk stem cell Unair lebih murah tanpa mengorbankan kualitasnya."

Dari awalnya hanya bisa mengembangkan produk sel punca untuk merekonstruksi tulang dan tendon pasien kecelakaan, kini kelompok riset stem cell Lembaga Penyakit Tropis Unair yang dipimpin Fedik punya diversifikasi produk. Berbagai produk sel punca untuk pengobatan kanker, stroke, diabetes, kelainan tulang, dan infeksi berat sekelas human immunodeficiency virus (HIV) pun sudah dihasilkan. Namun produk sel punca made in Surabaya ini belum dikomersialkan, masih pada tahapan uji klinis.

Menurut Fedik, selain dari pasien sendiri, sumsum bisa diperoleh dari donor. Biasanya sumsum dipanen dari tulang pinggul. Sebanyak 950 sentimeter kubik sumsum cukup untuk menghasilkan produk sel punca yang diinginkan.

Semua sel darah di tubuh manusia berasal dari sel-sel muda yang disebut sel induk (sel punca) pembentuk darah (hematopoietic stem cell). Sel punca ini kebanyakan berada di sumsum. Di situlah mereka membelah menjadi sel-sel darah baru. Sumsum yang diambil merupakan jaringan sel yang masih bercampur.

Setelah pemilahan, dihasilkan bibit sel jaringan yang siap dikultur. Bibit lantas ditaruh di cawan petri. Proses inkubasi berlangsung selama lima-enam hari. Sel-sel yang semula terpisah kemudian akan menyatu dan berubah bentuk. Pada saat itulah ilmuwan harus menentukan sel jaringan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan. Sel yang sudah menyatu itu lalu dipisahkan lagi menggunakan enzim. "Saat dipisahkan, sel jaringan ini ditanam dengan media penumbuh sel, apakah mau untuk sel jaringan stroke, diabetes, patah tulang, atau kanker," ujar Fedik.

Setelah proses pemisahan dengan enzim, akan ditemukan dua macam sifat sel: sel yang bisa menempel dan yang terlepas. Sel jaringan yang memiliki kemampuan menempel cenderung dikultur bagi perbaikan kerja jantung, pengobatan patah tulang, stroke, dan diabetes. Adapun sel yang terlepas biasanya digunakan untuk pengobatan infeksi atau kanker dan menjadi sel imun.

Proses lanjutan membutuhkan waktu yang bervariasi. Menurut Sekretaris Pusat Pengobatan Regeneratif dan Stem Cell RSUD Dr Soetomo, Purwati, butuh 4-21 hari untuk mengultur sumsum hingga menghasilkan sel yang siap diaplikasikan.

l l l

Selain Brahman, sudah 39 pasien yang merasakan uji klinis terapi sel punca ini. Purwati merinci, ada seorang pasien ­stroke, empat pengidap diabetes melitus, empat penderita kanker, tiga orang yang mengalami infeksi berat, seorang penderita auto-imun, dan 26 pasien kelainan tulang lainnya yang menjalani uji klinis terapi sel punca. Menurut dia, pihaknya juga sudah menjadwalkan terapi sel punca pada pasien penyakit lever.

Dari ragam penyakit yang telah diterapi, Purwati mengklaim 80 persen pasien menunjukkan kemajuan menggembirakan. Evaluasi terhadap para pasien itu dida­sari perbaikan fungsi organ tubuh yang sakit. Pasien stroke, misalnya, kata dia, "Dari enggak bisa menggerakkan tangannya, sekarang mulai ada kemajuan."

Tak ada syarat khusus bagi pasien untuk menjalani terapi sel punca, asalkan penyakitnya sesuai dengan sel jaringan yang sedang dikembangkan. Sebab, sel jaringan mempunyai kemampuan menstimulus dan beradaptasi dengan lingkungannya. Namun, sebelum diterapi, pasien wajib menjalani tes penanda (marker) untuk mengetahui apakah tubuhnya memiliki penolakan terhadap bahan sel punca.

Untuk menjalani terapi sel punca di RSUD Dr Soetomo, pasien cukup membayar Rp 30 juta. Biaya itu meliputi pengambilan sumsum hingga sel ditanamkan ke tubuh pasien. Pasien cukup sekali diambil sumsumnya, karena sel bisa menggandakan diri. Menurut Fedik, biaya ini hanya untuk mengganti ongkos media penumbuh sel.

Fedik dan tim stem cell RSUD Dr Soetomo memiliki target untuk mengembangkan penelitian sel punca, baik dari sisi teknologi, jumlah peneliti ilmu dasar, maupun pelayanan kesehatan. Target timnya, menurut Fedik, menyediakan sel-sel yang dapat digunakan untuk penyakit degeneratif, seperti parkinson dan alzheimer. "Untuk penyakit yang tidak bisa diobati dengan antibiotik, bisa digunakan stem cell sebagai bentuk pengobatan biologis. Ini pengobatan masa depan," katanya.

Diananta P. Sumedi


Membuat Sel Punca

  • Mengambil sumsum (bone marrow) sebagai bahan baku sel punca. Biasanya sumsum dipanen dari tulang pinggul.
  • Sumsum yang diambil merupakan jaringan sel yang masih bercampur. Setelah dipilah, dihasilkan bibit sel jaringan yang siap dikultur.
  • Bibit lantas ditaruh di cawan petri. Proses inkubasi berlangsung selama lima-enam hari. Sel-sel yang semula terpisah kemudian akan menyatu dan berubah bentuk.
  • Selain dari pasien sendiri, sumsum bisa diperoleh dari donor.
  • Pada saat itulah ilmuwan harus menentukan sel jaringan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus