Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEURIG menjual sekotak kopi siap seduh di situs resminya. Harganya dibanderol US$ 3,99. Isinya: lima kantong, dikemas seperti teh celup, dan ditakar untuk secangkir kopi. Di pasar internasional, kemasan kopi seperti itu ngetren dengan sebutan coffee pod.
Keurig Green Mountain Inc berpusat di Vermont, Amerika Serikat, menjual sekotak kopi celup dengan merek Green Mountain Coffee Roasters. Variannya Sumatra Reserve Coffee. Cita rasa kopinya tebal, kompleks, dan berkafein. Bijinya dipanggang sempurna (dark roast).
Sumatra Reserve Coffee itu tidak asing bagi Ketua Koperasi Permata Gayo, Djumhur Abubakar. Dengan mantap, Djumhur mengatakan biji kopi Sumatra Reserve Coffee berasal dari petani anggota koperasinya. "Koperasi kami mengekspor hingga 1.400 ton kopi per tahun," kata Djumhur. Tujuannya Amerika, Eropa, Kanada, dan Australia.
Koperasi Permata Gayo memang hanya mengekspor dalam bentuk biji kopi hijau. Baru setelah sampai di tangan pembeli luar negeri, biji-biji hijau itu dipanggang, diolah, dan dipasangi merek. Salah satunya Green Mountain Coffee: Sumatra Reserve Coffee. Djumhur bisa melacak hasil akhir kopinya karena koperasinya sudah mengantongi sertifikat fair trade. Koperasi Permata Gayo memilikinya sejak 2006.
Inisiatif fair trade awalnya muncul pada 1988 di Belanda dengan label Max Havelaar-tokoh sekaligus judul novel karangan Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Inisiatif tersebut menawari produsen kopi mengikuti berbagai standar sosial dan lingkungan.
Label fair trade memberikan kepastian bahwa produk menguntungkan petani bahkan saat produk sampai di akhir rantai pasokan. Biasanya produsen akhir akan mencantumkan asal biji kopi, lengkap dengan nama petani atau koperasinya, seperti yang dilakukan Keurig. Esperanza, roaster kopi asal Barcelona, Spanyol, yang mengambil biji dari Koperasi Permata Gayo, juga menjualnya dengan merek Sumatra.
Kopi Nusantara menjadi perbincangan di dunia karena rasanya yang unik. Dalam Specialty Coffee Association of AmericaExpo di Atlanta, Amerika, pada 2015, misalnya, enam jenis kopi asal Jawa Barat masuk 20 besar kopi dengan nilai uji cicip (cupping) paling tinggi. Empat di antaranya nongkrong di 10 besar. Gelar juara pertama diraih Gunung Puntang yang dirintis Ayi Sutedja. Peringkat kedua Mekar Wangi dari kebun Wildan Mustofa dan keempat Malabar Honey produksi Slamet Prayogo.
Menjadi jawara di luar negeri membawa berkah. Koperasi Solok Radjo mengekspor hampir separuh produksi kopinya saban tahun setelah pada 2014 masuk tiga besar dalam uji seruput di Thailand. Capaian itu terulang pada 2016 dan 2017 di Melbourne, Australia. Skor cupping kopi Solok selalu di atas 85.
Tahun lalu, Koperasi Solok Radjo mengekspor 4 ton kopi. Menurut salah satu pengurusnya, Teuku Firmansyah, tujuan ekspornya Amerika dan Australia. "Produksi per tahun itu 10 ton," kata Firmansyah. Ada 800 petani yang tergabung dengan Solok Radjo dan memproduksi 10 ton kopi saban tahun. Sisa 6 ton lagi tiap tahun untuk kafe dan roastery dalam negeri, seperti Tanamera Coffee dan Klinik Kopi.
Amerika menjadi tujuan favorit ekspor kopi Nusantara. Dua tahun lalu, produksi kopi nasional 639.300 ton. Dari jumlah itu, arabika menyumbang 173.600 ton atau 27 persen. Saat itu, ekspor ke Amerika tercatat 67.320 ton. Sisanya diekspor ke Jerman 42.630 ton, Malaysia 40.390 ton, Italia 35.820 ton, dan Jepang 35.350 ton.
Pemilik PD Pulokopi di Pangalengan, Jawa Barat, Agus Rusman, punya jawaban kenapa ekspor kopi paling tinggi ke Negeri Abang Sam. Menurut dia, tingginya ekspor ke Amerika tidak lepas dari keberadaan Starbucks, gerai kopi internasional asal negara itu.
Agus saban hari mengumpulkan 20 ton kopi kupas (HS) dari 500 petani di Pangalengan. Sebagian dia pasok ke PT Sri Makmur, eksportir kopi yang berpusat di Medan. "PT Sri Makmur inilah eksportir untuk Starbucks," ujarnya. Selain memasok untuk Sri Makmur, Agus menyuplai eksportir yang berbasis di Surabaya, PT Indocom Citra Persada.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) mencatat perubahan alur ekspor kopi Nusantara. Dalam terbitannya, Kopi: Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan, Produk Hilir, dan Sistem Kemitraan, Puslitkoka menyebutkan perubahan alur terjadi selama satu dekade terakhir. Perubahan itu dipicu oleh makin kuatnya pengaruh penyangrai kopi internasional semacam Starbucks, Nestle, dan Kraft-Mondelez di area sentra kopi.
Dalam memenuhi kebutuhan biji hijau, penyangrai multinasional itu berkongsi dengan perusahaan perdagangan internasional, seperti Indo Cafco dan Olam International. Perusahaan-perusahaan perdagangan internasional inilah yang belakangan langsung terjun ke petani mencari biji hijau.
Kondisi itu menantang eksportir lokal. "Akhirnya, banyak eksportir lokal menjalin koordinasi rantai pasok yang ketat dengan petani," tulis Puslitkoka dalam terbitannya. Dua eksportir yang melakukan hal itu adalah Indocom dan PT Megahputra Sejahtera, eksportir asal Makassar. Indocom berkongsi dengan para petani di Flores, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Timur, sedangkan Megahputra bermitra dengan petani kopi di Enrekang, Sulawesi Selatan.
Di mata Agus Rusman, pengendali ekspor kopi Nusantara saat ini masih Medan. Alasannya sederhana: kebanyakan perusahaan eksportir kopi bermarkas di sana. "Kiblatnya arabika itu Medan," katanya. "Kalau orang Medan enggak beli kopi kita, dampaknya luar biasa."
Sudah sejak 2007 Agus mengolah cherry merah dari petani menjadi biji hijau. Biji-biji kategori premium itulah yang dia jual ke eksportir. Sejak 2015, harga green bean kadar 15-15 (air berbanding decaf) anteng di angka Rp 50 ribu per kilogram. Adapun petani menjual cherry Rp 26 ribu ke pengepul yang mengumpulkannya ke Agus.
Seorang pengepul kopi asal Lintong, Sumatera Utara, Jumitro Sihombing, mengatakan biji setoran Agus dan dari daerah lain akan dicampur sesampai di Medan. Jumitro juga kerap berkeliling Sumatera Utara mencari biji kopi. Dia sering berkeliling di Humbang Hasundutan. Setelah dicampur, kopi itu dilabeli sebagai Sumatra Java Coffee.*
Penggolongan
Kualitas kopi arabika digolongkan dalam beberapa kelas, tapi secara umum dibagi dalam tiga tingkatan:
1. Spesialti
Syarat:
» Berasal dari buah kopi petik merah
» Kecacatan biji kurang dari 4 persen
» Nilai uji cicip di atas 80
2. Premium
Nilai uji cicip 70-80
3. Komersial
Nilai uji cicip di bawah 70
Trivia
Kapan kopi spesialti pertama kali diperkenalkan?
Istilah kopi spesialti pertama kali dipopulerkan oleh Erna Knutsen, pendiri perusahaan kopi Knutsen Coffees Ltd, yang berbasis di San Francisco, Amerika Serikat, dalam Tea & Coffee Trade Journal pada 1974. Knutsen melontarkan istilah ini untuk menggambarkan kopi dengan kualitas istimewa yang berbeda dengan kopi premium.
Apa itu fine robusta?
Robusta pun punya tingkatan tersendiri. Yang paling tinggi kualitasnya adalah fine robusta. Syaratnya hampir sama dengan kopi spesialti, yakni memiliki nilai uji cicip di atas 80. Istilah ini diperkenalkan pada 2009 untuk meningkatkan kualitas kopi robusta, yang kerap dianggap sebagai kopi kelas dua.
Glosarium Peaberry : biji kopi tunggal yang berasal dari sebuah kopi
Red cherry: buah kopi merah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo