Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para petani kopi arabika spesialti di Indonesia lebih menggemari metode giling basah karena prosesnya yang cepat. "Kopi yang digiling basah hanya memakan waktu beberapa hari untuk kering, sehingga memudahkan petani menjual kopi lebih cepat," kata Iwan Juni, pegiat kopi asal Takengon, Aceh.
Giling basah, yang dikenal dengan istilah semi-washed atau wet-hulled, merupakan proses pascapanen kopi tradisional khas Indonesia. Di sebagian besar wilayah Indonesia, yang memiliki curah hujan dan kelembapan tinggi, pengeringan kopi bisa memakan waktu lebih dari tiga pekan. Dengan metode giling basah, pengeringan kopi bisa tiga kali lebih cepat.
Dalam proses giling basah, buah dikupas dan dihilangkan lendirnya, lalu didiamkan sebentar. Kopi dikeringkan hingga kadar airnya 30-35 persen. Pengupasan kembali dilakukan untuk membersihkan kulit ari atau lapisan cangkang biji kopi. Biji kopi yang telah telanjang itu-disebut kopi beras basah atau kopi labu-dikeringkan lagi sampai kadar airnya kurang dari 12,5 persen dan menjadi biji kopi hijau yang khas.
Dengan metode lain, misalnya natural process, kopi dikeringkan dalam keadaan masih berbalut kulit, yang melindunginya dari kerusakan akibat terpapar panas. Dalam keadaan seperti itu, proses pengeringan kopi menghabiskan waktu lebih lama.
Dalam proses giling basah, pengupasan kulit ari membuat biji kopi tak terlindungi sehingga sinar matahari bisa langsung membuatnya cepat kering. Dengan kondisi penyinaran terik, misalnya pada suhu 40 derajat Celsius, "Kopi yang digiling basah akan kering dalam 2-4 hari," tulis Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia dalam bukunya, Kopi: Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan, Produk Hilir, dan Sistem Kemitraan. Namun, jika cuaca mendung atau penyinaran kurang, penjemuran memakan waktu 7-10 hari.
Pusat penelitian itu menyebutkan pengolahan giling basah sekarang banyak diterapkan di perkebunan kopi arabika rakyat. Metode ini dapat dijumpai di kebun-kebun kopi di Gayo, Aceh Tengah; Sumatera Utara; Jawa Barat; Enrekang dan Toraja di Sulawesi Selatan; Manggarai dan Bajawa di Nusa Tenggara Timur; serta sebagian wilayah Bali dan Jawa Timur.
Tahapan giling basah yang unik secara dramatis berpengaruh terhadap kualitas rasa seduhan kopi. "Kopi semi-washed memiliki kadar keasaman rendah serta cita rasa yang lebih lembut dan berat," tulis James Hoffman dalam buku The World Atlas of Coffee: From Beans to Brewing-Coffees Explored, Explained and Enjoyed.
Metode giling basah, kata Hoffman, juga memunculkan cita rasa tambahan pada kopi, kadang rasa tanaman atau rempah, tembakau atau kulit, ada kalanya kayu atau apak, serta earthy-karakteristik aroma tanah atau debu yang tertinggal di biji kopi.
Menurut Hoffman, pengupasan kulit ari pada proses giling basah sempat memicu perdebatan. Sebagian orang menilai metode ini banyak menghasilkan kopi yang cacat atau rusak. Namun, uniknya, permintaan pasar atas kopi yang digiling basah tak pernah surut. "Cita rasa kopi semi-washed telah melekat dengan kopi asal Indonesia," ujar Hoffman. *
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo