Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bunyamin Lauwrence beraksi seperti pendekar kungfu yang sedang menotok tubuh lawan siang itu. Tangannya bergerak lincah menusukkan jarum-jarum ke tubuh para pria dan wanita di hadapannya. Dalam sekejap, di ruang periksa seluas 50 meter persegi, tubuh 10 orang yang telentang itu pun sudah penuh jarum.
Tentu saja Bunyamin bukan pendekar kungfu. Ia ahli tusuk jarum (akupunktur) di Poliklinik Akupunktur Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur. Setiap hari ia bekerja ditemani koleganya, Ratnawati Latif. Selain mereka, ada enam dokter praktek dari pendidikan spesialis akupunktur di almamater Bunyamin.
Setiap hari, 25-30 orang selalu datang ke poliklinik itu. Ada yang berasal dari poliklinik bagian lain karena sakit yang tak kunjung sembuh, ada pula yang datang langsung tanpa rujukan. ”Ini tanda masyarakat sudah sadar manfaat terapi ini,” kata dokter yang belajar khusus tentang akupunktur pada tahun 2000 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu.
Selain melakukan pengobatan saraf dan penyakit dalam, seperti stroke dan diabetes, poliklinik ini menerima pasien yang ingin tampil menawan. ”Biasanya karena masalah obesitas dan ingin wajah cantik,” kata dokter lulusan Universitas Kristen Indonesia itu.
Jejak metode pengobatan Timur di Indonesia dimulai pada pertengahan 1960-an. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menjadi rumah sakit percobaan dan studi akupunktur pada 1963.
”Setelah ada lulusan dari sana, dibentuk poliklinik akupunktur di rumah sakit ini dan Rumah Sakit Fatmawati,” kata Bunyamin. Sejak itu, rumah sakit yang didirikan pada 1963 ini menjadi salah satu tempat praktek dokter yang mengambil studi spesialisasi akupunktur.
Keadaan berubah pada masa Orde Baru. Segala hal yang berbau oriental dilarang, termasuk di dunia medis. Stigma pun muncul. ”Teman-teman sering bergurau, perdukunan dimulai kalau saya sudah mulai bekerja,” kata Koordinator Pengobatan Komplementer Ahmad Siregar.
Setelah era reformasi datang, metode pengobatan Timur kembali berpadu dengan Barat. Pada 2007, Rumah Sakit Persahabatan menjadi pilot project pengobatan komplementer-alternatif. Walau kliniknya belum dibuka, sudah ada sepuluh dokter yang siap memberikan pengobatan herbal.
Sesuai dengan namanya, sifat pengobatan Barat dan Timur saling melengkapi. Pengobatan Timur berfokus pada penguatan daya tahan tubuh. Sedangkan Barat lebih pada penyembuhan penyakit, dan mengabaikan daya tahan tubuh.
Pengobatan dari Timur semakin jadi primadona setelah harapan hidup manusia lebih tinggi dan banyak penyakit muncul di usia lanjut. ”Pengobatan konvensional atau Barat kurang mampu menanggulangi penyakit jenis ini.” Sebab, pasien usia lanjut memiliki daya tahan tubuh lemah. ”Kuncinya meningkatkan daya tahan tubuh.” Di sinilah herbal berperan. Karena itu, herbal mulai banyak diteliti.
Cleimens Manyakori, Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Persahabatan, mengatakan pengobatan Timur saat ini sangat disarankan karena ternyata pengobatan konvensional tak mampu mengobati terutama pasien yang kondisi tubuhnya lemah. Jika diberi obat kimia, akan berisiko. ”Obat kimia merusak organ tubuh,” katanya.
Pejabat rumah sakit itu menilai perlunya pengobatan Indonesia berkaca pada Cina. Negeri penemu pengobatan akupunktur dan herbal itu masih menggabungkan metode pengobatan Timur dan Barat. Untuk mengobati kanker, misalnya, minimal harus ada tiga dokter, terdiri atas dokter medis Barat, dokter komplementer, dan ahli gizi. Pengobatan pun menjadi terpadu. ”Karena metode pengobatan tak efektif sendiri-sendiri.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo