Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Medis Ada, Estetis pun Tersedia

Rumah Sakit Dharmais menjadi proyek percontohan akupunktur medis di Indonesia. Kini mulai mengembangkan terapi herbal.

10 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWALNYA tangan Ning Hasruty hanya kesemutan biasa. Tiga tahun ia mendiamkan gejala ini. Lama-lama gangguan itu kian menyakitkan. Wanita 53 tahun itu pun sulit menggunakan tangan kanannya. Padahal, sebagai perias, pekerjaannya sangat bergantung pada kelenturan jari-jari tangan.

Saat berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Ning didiagnosis terkena carpal tunnel syndrome. Satu saraf di pergelangan tangannya tertekan oleh jaringan ikat. Dokter meminta kesediaannya dioperasi untuk melancarkan saraf yang tertekan itu.

Mendengar kata operasi, ibu tiga anak ini gentar. Ia mencari alternatif. Ning disarankan menempuh pengobatan alternatif tusuk jarum. Awalnya ia ragu karena menganggap terapi itu tergolong tindakan nonmedis. ”Takut jarumnya tidak higienis, nanti malah tertular (penyakit lain),” katanya.

Belakangan ia tahu akupunktur adalah bagian dari ilmu kedokteran. Maka Ning pun berobat ke bagian akupunktur medis di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat. Ia ditangani dr Aldrin Neilwan, Sekretaris Kolegium Akupunktur Indonesia.

Di tangan Aldrin, Ning empat kali menjalani terapi. Jarum ditancapkan ke dua pergelangan tangannya—hanya setengah jam tiap kali datang. Satu seri pengobatan berlangsung 10-12 kali. Rata-rata seminggu dua kali. Jadi, seluruh proses selesai dalam lima-enam pekan. ”Alhamdulillah, sekarang sudah membaik,” kata Ning gembira.

Rumah Sakit Kanker Dharmais memang sudah membuka layanan akupunktur sejak 2003, setelah Menteri Kesehatan meneken surat keputusan yang menunjuk empat rumah sakit sebagai pilot project pengembangan terapi komplementer—salah satunya Dharmais. Diresmikan pada 30 Oktober 1993, rumah sakit ini awalnya dikelola Yayasan Dharmais—milik mantan presiden Soeharto. Setahun kemudian, pengelolaan rumah sakit ini diserahkan kepada pemerintah.

Hingga sekarang, terapi kedokteran komplementer yang berjalan di Dharmais adalah akupunktur medis. Sedangkan pengobatan herbal masih dikembangkan. Dokter yang melayani akupunktur medis di situ hanyalah Aldrin. Ia satu dari 80 dokter spesialis akupunktur medis di Indonesia.

Ruang praktek Aldrin dilengkapi elektrostimulator dan kabel-kabel yang menjulur. Kabel-kabel positif dan negatif itu dipakai untuk mengalirkan listrik ke jarum yang menempel di tubuh pasien.

Meski dilabeli kedokteran komplementer, terapi akupunktur di Dharmais tak hanya berfungsi sebagai komplemen (penunjang), tapi juga sebagai alternatif. Ia disebut terapi komplementer jika dilaksanakan berbarengan dengan pengobatan konvensional. Tujuannya: memaksimalkan hasil dari pengobatan konvensional. Misalnya, untuk pasien kanker yang menjalani kemoterapi, akupunktur mengurangi efek samping kemo—lemas, nyeri, mual, dan muntah—serta meningkatkan daya tahan tubuh sehingga pengobatan lebih efektif.

Akupunktur dikategorikan terapi alternatif jika pasien hanya menjalani tusuk jarum, tanpa pengobatan konvensional. Misalnya, ada pasien kanker yang karena usia dan kondisi fisiknya tak bisa—atau tak mau—menjalani operasi ataupun kemoterapi. Maka, ketika ia memilih akupunktur, itu dikategorikan terapi alternatif.

Karena judulnya alternatif, hasilnya tidak sejelas jika pasien menjalani operasi ataupun kemo. Akupunktur hanya bersifat paliatif, yakni meningkatkan kualitas hidup pasien, menghilangkan nyeri dan mual akibat kanker, serta meningkatkan stamina—bukan secara langsung menyembuhkan.

Dokter Aldrin mengatakan pilihan pengobatan ada di tangan pasien. Dokter hanya memberikan penjelasan tentang jenis-jenis terapi. Selebihnya adalah hak pasien untuk memilih apakah akan menjalani akupunktur sebagai komplementer atau alternatif.

Selain sebagai pengobatan (baik penunjang maupun alternatif), akupunktur bisa untuk tujuan pencegahan. Misalnya, pasien stroke menjalani akupunktur untuk memperbaiki fungsi-fungsi organnya setelah operasi atau pengobatan konvensional.

Aldrin menyatakan peran akupunktur sangat besar dalam mencegah penyakit. Dalam ilmu akupunktur, banyak titik yang berfungsi meningkatkan daya tahan pasien sehingga ia tak mudah dihampiri penyakit tertentu. ”Akupunktur jauh lebih efektif hasilnya,” kata dokter alumnus Universitas Kristen Indonesia yang mengambil magister di bidang rumah sakit pada 1996 dan biomedis pada 2007 di Universitas Indonesia itu.

Banyak orang datang ke Dharmais untuk tujuan preventif. Aldrin bahkan tak jarang menerima pasien yang sekadar ingin berkonsultasi atau menjalani terapi menjaga kesehatan. Rumah sakit ini menggratiskan biaya konsultasi karena menganggapnya bagian dari memperkenalkan akupunktur kepada masyarakat.

Selama ini, kata Aldrin, pasien akupunktur datang ke Dharmais karena keinginan sendiri. Ada pula yang dirujuk oleh dokter spesialis lain. Biasanya yang dirujuk adalah mereka yang secara fisik dan usia sudah tak sanggup menjalani pengobatan konvensional.

Pasien akupunktur Dharmais datang dari mana-mana, termasuk Malaysia. Pasien dari negeri tetangga itu ingin menjalani terapi tusuk jarum yang dikerjakan dokter. Sebab, kata Aldrin, menurut orang itu, akupunktur di Malaysia kebanyakan ditangani nondokter.

Menurut catatan Aldrin, pasien akupunktur di Dharmais rata-rata sepuluh orang per hari. Secara umum, ada dua kelompok pasien akupunktur di Dharmais: karena penyakit dan estetis. Karena Dharmais adalah rumah sakit spesialis kanker, kebanyakan pasiennya pun penderita kanker—meskipun banyak juga yang bukan kanker, seperti stroke, hipertensi, atau infertil. Sedangkan pasien yang datang karena keperluan estetis antara lain untuk urusan kecantikan dan menurunkan berat badan.

Di sejumlah rumah sakit, akupunktur medis tak mudah disetujui dokter spesialis lain. Tapi tidak demikian di Dharmais. Menurut Aldrin, sejauh ini tidak ada tentangan apa pun dari dokter lain. Bahkan mereka justru merujuk pasien-pasien ke akupunktur medis agar hasil pengobatannya lebih baik.

Guna mengembangkan ilmu akupunktur, empat universitas di Indonesia bekerja sama dengan Beijing University of Chinese Medicine. Aldrin bahkan sudah dua kali diundang ke universitas itu untuk mengembangkan wawasan pengobatan komplementer ini. Demi kesehatan, ke Cina pun ilmu apa pun memang layak dikejar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus