Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH enam tahun Pipit Durahim menjalani ritual cuci darah dua kali seminggu di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. Semua serba lancar sampai kemudian, tiga bulan lalu, kakinya mulai baal (mati rasa). "Kalau pakai sandal, tidak terasa, tahu-tahu sudah lepas," kata pria 60 tahun ini.
Dokter pun menyarankan kakek tiga cucu ini menjalani akupunktur untuk melancarkan aliran darah. Kebetulan rumah sakit yang berlokasi di Kebayoran Baru itu memiliki pelayanan tusuk jarum. Maka, setiap usai cuci darah, kakek tiga cucu ini pun menjalani tambahan pengobatan.
Pensiunan karyawan Pertamina ini ditangani dokter spesialis akupunktur Ira Primayana, Kepala Bagian Akupunktur Rumah Sakit Pusat Pertamina. Terapi dilakukan dengan menusukkan jarum-jarum ke kulit kepala (tepatnya di dekat telinga), lalu ke kaki. Dalam kasus Pipit, dokter menancapkan lebih dari 20 jarum: dari punggung kaki hingga ke atas mata kaki.
Jarum-jarum itu kemudian disambungkan ke alat elektrostimulator dan ultrasound. "Ini supaya aliran darah lancar," kata dokter berusia 45 tahun itu. Posisi jarum ditusuk berbeda-beda, tergantung penyakit pasien. Misalnya, penderita herpes dan stroke akan ditusuk di bagian punggung. Pipit merasakan manfaat terapi ini dan menyatakan akan setia berobat ke rumah sakit itu.
Didirikan pada 6 Januari 1972, Rumah Sakit Pusat Pertamina dikelola Yayasan Pertamedika-anak perusahaan Pertamina dan Yayasan Tabungan Pegawai Pertamina (kini bernama PT Pertamina Saving Investment). Ada enam pusat pelayanan kesehatan milik perusahaan perminyakan itu, antara lain RS Pusat Pertamina, RS Pertamina Jaya di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, serta RS Pertamina Tanjung, Prabumulih, Balikpapan, dan Cirebon.
Pelayanan akupunktur sudah dikembangkan di Rumah Sakit Pusat Pertamina sejak 1975. Namun kala itu peminatnya sangat sedikit. Dukungan dari dalam rumah sakit sendiri pun minim. Dulu, bagian-bagian lain di rumah sakit itu pun enggan bekerja sama dengan akupunktur.
Ini lantaran masih banyak yang menganggap akupunktur sebagai pengobatan alternatif yang "nonmedis". Padahal, kata Ira, akupunktur adalah terapi alternatif jika pengobatan dengan cara lain sudah tak mempan. "Kami bukan dukun," ujar dokter alumnus Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta ini.
Bagian Akupunktur pun lalu mempromosikan diri lewat beragam simposium dan penelitian. Hasilnya baru terasa pada 1990-an. Hampir semua bagian di Rumah Sakit Pusat Pertamina telah bergandengan dengan akupunktur. Termasuk paru, ortopedi, gizi, neurologi, rehab medik, dan penyakit dalam.
Jika ada pasien asma kronis yang dalam keadaan akut tak mempan diberi obat, ia akan direkomendasikan ke akupunktur agar bisa lepas dari selang oksigen. Hasilnya umumnya positif. Pasien, misalnya, jadi bisa lebih cepat pulang.
Ada pula sejumlah pasien yang datang bukan karena direkomendasikan bagian lain di rumah sakit ini. Misalnya, ada pasien asal India yang sejak lahir menderita kelainan di mata yang nyaris membuatnya buta. Ia pun menyambangi Pertamina dan melakoni 24 kali terapi tusuk jarum. Saat si pasien kembali ke dokter mata, syukurlah matanya sudah membaik.
Ada bermacam metode akupunktur yang diterapkan Ira dan koleganya. Selain dengan metode tusuk jarum yang standar, ada yang menggunakan pemanas, lampu penghangat, dan metode tradisional, yakni moksa (daun-daunan herbal yang digulung, lalu dibakar-seperti rokok). Kini akupunktur medis kian populer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo