Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Lain Patgulipat Gayus

Penyelidikan internal Kementerian Keuangan menemukan jalur lain kongkalikong mafia pajak Gayus Tambunan. Dari pejabat Inspektorat Jenderal sampai panitera Pengadilan Pajak disangka terlibat. Ada yang menyembunyikan dokumen penting, ada yang diam-diam bergerak memperlancar urusan klien Gayus. Meski mereka sudah dijatuhi sanksi, nama-namanya belum pernah diungkapkan ke publik. Akhir April ini tim kasus Gayus yang dipimpin Wakil Presiden Boediono akan mengambil sikap.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat itu ditandatangani Denny Adrianz, Vice President Bumi Resources Urusan Finance and Control. Bertanggal 12 Mei 2008, paragraf pertama surat itu berbunyi, ”Kami bermaksud meminta klarifikasi dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan atas nama anak perusahaan kami, PT Kaltim Prima Coal.” Surat itu dialamatkan kepada Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan.

Tapi sepucuk surat itulah yang belakangan memicu sederet persoalan di inspektorat jenderal kementerian itu. Sampai-sampai sebuah penyelidikan internal berlangsung pertengahan tahun lalu, dan rampung enam bulan kemudian. Hasilnya: dua pejabat eselon dua dihukum: dibebaskan dari tugas dan diturunkan pangkatnya. Mereka dituding lalai dan terindikasi terlibat perkara konflik kepentingan: menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pihak lain.

Pada Maret lalu, hasil pemeriksaan Inspektorat Bidang Investigasi di Kementerian Keuangan itu mulai dibahas dalam rapat-rapat tim terpadu penanganan kasus mafia pajak yang dipimpin Wakil Presiden Boediono. Tim itu dibentuk berdasarkan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, akhir Januari lalu. ”Ini harus dijalankan jajaran penegak hukum dan unsur pemerintah terkait, untuk menuntaskan kasus Gayus Tambunan,” kata Yudhoyono saat mengumumkan 12 instruksinya di Istana Merdeka, Jakarta.

Pucuk pimpinan Kementerian Keuangan, Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ada dalam tim terpadu itu. Dalam rapat setiap dua pekan, modus dan jejaring mafia pajak Gayus dibongkar dan dipelajari. Indikasi keterlibatan sejumlah pejabat di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dibahas khusus.

”Masalah itu sekarang sedang ditelusuri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Markas Besar Kepolisian,” kata seorang pejabat di kantor Wakil Presiden pekan lalu. ”Ada bukti-bukti yang masih perlu dilengkapi,” ujarnya.

Awal Mei, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan, Keamanan akan mengajukan rancangan Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Sebagian isinya berasal dari pembahasan di tim terpadu Wakil Presiden. ”Akan ada sejumlah rekomendasi perbaikan yang menyeluruh di sistem penegakan hukum, perpajakan, dan bea-cukai,” katanya.

Temuan anyar dari Lapangan Banteng ini penting karena mengindikasikan adanya jalur lain dari permainan makelar pajak Gayus Halomoan Tambunan. Jika terbukti, ini berarti ”kebocoran” di Direktorat Pajak tak hanya berasal dari bawah—jalur Gayus—tapi juga dari atas, yakni via jajaran pejabat Kementerian Keuangan.

Omongan Gayus di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Januari lalu, selepas divonis tujuh tahun penjara, bisa jadi ada benarnya. Ketika itu, dengan berapi-api, Gayus sesumbar, ”Presiden sudah tahu siapa yang big fish. Kalau saya, cuma ikan teri.”

l l l

Sutardi adalah Kepala Inspektorat Bidang Investigasi di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan pada Mei 2008. Pria 60 tahun asal Klaten, Jawa Tengah, ini sebelumnya bekerja di Direktorat Bea-Cukai. Dia menempati posisinya sebagai auditor investigasi sejak 2007.

Ketika ditemui dua pekan lalu, pria berkumis tebal ini masih ingat betul bagaimana sepucuk surat Bumi Resources sampai ke tangannya, tiga tahun lalu. ”Surat itu diantarkan seorang pengusaha bernama Subandi,” katanya. Ketika itu, tanpa pikir panjang, dia mengira Subandi adalah salah satu komisaris atau direktur Bumi Resources.

Karena diantar langsung, surat itu tak tercatat dalam daftar surat masuk di Tata Usaha Inspektorat Jenderal. Ada dua amplop surat yang diterima Sutardi hari itu: satu untuk Inspektur Jenderal—ketika itu dijabat Permana Agung—dan satu amplop berisi surat tembusan untuk dia sendiri. ”Isinya sama. Sesuai aturan, surat untuk Irjen langsung saya teruskan lewat Tata Usaha,” ujar Sutardi.

Pada dasarnya, surat Bumi pada Mei 2008 itu berisi pengaduan. Semua bermula pada pertengahan April 2006, ketika Direktorat Pajak menurunkan tim khusus untuk memeriksa kewajiban pajak Kaltim Prima Coal—anak perusahaan Bumi Resources. Tak tanggung-tanggung, yang diperiksa ulang adalah semua kewajiban Kaltim Prima lima tahun ke belakang, pada tahun pajak 2000-2003 dan tahun pajak 2005. Setoran pajak 2004 lolos dari incaran karena kewajiban pajak Kaltim Prima Coal tahun itu sedang diperiksa Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Pemeriksaan selesai setahun kemudian. Tim pajak menerbitkan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan untuk Kaltim Prima Coal. Perusahaan itu merespons dengan menyetujui sebagian hasil pemeriksaan. Sampai di sini, Direktorat Pajak punya dua pilihan: menerbitkan surat ketetapan pajak yang berarti wajib pajak dinilai hanya salah secara administratif, atau meningkatkan kasus ini ke tahap penyidikan. Kalau pilihan kedua yang diambil, itu berarti ditemukan ada indikasi pidana perpajakan.

Tak aneh jika manajemen Kaltim Prima Coal ketar-ketir. Apalagi keberatan mereka atas hasil pemeriksaan tak cepat direspons Direktorat Pajak. Lewat satu tahun, persoalan ini tetap mengambang. Pada titik gawat inilah Denny Adrianz bermanuver. Lewat dua makelar pajak—kakak-adik Imam Cahyo Maliki dan Alif Kuncoro—dia berkenalan dengan Gayus Halomoan Tambunan. Jalur kongkalikong via Gayus pun disiapkan.

Kini terungkap, manuver Denny ternyata bukan hanya itu. Dia juga bergerak mengadukan ”kelambanan” Direktorat Pajak kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Dalam surat yang diterima Sutardi, Denny menulis, ”Yang menjadi persoalan adalah kepastian hukum atas hasil pemeriksaan.”

Penerbitan surat ketetapan pajak untuk Kaltim Prima Coal, menurut Denny dalam surat itu, amat penting buat langkah korporasinya di masa depan. ”Kiranya Bapak Pejabat yang terhormat dapat menelusuri kembali kendala apa yang menyebabkan tertahannya Surat Ketetapan Pajak tersebut,” demikian Denny di penutup suratnya.

Ditemui awal April lalu, Staf Ahli Menteri Keuangan Robert Pakpahan membenarkan pentingnya sebuah surat ketetapan pajak untuk wajib pajak. ”Kalau surat ketetapan itu keluar, berarti tidak ada unsur pidana, dan tidak akan ada penyidikan,” katanya.

Tak aneh jika Sutardi bergerak ekstracepat. Tanpa menunggu disposisi dari atasannya, dia langsung bertindak. Sutardi menunjuk seorang anak buahnya untuk menanyakan masalah ini ke staf Kantor Pelayanan Pajak untuk Wajib Pajak Besar di Gambir, Jakarta Pusat. Di sanalah proses pemeriksaan Kaltim Prima macet.

Tunggu punya tunggu, belakangan diperoleh kabar bahwa surat ketetapan pajak untuk Kaltim Prima sebenarnya sudah siap dirilis di Gambir. Hanya ada satu masalah: surat pemberitahuan pajak Kaltim dibuat dengan mata uang rupiah, sementara hasil pemeriksaan menggunakan mata uang dolar Amerika.

Sesuai dengan prosedur, Kantor Pelayanan Pajak Gambir pun meminta petunjuk kepada Direktorat Perpajakan I di Kantor Direktorat Pajak untuk masalah ini. Entah kenapa, selama hampir setahun, petunjuk yang diminta tak kunjung turun. Surat ketetapan pajak untuk Kaltim Prima tetap macet.

Lagi-lagi tanpa perintah atasan—disposisi Inspektur Jenderal baru turun pada akhir Juni 2008—Sutardi terus merangsek. Pada pertengahan Juni 2008, dia menemui Djalintar Sidjabat, Direktur Perpajakan I di Direktorat Pajak, yang menangani masalah pajak pertambahan nilai. Keputusan Djalintar bisa menjadi rujukan untuk kasus perbedaan kurs mata uang dalam pelaporan pajak, seperti yang terjadi dalam kasus Kaltim Prima Coal. Sutardi bertanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk merespons laporan macam ini. ”Dua hari,” kata Djalintar—seperti ditirukan Sutardi di hadapan tim pemeriksa Inspektorat Jenderal.

Akhirnya, pada akhir Juni 2008, hasil pemeriksaan dinilai cukup. Sutardi membuat nota dinas untuk atasannya, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Permana Agung. Dia menyarankan Inspektur Jenderal segera mengirim surat ke Direktur Jenderal Pajak—waktu itu dijabat Darmin Nasution—mendesak supaya surat ketetapan pajak Kaltim Prima Coal segera dikeluarkan. Sutardi juga meminta surat Inspektur Jenderal itu ditembuskan ke Direktur Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak di Gambir.

Yang tak disangka-sangka, surat pengaduan Bumi Resources tentang sengkarut pajak Kaltim Prima Coal hampir dua bulan sebelumnya ternyata juga baru ditembuskan ke Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan pada hari itu. Keterlambatan surat inilah yang belakangan jadi sorotan para auditor internal di Kementerian Keuangan. ”Ada yang tidak wajar,” kata sumber Tempo.

Nota dinas Sutardi yang berisi pemberitahuan adanya surat pengaduan Bumi Resources masuk ke Inspektur Jenderal pada 27 Juni 2008. Pada tanggal yang sama, Sutardi mengirim nota dinas yang lain, merekomendasikan langkah-langkah lanjutan, termasuk konsep surat Inspektur Jenderal ke Direktur Jenderal Pajak. Hanya berselang sepekan, pada awal Juli, Sutardi kembali mengirim sejumlah surat soal rencana Inspektorat Bidang Investigasi menyelidiki latar belakang ”kelambanan” Kantor Pelayanan Pajak mengeluarkan surat ketetapan pajak untuk Kaltim Prima Coal. Selain menunjukkan bahwa Sutardi bergerak cepat tanpa izin atau disposisi atasannya, kedekatan waktu pengiriman surat-surat itu mengindikasikan ada ”perlakuan istimewa” untuk pengaduan Kaltim Prima ini.

Sebagai atasan Sutardi ketika itu, Permana Agung mengaku memang mencium ketidakwajaran. Tapi dia menganggapnya bukan masalah besar. ”Saya menganggap tindakan Sutardi bergerak mendahului disposisi saya didorong oleh keinginan menyelesaikan tugas secepatnya,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya pekan lalu. Menurut Permana, dua nota dinas Sutardi yang dia terima pada hari yang sama tak menyiratkan pelanggaran apa pun. ”Di sini, keterlambatan surat-menyurat sering terjadi,” katanya.

Toh, kecurigaan auditor tak surut begitu saja. Soalnya, nota-nota dinas Sutardi dan surat Inspektur Jenderal ke Direktur Jenderal Pajak soal masalah Kaltim Prima ternyata sampai ke tangan Gayus Tambunan. Polisi menyita surat-surat penting itu ketika memeriksa Gayus pada April tahun lalu. Bau busuk patgulipat tercium pekat karena Gayus sama sekali tidak berhak mengakses surat-surat rahasia itu.

Dugaan adanya ”permainan” ­ makin kuat karena Kantor Pelayanan Pajak Gambir akhirnya menyerah, setelah campur tangan tim Sutardi ini. Sesudah satu tahun lebih, kantor itu memutuskan menerbitkan surat ketetapan pajak untuk Kaltim Prima Coal. Ancaman penyidikan pidana untuk perusahaan tambang itu pun gugur.

Kejutan terakhir datang dari Gayus Tambunan. Ketika diperiksa auditor internal Kementerian Keuangan, pertengahan 2010, dia mengaku menerima suap US$ 2 juta untuk pekerjaannya ”melancarkan” surat ketetapan pajak Kaltim Prima Coal ini. Seperempat dia kantongi sendiri, sisanya dibagi-bagi lewat atasannya, Maruli Pandapotan Manurung. Dibagi kepada siapa? Menurut pengakuan Gayus kepada tim auditor internal Inspektorat Jenderal, duit itu adalah jatah para pejabat Inspektorat Jenderal.

l l l

Ketika diperiksa tim Inspektorat, yang notabene bekas anak buahnya sendiri, Sutardi mengakui perbuatannya salah secara administratif. ”Seharusnya saya menunggu disposisi Irjen,” katanya. Tapi dia menegaskan tidak punya kepentingan pribadi dalam kasus ini. ”Saya tidak pernah menerima apa pun sebagai imbalan.”

Tapi Sutardi punya alasan lain di balik tindakan ekstracepatnya itu. Dia mengira Subandi—pengirim surat Kaltim Prima Coal—kawan dekat atasannya: Sekretaris Inspektur Jenderal Benny Limbong dan Inspektur Jenderal Permana Agung.

”Subandi sering datang ke ruangan Pak Benny,” ujar Sutardi. Pengusaha asal Semarang itu bukan orang asing di lingkungan Inspektorat Jenderal. Sutardi bahkan pernah mengundang Subandi hadir dalam upacara pernikahan anaknya. ”Undangannya saya titipkan lewat Pak Benny,” katanya polos.

Sutardi yakin benar kasus Prima Coal adalah ”titipan atasan”-nya. Selama proses penanganan pengaduan Kaltim Prima Coal, kata Sutardi, Benny beberapa kali menanyakan perkembangan ”suratnya Subandi” lewat telepon. ”Kalau surat itu tidak istimewa, kok dia bisa ingat ada surat itu?”

Dihubungi terpisah, baik Subandi maupun Benny Limbong menolak mentah-mentah tuduhan Sutardi. Meski membenarkan ­hubungan dekat mereka, keduanya kompak membantah punya kaitan dengan Kaltim Prima Coal ataupun Bumi Resources.

Subandi bahkan mengaku tak pernah mengantar surat apa pun kepada Sutardi. ”Saya tidak tahu mengapa nama saya dibawa-bawa dalam persoalan ini,” ujarnya dengan nada tinggi. Pengusaha penyalur alat-alat listrik ini mengaku tak mengenal Denny Adrianz atau petinggi Bumi Resources yang lain.

Bantahan Benny tak kalah sengit. ”Saya justru jadi korban gara-gara kasus ini,” katanya meradang. Sejak diperiksa auditor internal, dia dicopot dari jabatannya sebagai Sekretaris Inspektur Jenderal dan ditugasi sebagai anggota staf biasa di bagian umum. ”Kalaupun saya menelepon Sutardi atau auditor lain menanyakan perkembangan pemeriksaan, apakah itu salah? Itu bagian dari tugas saya,” ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Benny merasa diperlakukan tak adil dalam penanganan kasus ini. Dia menduga sanksi berat yang diterimanya berkaitan dengan pengakuannya soal Gayus Tambunan. ”Padahal saya hanya makan siang satu kali dengan Gayus. Itu pun kebetulan saja,” katanya. Pekan lalu, Benny mengirim surat ke Menteri Keuangan Agus Martowardojo, menuntut dilakukan eksaminasi independen atas pencopotan dirinya.

Meski sudah terang-benderang, kasus ini tampaknya belum mengarah ke meja hijau. Berkas-berkas hasil pemeriksaan Inspektur Jenderal kini tengah diperiksa ulang untuk menuntaskan semua keberatan dan tanda tanya yang muncul. Persoalan ini, ”Memang baru omongan versus omongan,” kata sumber Tempo di tim terpadu penanganan kasus mafia pajak Gayus Tambunan di kantor Wakil Presiden Boediono. ”Tak ada bukti langsung soal suap,” katanya lagi.

Itulah kenapa sampai sekarang kasus suap Bumi Resources untuk Gayus tak pernah disidangkan. Gayus dan jejaringnya di Direktorat Jenderal Pajak baru diadili untuk penanganan kasus keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal dengan besar kerugian hanya Rp 500 juta.

Belakangan ada kabar tim terpadu sedang mengkaji kemungkinan mengambil jalan memutar: memakai teknik pembuktian terbalik. Para tertuduh akan dihadapkan ke meja hijau dan diminta membuktikan asal-usul harta kekayaan mereka di persidangan. Dari sana diharapkan muncul nyanyian dan kicauan yang bakal membongkar habis komplotan Gayus.

Jika terbukti ada suap, surat ketetapan pajak Kaltim Prima Coal bisa diperiksa ulang. Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, Darussalam, menegaskan, sebuah surat ketetapan pajak bisa direvisi jika ada kejanggalan atau ketidakberesan. ”Dirjen Pajak punya kewenangan untuk itu,” katanya.


Tim Investigasi JEJAK LAIN PATGULIPAT GAYUS

Penanggung Jawab: Arif Zulkifli

Kepala Proyek: Muchamad Nafi

Penyunting: Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika

Penulis: Wahyu Dhyatmika, Budi Riza, Yuliawati, Muchamad Nafi

Penyumbang Bahan: Yandhrie Arvian, Bagja Hidayat

Riset Foto: Bismo Agung

Desain: Ehwan Kurniawan, Aji Yuliarto

Bahasa: Uu Suhardi, Habib Rifai

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus