Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dua Panitera di Majelis Sepuluh

Penelusuran Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan menemukan kelalaian fatal panitera Pengadilan Pajak. Setahun lewat, indikasi suap belum juga terlacak.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sidang hari itu seharusnya tidak istimewa. Awal Februari 2009, majelis hakim nomor sepuluh di Pengadilan Pajak, Gedung Dhanapala lantai 9, Kementerian Keuangan, membacakan putusan. Ketua majelis hakim Hari Utomo, didampingi dua hakim anggota Muharsono dan Mariman Sukardi, bergantian membacakan amar.

Perkaranya soal keberatan PT Bumi Resources, perusahaan tambang batu bara milik keluarga Bakrie. Pada tahun pajak 2005, Direktorat Jenderal Pajak menetapkan Bumi kurang membayar pajak pertambahan nilai sebesar Rp 27,7 miliar. Mereka tak terima, dan sengketa itu dibawa ke Pengadilan Pajak pada Maret 2008. Setelah hampir setahun sidang, perkara itu akhirnya siap diputuskan.

Seperti biasa, di sebelah meja hakim, duduk para panitera persidangan. Hari itu Mustakin dan Idris Herawan ada di sana. Mustakin adalah panitera pengganti dan Idris pembantu panitera pengganti. Keduanya mendengarkan uraian putusan hakim dengan takzim.

Hari itu majelis hakim memutuskan menerima keberatan Bumi Resources. Kekurangan pajak Bumi, yang semula Rp 27,7 miliar, turun drastis menjadi hanya Rp 5,2 miliar.

Dua bulan kemudian, pada April 2009, majelis hakim yang sama memutuskan hal serupa untuk perkara Bumi Resources yang lain. Hakim menolak penetapan Direktorat Pajak yang menilai Bumi kurang bayar pajak penghasilan badan Rp 99,6 miliar. Majelis malah menilai Bumi kelebihan membayar Rp 31,2 miliar. Artinya, negara harus mengembalikan kelebihan itu kepada Bumi.

Dalam kedua perkara ini, Wakil Presiden Bumi Resources Denny Adrianz sering hadir dalam sidang. Bukan kebetulan kalau, pada awal sidang, Direktorat Pajak diwakili oleh Gayus Halomoan Tambunan.

Kemenangan Bumi dalam dua perkara itu tak akan jadi sorotan kalau bukan karena faktor Gayus ini. Di hadapan polisi, setelah ditangkap di Singapura pada Maret 2010, makelar pajak ini mengaku diam-diam bekerja untuk Bumi. Dia menyuap panitera pengganti dalam persidangan agar bisa memenangkan perkara kliennya di Pengadilan Pajak. Gayus menyebut nama Idris Herawan sebagai bagian dari jaringannya. Sogok yang digelontorkan, kata Gayus, mencapai US$ 500 ribu atau sekitar Rp 5 miliar.

”Saya tidak tahu Idris bisa mengatur semuanya. Tapi, ketika saya tanya, dia menyanggupi dan bisa melaksanakan,” kata Gayus seperti tertera dalam berita acara pemeriksaannya, April 2010.

Pengakuan inilah yang kemudian mendorong Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan turun tangan. Pertengahan 2010, sebuah tim khusus Inspektorat Bidang Investigasi dibentuk untuk menelusuri kembali testimoni Gayus. Kedua berkas perkara Bumi di Pengadilan Pajak dibongkar dan diperiksa. Ternyata memang banyak kejanggalan di sana.

Satu berkas putusan Pengadilan Pajak soal perkara keberatan kurang bayar pajak pertambahan nilai Bumi ternyata tak lengkap. Dalam segepok berkas putusan itu, dokumen tanggapan tertulis Direktorat Pajak sebagai pihak terbanding raib. Hanya ada berkas Surat Uraian Banding, yang diajukan Direktorat Pajak pada awal persidangan.

”Tidak adanya isi tanggapan tertulis terbanding ini membuat putusan Pengadilan Pajak tidak menginformasikan berbagai bukti para pihak secara proporsional, adil, dan lengkap,” kata sumber Tempo di Kementerian Keuangan mengutip dokumen hasil investigasi internal itu.

Apa isi tanggapan tertulis itu? Pada dasarnya, dokumen itu berisi uraian terperinci dari Direktorat Jenderal Pajak, menjawab argumentasi Bumi Resources di persidangan. Misalnya, dijelaskan bahwa—berdasarkan aturan formal—Bumi sebenarnya tidak dapat meminta pengurangan pajak berdasarkan pembayaran pajak pertambahan nilai yang terlambat dilaporkan.

Padahal itulah kunci gugatan Bumi di Pengadilan Pajak. Mereka meminta kekurangan pembayaran pajak perusahaan ini—yang jumlahnya Rp 27,7 miliar—dikurangi dengan memperhitungkan pajak masukan sebesar Rp 16,12 miliar yang dibayarkan Bumi untuk jasa anak perusahaannya, Bumi Japan Ltd. Pajak itu, menurut Bumi, seharusnya dikembalikan karena, sesuai dengan peraturan, jasa yang sudah terkena pajak lain di luar negeri tidak bisa dikenai pajak lagi.

Masalahnya, pajak masukan itu tidak dilaporkan Bumi pada saat pemeriksaan dilakukan petugas pajak pada Mei 2006. ”Restitusi (pengembalian pajak) tidak dapat diajukan untuk periode sebelum pemeriksaan dilakukan,” demikian dijelaskan dalam dokumen tanggapan itu yang raib itu.

Walhasil, tim Inspektorat Jenderal menduga lenyapnya dokumen tanggapan inilah yang membuat majelis hakim memutuskan mengabaikan keberatan Direktorat Pajak. Dalam putus­annya, hakim hanya mempertimbangkan aspek materiil, yakni adanya pembayaran pajak pertambahan nilai dari Bumi Japan Ltd. Ihwal tidak dilaporkannya pembayaran itu sebelum pemeriksaan petugas pajak sama sekali tidak disinggung. Dengan argumentasi Ditjen Pajak yang tak lengkap, bisa diduga hakim akhirnya mengabulkan keberatan Bumi.

l l l

Siapa yang menghilangkan dokumen penting itu dari berkas putusan? Kecurigaan para auditor langsung mengarah pada Mustakin dan Idris Herawan. Sebagai panitera pengganti, merekalah yang bertanggung jawab mempersiapkan dokumen putusan Pengadilan Pajak.

Tapi, ketika diperiksa, Mustakin cuci tangan. Dia melemparkan kesalahan kepada koleganya, Idris. Sebagai pembantu panitera pengganti, Idris memang bertugas membuat konsep putusan untuk majelis hakim. ”Saya tidak memeriksa lagi,” kata Mustakin ketika dipanggil tim Inspektorat Jenderal. ”Saya cuma periksa redaksional dan aspek formalnya, tidak lagi masuk ke materi.”

Ditemui terpisah, Idris menolak bicara. Dia mengaku sudah menjelaskan semuanya pada saat diperiksa oleh tim Inspektorat Jenderal. Dia juga mengaku tak menerima sepeser pun duit Gayus Tambunan.

Sampai di sini, pemeriksaan mentok. Tanpa bukti memadai soal adanya suap, hilangnya berkas tanggapan Direktorat Pajak dalam perkara Bumi memang jadi sekadar kelalaian administratif belaka.

Auditor gagal menemukan bukti ada setoran fulus untuk Idris. Adapun polisi tak bisa menyelidiki kasus ini. ”Kami perlu izin Mahkamah Agung untuk memeriksa panitera,” kata juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Besar Boy Rafli Amar.

Alhasil, dua panitera di majelis sepuluh ini pun hanya diganjar sanksi ringan: penurunan pangkat selama setahun. Sekarang mereka sudah kembali aktif bertugas di Pengadilan Pajak. ”Yang penting sekarang kami lebih transparan,” kata Arief Setiawan, Kepala Bagian Yurisprudensi Sekretariat Pengadilan Pajak.


Ragam Modus Makelar Gayus

Untuk membantu kliennya, makelar pajak Gayus Halomoan Tambunan punya banyak cara. Dari penyelidikan internal Kementerian Keuangan, kini terungkap dua trik baru yang dia gunakan untuk membantu Kaltim Prima Coal dan Bumi Resources, dua perusahaan kelompok usaha Bakrie.

Modus 1
Gayus membayar panitera pengganti di Pengadilan Pajak untuk memenangkan perkara keberatan Bumi Resources atas ketetapan jumlah pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan 2005.

Alhasil, para panitera ”alpa” menyertakan dokumen penting berupa tanggapan tertulis Direktorat Jenderal Pajak dalam konsep putusan banding Pengadilan Pajak perkara ini. Akibatnya, putusan majelis hakim Hari Utomo (hakim ketua), Muharsono, dan Mariman Sukardi menguntungkan perusahaan tambang batu bara itu.

Modus 2
Gayus menggunakan jalur Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk menekan Direktorat Jenderal Pajak agar memperlancar urusan kliennya. Pada Mei 2008, Kaltim Prima Coal kesulitan karena Ditjen Pajak tak kunjung menerbitkan surat ketetapan pajak untuk empat tahun pajak (2000-2005, minus 2004).

Lewat gertakan dan surat resmi Irjen, yang bersiap menyelidiki kasus ini, Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu, Gambir, melunak. Surat ketetapan pajak untuk Kaltim Prima pun terbit.

Respons Bumi Resources
”Tudingan ini isu lama dan hanya spekulasi. Kami selalu terbuka menjelaskan semua, ketika faktanya muncul dan diterima publik. Karena itu, kami menilai saat ini lebih baik tidak berkomentar, agar spekulasi macam-macam tidak berkembang dari topik yang sebenarnya tidak penting ini.”

Dileep Srivastava, Director & Corporate Secretary Bumi Resources

Gayus yang Berubah
”Dapat saya jelaskan, uang Rp 28 miliar di rekening bank saya antara lain berasal dari perusahaan Grup Bakrie: Kaltim Prima Coal, Bumi Resources, dan Arutmin.”

Gayus Tambunan, ketika diperiksa polisi, April 2010.

”Saya mau tekankan satu hal. Dari 151 perusahaan yang mengajukan banding, tidak ada perusahaan Bakrie. Saya tekankan lagi, (Gayus) tidak ada urusan lagi dengan Bakrie.”

Hotma Sitompul, pengacara Gayus Tambunan. Februari 2011, setelah Gayus diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi.

Komposisi Saham Bakrie Brothers di PT Bumi Resources
PT Bakrie Brothers Tbk dalam laporan keuangan 31 Desember 2010 mengumumkan kepemilikan 6,74 persen saham di PT Bumi Resources Tbk. Bumi, yang berkantor di Wisma Bakrie lantai 7, kawasan Kuningan, memiliki 65 persen saham PT Kaltim Prima Coal dan 70 persen di PT Arutmin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus