Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski menjadi "kurir" surat pengaduan Bumi Resources ke Kementerian Keuangan pada Mei 1998, Subandi Hartanto bukan tokoh figuran. Kedekatan pengusaha ini dengan Sekretaris Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Benny Limbong dan atasannya, Permana Agung, membuat para auditor di sana takzim membantu kelancaran urusan pajak perusahaan milik keluarga Bakrie itu.
"Pak Benny berkali-kali bertanya, bagaimana kabar surat Subandi," kata Sutardi, Kepala Inspektorat Bidang Investigasi ketika itu, dua pekan lalu. Menurut dia, kedekatan Subandi dengan dua pemimpin tertinggi inspektorat itu bukan lagi rahasia. "Saya pikir dia Komisaris Bumi Resources," kata Sutardi ketika diperiksa tim auditor internal kantornya.
Toh, enam bulan menyelidiki perkara ini, auditor Inspektorat Bidang Investigasi Kementerian Keuangan yang ditugasi menyelidiki kejanggalan penanganan perkara pajak PT Kaltim Prima Coal, anak perusahaan Bumi, tahun lalu, gagal menemui Subandi. Sampai pemeriksaan rampung dan dua pejabat eselon dua-Benny Limbong dan Sutardi-dijatuhi sanksi, ia hanya disebut sebagai "pengusaha Tionghoa asal Semarang, yang bergerak di bisnis pengadaan senjata api".
Seperti Denny Adrianz-tokoh misterius lain dalam patgulipat pajak yang berporos pada Gayus Halomoan Tambunan, bekas pegawai golongan IIIa Direktorat Pajak-berbagai cerita miring merebak soal Subandi. Dia dituduh diam-diam menyediakan aneka kebutuhan Gayus di penjara. Ia juga dituduh sebagai dalang semua urusan gelap di Direktorat Pajak.
Dua pekan lalu, dengan bantuan seorang perantara, Tempo berhasil menemui sang pengusaha. "Saya Subandi," katanya memperkenalkan diri. Tangan kirinya gemetar, parasnya pucat. "Saya yang disebut-sebut sebagai pengantar surat Bumi Resources," ujarnya pelan.
Subandi bercerita pernah menjalani operasi transplantasi ginjal di Cina pada 2009. Ketika auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan sibuk mencarinya, ia mengatakan sedang dalam masa pemulihan di Singapura. "Saya hampir mati," katanya.
Subandi lahir di Semarang, 48 tahun silam. Dia pindah ke Jakarta, mengikuti orang tuanya. Lulus dari Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya, ia sempat bekerja selama enam tahun sebagai pegawai biasa di sebuah perusahaan. Bosan, dia keluar untuk berdagang. "Macam-macamlah dagangannya," ujarnya.
Kedekatannya dengan Kementerian Keuangan dimulai dari urusan bisnis. Suatu saat-Subandi lupa tepatnya-dia mengikuti tender pengadaan barang dengan perusahaan penyalur instalasi listrik miliknya. Subandi menang. "Lumayan, beberapa ratus juta," katanya menyebutkan proyek perdananya di kementerian itu.
Subandi makin lengket dengan Lapangan Banteng karena kawannya di jemaat Gereja Kristen Indonesia ternyata pejabat di sana. Dialah Benny Limbong. "Saya kenal Pak Benny di gereja itu," katanya. Benny membenarkan cerita Subandi. "Kami sudah saling kenal lebih dari sepuluh tahun."
Bennylah yang kemudian membawa Subandi kepada atasannya, Permana Agung-kini Staf Ahli Menteri Keuangan. "Saya diminta membantu memperpanjang izin pistol milik Pak Permana," kata Subandi mengenang.
Darwin Haris, kawan dekat Subandi, bercerita bahwa kenalannya itu memang berbisnis senjata api. Dia biasa menjual senjata genggam, dari jenis revolver sampai FN, untuk perorangan. "Saya pernah dikasih pistol Beretta, gratis," ujarnya. Dia mengaku kerap berlatih menembak bersama Subandi.
Di mata orang-orang dekatnya, Subandi seorang kawan yang menyenangkan. Permana Agung mengaku sering dikirimi bakmi lezat dari Sawah Besar. "Dia tahu saya suka bakmi yang khas dan banyak taogenya itu," kata Permana sambil tertawa. Mereka juga sesekali menyantap mi keriting langganan Subandi di Pecenongan, Jakarta Pusat.
Di tengah percakapan ringan dengan Tempo, mendadak wajah Subandi berubah jadi serius. "Tapi ingat ya, saya bukan orang Kaltim Prima Coal, bukan orang Bumi Resources," katanya tajam. Dia juga membantah pernah membawa surat Bumi ke Kementerian Keuangan.
Soal Gayus? "Saya tidak kenal dia. Tapi, kalau saya muncul seperti ini, saya khawatir Gayus mendadak berkoar-koar bilang kenal saya," suara Subandi melemah lagi. "Sudahlah, saya tidak usah ditulis banyak-banyak. Bisa repot saya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo