Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agar IQ Anak Tidak Jongkok
Anda memiliki anak dengan permukaan lidah halus tanpa papil (bintik-bintik) atau kuku jari tangannya pecah-pecah dan berbentuk seperti sendok? Waspadalah, kondisi seperti itu merupakan gejala anemia defisiensi besi. Apalagi jika wajahnya tampak pucat, kondisi tubuhnya lemah, dan mudah lelah, komplet sudah gejala anemia kekurangan zat besi yang menyerang tubuhnya.
"Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai," kata Profesor Djajadiman Gatot, dokter spesialis anak, dalam seminar bertajuk Action for Iron Deficiency Anemia di Jakarta dua pekan lalu. Ketua Satuan Tugas Anemia Defisiensi Besi Ikatan Dokter Anak Indonesia ini meminta masalah anemia tak dianggap enteng. Bila kondisi seperti itu dialami seorang anak sampai lebih dari dua tahun, kecerdasan si anak akan berkurang atau malah ber-IQ jongkok. "Jangan berharap IQ mereka lebih dari 100, paling tinggi 90-an," kata Djajadiman, "Pagi diajari, sore lupa!"
Anemia adalah berkurangnya kadar hemoglobin, unsur penting dalam sel darah merah yang berfungsi mengikat oksigen, di bawah nilai normal sesuai dengan usianya. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), kondisi anemia terjadi pada anak usia 6 bulan-5 tahun jika hemoglobinnya kurang dari 11 gram/desiliter; usia 6-11 tahun, hemoglobinnya kurang dari 11,5 gr/dl; dan usia 12-18 tahun, hemoglobinnya kurang dari 12 gr/dl.
Menilik efek buruk anemia defisiensi besi yang begitu banyak, pemberian zat besi kepada yang membutuhkan harus secepatnya. Jika terlambat dan komplikasi sudah muncul, Djajadiman mengingatkan, bukan mustahil kekurangan zat besi tersebut akan lama sembuh atau malah tak bisa lagi diobati.
Angka kejadian anemia defisiensi besi pada anak di Tanah Air terbilang tinggi. Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001 menunjukkan angka kejadian pada anak bawah lima tahun (balita) mencapai 47 persen. Sedangkan Asian Development Bank memperkirakan ada 22 juta anak di Indonesia yang terkena anemia, yang menyebabkan hilangnya angka IQ sebesar 5-15 poin. Prestasi mereka di sekolah pun buruk.
Kekurangan zat besi pada anak bisa disebabkan oleh sejumlah faktor. Antara lain, asupan makanannya memang kurang mengandung zat besi, pertumbuhan saat bayi dan remaja berlangsung cepat, atau lantaran di ususnya bersarang cacing tambang.
Menurut Soedjatmiko, Ketua Divisi Tumbuh Kembang Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, makanan yang banyak mengandung besi terutama berasal dari protein hewani, seperti daging, ikan, dan hati. Cuma, dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak, yang semestinya membutuhkan zat besi tinggi dari daging merah atau hati, justru dikalahkan oleh orang tuanya. "Biasanya, saat makan, bapaknya yang mendapat jatah daging atau hati lebih besar, sedangkan anak-anaknya mendapat keratan yang lebih kecil," katanya.
Untuk menambal kekurangan zat besi pada anak-anak, Direktorat Bina Gizi, Kementerian Kesehatan, membuat terobosan dengan meluncurkan program Taburia pada Januari lalu. Ini adalah makanan berbentuk serbuk yang sudah diperkaya dengan zat gizi. "Taburia mengandung 12 vitamin dan 4 mineral penting, yakni yodium, seng, selenium, dan zat besi," kata Ivonne Kusumaningtyas dari Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan.
Selain praktis, serbuk penuh gizi ini tidak mengubah rasa aroma dan bentuk makan utama yang dikonsumsi balita, seperti nasi atau bubur. Namun Taburia tak boleh dicampur dengan sup, teh, atau susu, karena akan menggumpal. Pencampuran dengan makanan panas juga harus dihindari karena merusak lemak yang melapisi zat besi.
Setelah diujicobakan di Jakarta Utara dan dinilai sukses meningkatkan kadar zat besi bagi balita setempat, kini penggunaan Taburia diperluas ke enam provinsi yang menjadi lokasi proyek Nutrition Improvement Through Community Empowerment atau Perbaikan Gizi Melalui Pemberdayaan Masyarakat. Masing-masing adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Jika balita yang mengkonsumsi Taburia mengalami susah buang air besar dan tinja berwarna hitam karena kandungan zat besi, orang tua tak perlu khawatir. Efek samping itu, kata Ivonne, bisa diatasi dengan minum air putih lebih banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo