Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

<font size=1 color=brown>STRES UJIAN NASIONAL</font><br />Menjelang Ujian, Stroke pun Datang

Seorang pelajar sekolah menengah atas diduga terserang stroke akibat terlalu stres menghadapi ujian nasional.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEISI rumah kaget ketika Diana pulang dari tempat bimbingan belajar dengan bercucuran air mata. Ia terus memegangi pipi kanannya, lidahnya menjulur, dan bicaranya tak jelas. ”Rahang kanannya nyeri dan tidak bisa digerakkan,” kata Tian, sang ayah, mengingat kondisi putri sulungnya itu Rabu dua pekan lalu. Diana—bukan nama sebenarnya—langsung dilarikan ke klinik. Di sepanjang perjalanan, mobil mereka terjebak macet. ”Dia sampai menendang mobil karena rahangnya benar-benar nyeri,” kata Tian.

Tian sama sekali tak menyangka kondisi putrinya yang duduk di kelas III sekolah menengah atas itu bakal separah ini. Sebab, kedua orang tua Diana tahu putrinya itu termasuk berprestasi di sekolahnya, yang terletak di kawasan Cipayung, Jakarta Timur. Semester lalu, dia peringkat ketiga di kelas.

Menjelang ujian nasional, yang dimulai Senin pekan lalu, Diana perlahan-lahan berubah. Ia makin sering mengeluh khawatir nilainya jeblok. Pukul tiga pagi ia sudah belajar hingga waktu sarapan datang. Semakin dekat dengan hari-H, Diana mulai terlihat seperti orang kebingungan. Yang sebelumnya mandiri, mendadak dia harus sering diingatkan agar keperluan sekolahnya tidak tertinggal di rumah.

Tepat sepekan sebelum ujian, air liur Diana mengalir keluar mulut tanpa disadari.

Tian sempat diingatkan kakaknya yang pernah terkena stroke. Gejala yang menimpa Diana memang mirip yang dialami sang kakak saat akan terserang stroke. Mengingat anaknya baru berumur 17 tahun, Tian tak percaya Diana bisa terkena penyakit yang dijuluki silent killer itu. Tapi itulah hasil diagnosis dokter yang memeriksa Diana. "Anak Bapak terkena stroke ringan," kata Tian menirukan ucapan dokter.

Menurut penjelasan dokter, stroke yang dipicu masalah psikologis itu hanya bersifat sementara dan bisa kembali normal dalam waktu 24 jam. "Tapi, kalau 24 jam tidak pulih, masuk ke stroke yang serius," dokter menambahkan.

Esok harinya, Diana dibawa ke dokter ahli saraf. Hasil diagnosis soal kaku rahang dan lidah itu adalah akibat stres berlebihan. Pemicunya sudah jelas: ujian nasional. "Saya takut nilai ujian jelek, nanti tidak bisa kuliah di jurusan favorit saya," kata Diana ketika ditanyai dokter soal pikiran yang membebaninya belakangan ini.

Dua hari setelah serangan itu, kondisi Diana pulih. Lidah masih terasa kaku dan tak bisa mengecap rasa, tapi Senin pekan lalu ia tetap ikut ujian. Bencana kembali datang pada hari kedua. Sakitnya kambuh.

Dokter spesialis bedah saraf Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Djoko Riadi, menyarankan pembuluh darah otak Diana diperiksa lebih cermat. Paling tidak, harus ada pemindaian otak, "Supaya didapat gambaran lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi," ujarnya. Djoko berpendapat tak lazim bagi remaja terkena stroke, meski belakangan umur penderita stroke akibat stres semakin muda.

Menurut psikiater dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Nurmiati Amir, pemicu stres akan merangsang bagian hipotalamus pada otak untuk menghasilkan kortisol, hormon stres, yang bisa mengganggu kerja berbagai sistem tubuh. "Penyakit yang muncul bisa berbeda-beda, bergantung pada sistem tubuh yang terganggu," kata Nurmiati (lihat "Waspadai Serangan Kortisol"). Kortisol juga bisa menyerang sistem jantung dan pembuluh darah. Jika efeknya adalah suplai darah ke otak berkurang atau terjadi penyempitan pembuluh darah di otak, terjadilah stroke.

Masih menurut Nurmiati, ujian nasional bisa menjadi pemicu stres bagi remaja seperti Diana karena stres tidak mengenal usia. Asalkan ada yang dianggap otak sebagai pemicu stres, terjadilah stres. "Tekanan berlebih di rumah atau sekolah menjelang ujian bisa membuat mereka stres," ujarnya. "Apalagi sekarang ujian kondisinya tegang, sampai dijaga polisi, seperti sudah mau perang saja."

Tian sepakat dengan penjelasan Nurmiati. Sebab, dia melihat sekolah putrinya cenderung mendramatisasi ujian nasional. Menurut dia, dalam dua bulan terakhir, paling tidak ada 20 kali uji coba ujian nasional. Hampir setiap hari pula ada kegiatan doa bersama. Yang paling bikin Diana tegang, kata Tian, adalah papan hitung mundur mulai 20 hari menjelang ujian. Diana takut betul pada papan itu. Saban hari ia memilih jalan memutar demi menghindar bersirobok dengan papan yang setiap hari angkanya makin kecil tersebut.

Tian juga merasa guru-guru tak banyak membantu menjaga agar murid tidak terlalu terbebani stres. Ia malah dilapori anaknya soal guru yang menjual "pensil ajaib" seharga Rp 10 ribu per batang. "Setelah diberi doa-doa, pensil itu akan mengarah langsung pada jawaban yang benar," kata Tian. "Yang seperti itu malah bikin dia tambah bingung."

Oktamandjaya Wiguna


Waspadai Serangan Kortisol

Puluhan remaja berseragam putih-abu-abu menunggu giliran diperiksa dokter. Hari itu Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kasihan, Bantul, Yogyakarta, sengaja mendatangkan dokter demi mencegah siswanya tak bisa berkonsentrasi ujian karena stres. Kepala Dinas Kesehatan Bantul Siti Noor Zaenab meminta sekolah mengantisipasi adanya peserta ujian yang mendadak sakit karena stres. Ia juga menyiagakan tenaga medis di puskesmas. ”Tahun lalu banyak yang mengeluh mual, pusing, bahkan pingsan saat ujian,” kata Siti. ”Malah ada yang baru buka soal ujian langsung izin sakit ke ruang Unit Kesehatan Sekolah.”

Sikap antisipatif seperti itu memang tak mengada-ada. Ujian nasional dari tahun ke tahun menyebabkan anak remaja stres hingga jatuh sakit. Tahun lalu Yeni, kini 18 tahun, harus dirawat di Instalasi Rawat Jiwa Rumah Sakit Daerah Soebandi, Jember. Siswa Madrasah Aliyah Albadri, Gumuksari, itu mengalami depresi berat seusai ujian nasional.

Menurut dokter spesialis kejiwaan rumah sakit itu, Justina Evy Tyaswati, gangguan kejiwaan akibat stres ujian akhir terjadi setiap tahun. Pada 2009, ia menangani sedikitnya lima pasien dengan keluhan tersebut.

Kasus-kasus itulah yang mendorong Komisi Nasional Perlindungan Anak membuka pos pengaduan ujian nasional. Selain soal kecurangan dan kebocoran soal, "Kami menerima laporan soal siswa stres berlebihan," kata Ketua Komisi Nasional Arist Merdeka Sirait.

Menurut Arist, tahun lalu ia menerima puluhan laporan dari orang tua yang mengeluh anaknya sakit karena ujian akhir. Paling tidak ada enam anak yang harus diterapi karena depresi. "Mereka mencoba bunuh diri karena gagal ujian." Hingga hari pertama ujian nasional tahun ini, Komisi Nasional menerima 15 pengaduan. Arist mengatakan mayoritas isinya keluhan anak yang resah dan stres karena ujian.

Bagi pakar psikiatri dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Nurmiati Amir, pendirian pos kesehatan tidaklah berlebihan. Nurmiati menjelaskan, tekanan berat bisa memicu hormon stres yang bisa mengalir ke berbagai organ. Gejala stres paling ringan adalah telapak tangan yang banjir keringat.

Stres membuat kelenjar tiroid hiperaktif sehingga produksi keringat berlebih. Meski hal itu ringan, Nurmiati mewanti-wanti, tangan berkeringat bisa bikin anak semakin cemas karena tahu lembar jawaban bisa tak terbaca komputer jika terkena peluh.

Stres juga memicu produksi hormon kortisol. Efek gangguan hormon stres pada sistem pencernaan bisa membuat seseorang mual dan diare. Urinarius atau beser terjadi jika kortisol menyergap sistem saluran kemih. Jika sistem metabolisme yang diganggu, penderita bisa terkena gangguan haid atau kadar gula dan kolesterol dalam darah meroket. Serangan kortisol ke sistem kekebalan tubuh akan menjadikan tubuh rentan terkena penyakit.

Kalau kortisol mampir ke hipokampus di otak, Nurmiati menilai, sangat merugikan pelajar yang akan mengikuti ujian. Bagian otak yang mengatur memori ini, jika terganggu, akan menurunkan konsentrasi dan daya ingat. "Anak bisa mendadak blank dan tidak bisa berpikir," ujarnya.

Karena itu, Nurmiati menyarankan orang tua dan sekolah tidak menjadikan ujian sebagai momen yang menegangkan. Menurut dia, sering kali orang tua mematok target tinggi, sedangkan sekolah menggenjot habis-habisan siswa mempersiapkan ujian.

OW, Pribadi Wicaksono (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus