Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelaki itu selalu melontarkan tanya yang sama. Ke mana perginya lelaki yang ia cintai. Ke mana perginya dua tangan lembut itu? Beribu-ribu pertanyaan menerjang benak Zarkani (nama disamarkan). ”Sudah matikah ayahku? Bila sudah, di mana kuburnya?” Zarkani terus bertanya kepada siapa saja yang ia temui. Hingga sebelum dua tahun lalu, tanya itu masih nyaring terdengar. Kini, Zarkani entah ke mana.
Kewarasan lelaki tinggi kelahiran 1969 ini melayang sejak ia berusia 20 tahun. Kisah pilu Zarkani bermula saat ayahnya dipanggil ke markas TNI (ketika itu masih ABRI) di Krueng Pase, Aceh Utara. Pemerintah rezim Soeharto saat itu sudah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM). Sejak itulah ayah Zarkani tak pernah kembali. Dan lelaki itu terus menanti serta bertanya.
Suatu kali Zarkani menggelepar di kubangan darah hewan kurban yang disembelih di halaman masjid sambil berteriak, ”Ini darah ayahku.” Di lain waktu, dia membuat gundukan di halaman rumah dan berkata, ”Ini makam ayahku.”
Di bumi Seulawah ribuan anak terhimpit kesedihan seperti Zarkani. Mereka menanti ayah pulang. Hari, minggu, bulan, musim, tahun berlalu, sang ayah tetap saja tak ada kabar.
Operasi militer yang berlangsung pada 1989–1998. Pada masa itu sekitar 300 personel Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dilatih di Libya kembali ke Aceh. Berbekal keyakinan dan senapan seadanya, tentara GAM menyerang pos-pos TNI dan Polri. Perang gerilya tak terbendung.
Itulah yang terjadi di Syantalura. Saat itu kawasan kilang minyak dan gas Arung, Aceh Utara itu masih menikmati pagi. Polisi-polisi penjaga sedang mengecap udara segar. Tiba-tiba, segerombolan orang menggeruduk dan melepaskan rentetan tembakan ke pos polisi. "Sebuah peluru menyambar seorang polisi berpangkat kopral satu,” kata Ramli Ridwan, mantan Bupati Aceh Utara.
Ramli menuturkan, aksi saling bunuh antara TNI dan GAM meletus sejak Teungku Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 1976. ABRI menggempur mereka. Namun, Tiro dan pemimpin GAM lainnya kabur ke Swedia setelah tujuh tahun buron di Tanah Rencong. Gerakan ini kemudian diteruskan oleh tentara-tentara muda didikan Libya.
Kondisi gawat itu membuat Gubernur Aceh Ibrahim Hasan mengumpulkan bupati, tokoh masyarakat juga komandan tentara di Komando Resor Militer (Korem) 011/Lilawangsa di Lhokseumawe. Mereka lalu sepakat membawa masalah ini ke Jakarta.
Di Jakarta, Presiden Soeharto dengan cekatan segera memerintahkan 6.000 Kopassus ditambah di Aceh. Sampai Mei 1990, jumlah pasukan di sana menjadi 12 ribu orang. Operasi ini dikenal sebagai Operasi Jaring Merah. Sjafrie Sjamsoeddin, Prabowo Subianto, dan Syarwan Hamid pernah memimpin operasi itu.
Operasi militer adalah cara khas Soeharto dalam menyelesaikan konflik daerah. Cara itu pula yang digunakan meredam gejolak di Papua. Saat itu, sebagian warga di sana kecewa atas hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1 Desember 1969 yang berisi keputusan menyerahkan Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia. Padahal, menurut versi mereka, pemerintah Hindia Belanda telah berjanji bakal memberikan kemerdekaan kepada bangsa Papua Barat, 1 Desember 1971.
Jauh sebelum Pepera, beberapa tokoh politik di sana seperti Ferry Awom memproklamasikan Papua merdeka di Manokwari, 28 Juli 1965. Mereka juga merekrut pemuda-pemuda Biak untuk perang gerilya. Salah satu kelompok gerilya Operasi Papua Merdeka (OPM) yang punya gigi adalah kelompok Mandacan.
”Bisul” di Indonesia bagian timur itu ”diobati” Soeharto dengan terus menambah pasukan. Mantan Kepala Staf Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayjen (Purn.) Samsuddin mengisahkan, ”Menjelang Pemilu 1977 Papua mencekam. Pasukan mengamankan keadaan selama pemilu,” kata lelaki yang bertugas di sana sejak 1975 itu.
Sejarah kemudian mencatat, senapan, meriam, dan darah ternyata tidak sepenuhnya memulihkan Papua dan juga Aceh. Di Aceh, ribuan anak dan wanita terhimpit kepedihan perang. Tim Pencari Fakta Komisi Nasional HAM melaporkan, selama DOM sekitar 3.000 wanita jadi janda dan 20 ribu anak menjadi yatim. Sebagian dari jumlah itu akhirnya kehilangan kewarasan seperti Zarkani, sebagian lagi malah diperkosa.
Di Papua sama saja. Aktivis penolak Pepera, Arnold Clemens A.P., ditembak mati. Sebanyak 10 ribu warga Papua sampai mengungsi ke Papua Nugini. Dalam diam, Papua terus bergejolak.
Sejarah telah mencatat jejak kelam sepatu lars di dua daerah tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo