Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

27 Juli Pada Suatu Pagi

Kantor pusat PDI Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, diserang. Ketakutan pada oposisi.

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABTU, 27 Juli 1996, pukul enam pagi. Kantor pusat PDI Jalan Diponegoro. Suasana hening pecah oleh sebuah penggempuran. Kantor itu diserang 200 orang tak dikenal.

”Datanglah orang-orang kekar yang turun dari delapan truk pasir. Mereka biadab sekali. Anak-anak kecil juga perempuan yang berada di trotoar mereka sikat dengan rotan sepanjang 60 sentimeter,” kata saksi, Albert Birhan, simpatisan PDI. Dengan brutal, aparat keamanan bercampur dengan preman dan anggota organisasi pemuda pro-rezim Orde Baru memukuli orang-orang yang berada di tempat itu.

Apakah yang sesungguhnya terjadi?

Bukalah halaman sejarah Orde Baru. Kongres PDI di Medan tahun 1993 memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum. Menurut bekas Wakil Bendahara PDI Soerjadi, Alex Widya Siregar, sejak Musyawarah Nasional 1994 di Jakarta yang memilih Megawati sebagai Ketua Umum PDI, Presiden Soeharto merasa semakin gerah. ”Pak Harto tampaknya juga khawatir kalau Mega terus melaju,” katanya kepada Tempo tiga tahun setelah peristiwa tersebut.

Pada 2 Juni 1996, Alex Widya Siregar diminta Kepala BIA Syamsir Siregar untuk mempertemukan ABRI dengan tokoh-tokoh PDI. Hasilnya, Kepala Staf Sosial Politik ABRI Syarwan Hamid bertemu Soetardjo Soerjogoeritno dan Panangian Siregar.

Empat hari kemudian, pertemuan itu dilanjutkan di kantor BIA. Saat itu diputuskan, figur yang paling tepat menandingi Megawati adalah Soerjadi. Syarwan Hamid dan Direktur A BIA, Zacky Anwar Makarim, menurut Alex, langsung menghubungi Soerjadi. ”Saat itu Soerjadi minta syarat, mau menjadi ketua umum hanya jika diterima oleh Pak Harto,” ujar Alex.

Pada 16 Juli tahun yang sama, rapat PDI Soerjadi memutuskan Alex memimpin tim yang bertugas mengambil alih kantor PDI di Jalan Diponegoro. Menurut kesaksian Letnan Jenderal (Purn) Suyono, bekas Kepala Staf Umum ABRI, penyerbuan itu mulai dimatangkan setelah diadakan pertemuan di rumah Presiden Soeharto di Jalan Cendana pada 19 Juli. Saat itu Presiden Soeharto, di hadapan beberapa petinggi militer dan Polri, mengungkapkan keresahannya terhadap Megawati dan pengikut-pengikutnya.

Rencana penyerbuan pada 23 Juli yang dipimpin Alex ternyata gagal, karena preman yang disewa Alex dianggap berkhianat dan membocorkan rencana itu. ”Akhirnya saya batalkan,” kata Alex. Tiga hari kemudian massa dikumpulkan di lantai 5 Gedung Artha Graha. Alex juga sowan ke Pangdam Sutiyoso, tentang rencana penyerbuan pada 27 Juli 1996. ”Sutisoyo berkata, selaku Pangdam, ia wajib berada di lokasi kerusuhan untuk tahu permasalahan,” ujar Alex.

Pada Kamis 25 Juli, Presiden Soeharto menerima Ketua Umum DPP PDI Soerjadi dan 10 fungsionaris partai di Bina Graha, Jakarta. Pertemuan inilah yang mengakhiri spekulasi politik seakan DPP PDI Soerjadi belum diakui pemerintah. Dalam pertemuan selama 70 menit itu, lebih lama 40 menit dari yang dijadwalkan, lahirlah istilah baru ”setan gundul”.

”Beliau (Soeharto—Red) menyebut orang-orang yang menunggangi masalah di PDI sehingga berlarut-larut sebagai setan gundul. Beliau menyebutnya sambil guyon, kami tidak tahu siapa yang dimaksudkan oleh beliau,” ujar Soerjadi saat dihubungi Tempo setelah hampir 10 tahun peristiwa itu terjadi.

Pernyataan Presiden Soeharto itulah yang kemudian menjadi alasan pembenaran oleh aparat keamanan untuk menyerbu kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, pada Sabtu pagi, 27 Juli. Menurut Soerjadi, pihaknya tidak diberi tahu akan ada ”acara ambil paksa” kantor pusat PDI dari tangan pendukung PDI Megawati Soekarnoputri. ”Saya sama sekali tidak tahu, bahkan sampai saat saya ditahan, saya tak tahu kenyataan yang sebenarnya terjadi pada 27 Juli 1996 itu,” katanya.

Para pendukung Megawati menduga ada ratusan orang tewas akibat serbuan itu. Ketua PDI Perjuangan Jakarta Selatan Audy Tambunan menyebutkan, korban dimakamkan secara massal di pekuburan Pondok Rangon, Jakarta Timur. Menurut laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dari peristiwa itu cuma lima orang yang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang. Laporan lembaga yang dipimpin oleh bekas Menteri Agama Munawir Sjadzali itu mencurigai ”keterlibatan langsung pemerintah”. Jika didengar dari para saksi, diduga lebih dari 30 orang tewas.

Pemerintah menahan 124 orang pengikut Megawati yang berada di tempat saat penyerangan. Sedangkan ”setan gundul” yang dimaksudkan Presiden Soeharto dicokok dan ditahan. Budiman Sudjatmiko dan anggota Partai Rakyat Demokratik, yang dideklarasikan empat hari menjelang kerusuhan 27 Juli, menjadi ”kambing hitam” serta ”setan gundul” yang hendak ”dibersihkan” Soeharto. Budiman dan kawan-kawan diberi ampunan Presiden B.J. Habibie setelah Soeharto tak lagi berkuasa dua tahun setelah peristiwa 27 Juli 1996.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus