Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tragedi Membara di Sindang Raya

Ratusan orang tewas dalam tragedi Tanjung Priok. Pelakunya dibebaskan pengadilan.

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Huru-hara ini bermula dari sebuah poster. Berjudul ”Agar Wanita Memakai Pakaian Jilbab”, poster itu menempel di Musala As-Sa’adah, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sebuah anjuran yang biasa-biasa saja, tapi pada 14 September 1984 poster itu bisa menciptakan malapetaka.

Situasi politik saat itu memang melaju ke titik didih. Pemerintah Soeharto getol berkampanye soal asas tunggal Pancasila, yang ditentang keras sejumlah kalangan muslim.

Syahdan, suatu pagi 7 September 1984, Sersan Satu Hermanu, anggota Babinsa Koja Selatan, Jakarta Utara, meminta warga mencopot poster di musala itu. Warga menolak. Esoknya, Hermanu datang lagi menghapus poster itu dengan koran yang dicelup ke air got.

Lalu, mengalirlah desas-desus Hermanu masuk musala tanpa melepas sepatu. Musala itu pun kotor. Warga yang marah hendak menghajar sang Babinsa. Ia selamat karena dilindungi seorang tokoh masyarakat. Gagal menghajar Hermanu, warga membakar sepeda motornya.

Tentara dari Komando Distrik Militer (Kodim) Tanjung Priok segera menyatroni kawasan itu. Empat pemuda yang diduga membakar sepeda motor diangkut ke Kodim. Warga meminta Amir Biki, seorang tokoh masyarakat Tanjung Priok, membebaskan keempat pemuda. Gagal.

Warga yang protes lalu memenuhi Jalan Sindang Raya, Tanjung Priok. Di situ sejumlah tokoh unjuk bicara, termasuk Amir Biki. Selain mengecam kebijakan asas tunggal, mereka menuntut pembebasan empat pemuda tersebut, paling lambat pukul 11 malam. Jika tidak, aksi massa jalan terus. Kodim menolak.

Massa kemudian bergerak ke kantor Kodim. Di tengah jalan, di depan kantor Polisi Resor Jakarta Utara, massa dihadang polisi. Tembakan meletus. Huru-hara pun meledak dan meluas. Sejumlah toko milik keturunan Tionghoa dijarah.

Versi resmi pemerintah, korban mati cuma 28 orang, tapi keluarga korban menghitung sekitar 700 warga tewas dalam tragedi itu. Amir Biki sendiri tewas diterjang peluru. Sejumlah tokoh, seperti Qodir Djaelani, Tony Ardi, Mawardi Noor, dan Oesmany, ditangkap.

Selama pemerintahan Soeharto, kasus ini tak pernah diproses. Tuntutan penyelidikan terhadap kasus ini baru ramai sesudah Soeharto lengser. Korban dan keluarga korban mendesak pemerintah agar Soeharto dan sejumlah tentara yang terlibat diseret ke pengadilan.

Kasus ini diadili pengadilan ad hoc hak asasi manusia. Belasan pelaku diseret ke muka hukum. Di antaranya Mayor Jenderal Sriyanto Muntasram, yang saat diadili menjabat Komandan Kopassus. Sriyanto, yang saat kejadian menjabat Kepala Seksi Operasi II Kodim 0502, Jakarta Utara, dituduh terlibat peristiwa ini. Agustus 2004, pengadilan ad hoc pertama memutus bebas Sriyanto. Putusan itu diperkuat Mahkamah Agung, September 2005.

Mayor Jenderal (Purn.) Pranowo, yang saat kejadian menjabat Kepala Polisi Militer Kodam Jaya, juga diajukan ke meja hijau. Ia dituduh membiarkan anak buahnya menyiksa peserta unjuk rasa yang ditangkap aparat saat itu. Hakim tidak menemukan keterlibatan Pranowo dalam penyiksaan itu. Ia pun bebas.

Ada yang divonis bersalah di pengadilan pertama, tapi bebas di pengadilan tinggi. Mayor Jenderal (Purn.) Rudolf Adolf Butar-Butar, yang saat kejadian menjabat Komandan Kodim 0502 Jakarta Utara, divonis sepuluh tahun penjara di tingkat pertama. Juni 2005, Pengadilan Tinggi Daerah Jakarta membebaskan Butar-Butar. Belasan pelaku lapangan divonis bervariasi di pengadilan pertama, dari dua hingga tiga tahun.

Putusan itu dikecam korban dan keluarga korban Tanjung Priok. ”Tidak memperhatikan rasa keadilan keluarga korban,” kata Benny Biki, adik kandung Amir Biki. Ia menilai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Keluarga korban mendesak pemerintah juga mengadili petinggi militer saat itu, seperti Jenderal (Purn.) Try Sutrisno, bekas wakil presiden yang saat kejadian menjabat Panglima Kodam Jaya, Benny Moerdani (mantan Panglima ABRI, kini sudah almarhum), dan Soeharto selaku presiden.

Ketika Kejaksaan Agung menghentikan proses hukum atas Soeharto karena alasan sakit, korban dan keluarga korban tragedi Tanjung Priok mengajukan protes keras. ”Kami sangat terpukul dengan penghentian proses tersebut,” kata Ratono, Ketua Ikatan Korban Tanjung Priok. Soeharto, katanya, telah menyebabkan mereka kehilangan keluarga dan harta benda. Harta benda mungkin bisa tergantikan. Kehilangan keluarga?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus